Yudhistira
Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang terik di hutan
pekat itu, Yudhistira menemukan keempat adiknya tewas. Di tepi sebuah
danau tergeletak dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna. Lebih
ke utara terdapat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadhewa.
Keduanya adik yang lain: putra Pandhu dari Ibu Madrim.
Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas
pertempuran. Apa yang terjadi? Sementara pikirannya galau, ia dengar
suara berat yang tak tampak sumbernya.
Suara itu mengatakan, keempat kesatria tersebut mati karena melanggar
larangan: mereka telah diberi tahu agar tak meminum air telaga itu,
tapi mereka—dengan penuh percaya diri, bahkan angkuh—melawan pantangan
tersebut. Yudhistira sebaiknya tak melakukan hal yang sama, kata suara
gaib itu. Ia harus menjawab lebih dulu beberapa pertanyaan sebelum ia
boleh mereguk air danau.
Yudhistira bersedia, dalam Mahabharata ada beberapa pertanyaan yang
dimajukan, tapi di sini saya kutip saja yang terakhir, yang paling
menentukan.
Kata suara gaib: ”Salah satu dari adikmu akan segera kuhidupkan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudhistira?”
Yudhistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilihan yang
sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih: ”Nakula.”
”Nakula?” suara itu heran. ”Bukan Bhima, saudara kandungmu yang kau
sayangi, yang kekuatannya setara dengan puluhan gajah? Bukan Arjuna,
sang pemanah piawai?”
”Bukan,” jawab Yudhistira, kata-katanya semakin mantap. ”Sebab yang
melindungi manusia bukan senjata, bukan kekuatan. Pelindung utama adalah
dharma. Nakula aku pilih karena aku, yang selamat dan hidup, adalah
putra Kunthi. Sudah sepatutnya putra Madrim juga harus ada yang hidup
seperti diriku.”
Mendengar jawaban itu, suara itu pun raib, dan muncullah Batara Yama
di depan Yudhistira. Dewa Maut itu dengan mesra memeluknya. Kahyangan
terpesona akan kata-kata putra sulung Pandhu tersebut. Tak ayal, keempat
jenazah itu—tak hanya Nakula—dihidupkan kembali.
Ketika saya baca lagi fragmen Mahabharata ini, saya merasa
Yudhistira, seorang penjudi yang gagal, sadar: ketika ia memilih, ia
ibarat melempar dadu. Tiap lemparan adalah pengakuan bahwa hidup adalah
kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak jelas alasannya. Tak jelas arahnya.
Absurd.
Sebab di tepi telaga itu Yudhistira sebenarnya tak tahu, muka mana
dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkannya. Kupilih Nakula,
tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti dengan sisa hidupku di
hutan ini. Aku tak tahu, tapi aku tak takut. Aku siap.
Pada saat itu ia jadi manusia yang mendekati Zarathustra dalam puisi
Nietzsche: baginya keluasan langit ibarat meja para dewa tempat dadu
kahyangan dilontarkan. Baginya hidup ibarat angkasa yang murni: terlepas
dari jaring-jaring akal yang mematoknya dengan tujuan dan menambatnya
ke dalam hubungan kausalitas.
Dalam hidup, yang bergerak adalah ketidakpastian. Yudhistira menerima itu. Dalam pengertian Deleuze, ia bukan ”pemain dadu yang buruk”. Pemain dadu yang buruk masuk gelanggang dengan bersenjata teori probabilitas. Yudhistira tidak.
Dalam hidup, yang bergerak adalah ketidakpastian. Yudhistira menerima itu. Dalam pengertian Deleuze, ia bukan ”pemain dadu yang buruk”. Pemain dadu yang buruk masuk gelanggang dengan bersenjata teori probabilitas. Yudhistira tidak.
Itukah sebabnya, 13 tahun yang lalu, ia terima tantangan para Kurawa
untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membingungkan? Itukah
sebabnya ia mau menghadapi lawan judi yang tangguh dan curang, Sengkuni?
Mahabharata tak begitu jelas di sini. Yang kita ketahui, Yudhistira
datang ke meja pertaruhan yang fatal itu—yang kelak jadi benih perang
besar keluarga Bharata.
Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada strategi
mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang ditebaknya. Ia cuma
memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap lontaran tak pernah sama,
biarpun berkali-kali. Tiap kali dadu jatuh itu adalah kebetulan yang
niscaya tak dapat diperhitungkan. Teori probabilitas terlampau
menyederhanakannya.
Yudhistira berani, tapi ia bersalah. Ia jadikan hartanya,
kerajaannya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan akhirnya istrinya, barang
taruhan. Semuanya jatuh ke tangan lawan. Memang ia tampil dengan
askesis yang kukuh: sanggup menerima absurditas seraya menghilangkan
diri sebagai subyek yang menguasai hal ihwal. Tapi dalam tawakal itu ia
tak tergerak oleh liyan, tak terpanggil untuk memikirkan sesama yang
lain.
Kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak, hari itu
Yudhistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan Sengkuni. Nasib
dan Kelak tak dapat dikuasainya, tapi ia tak pasif. Ia bukan seonggok
otomaton. Ia memilih dengan sepenuh hati: Nakula. Ia kor bankan cintanya
kepada Bhima dan harapannya kepada Arjuna.
Artinya, ia hadir dalam subyektivitas yang kuat. Tapi saat itu
dharma-nya bukanlah aktualisasi ”aku yang te guh”, melainkan sesuatu
yang membuat hidup terasa tak terhingga, memeluk sesama, melalui batas
asal-usul. Ia rasakan kasih dan harapan, justru dalam cemas dan
ketidaklengkapan.
Mungkin itu sebabnya dalam Mahabharata, Yudhistira adalah kesatria
yang ganjil. Ia raja yang menganggap diri pendosa; begitu banyak manusia
dibunuh agar Kerajaan Indraprasta kembali ke tangan keluarga Pandhu.
Bagi nya, perilaku para kesatria, kasta pendekar perang, mirip tingkah
anjing yang memperebutkan sisa makanan. Ia tahu posisi raja dan
panggilan dharma selalu akan bertentang an—dharma-caryã _ca rãjyam
nityam eva virudhyate.
Dengan demikian ia memang tak mematuhi aturan kitab suci tentang
manusia, kasta, dan perannya. Tapi, seperti dikatakannya kepada suara
gaib di tepi danau itu, (saya ku tip dari penceritaan Nyoman S. Pendit),
”orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab
suci”.
Doc : Pojok Tempo
Komentar