A.M.Hanafi Menggugat
A.M.Hanafi Menggugat
Pendahuluan
BAB 1
Berangkat ke Havana, Kuba "Menyelam' Mutiara di Laut Karibia"
19 Desember 1963. Hari itu, sesudah resmi dilantik oleh Presiden Sukarno menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh R.I. untok Republik Kuba di Havana, saya dipersilakan menandatangani Surat Keputusan Pengangkatan di samping tandatangan Presiden Sukarno. Saya juga harus menandatangani surat sumpah jabatan, bersetia kepada Republik Indonesia yang berazas-tujuan Pancasila dan UUD '45. Ternyata kemudian hal ini adalah ironi kehidupan saya yang kedua. Ironi kehidupan saya yang pertama, ialah ketika saya di tahun 1937 berhenti menjadi pegawai pemerintah Belanda di Bengkulu, karena memilih jalan hidup berjuang bersama dengan Bung Karno yang ketika itu dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Bengkulu.
Siapa kira, sopo nyono, hari itu saya telah melangkahkan kaki untuk menempuh jalan perjuangan untuk bangsa dan tanah airku melalui masa pembuangan di luar negeri yang hanya Tuhanlah mengetahui kapan berakhirnya. (Baris-baris ini saya tulis pada 25 Juni 1997 di Paris). Hanya Tuhan Allah yang Maha TaLu, bahwa saya sekeluarga didampingi istri Sukendah, yang sejak hidup bersama di tahun 1943, pada hari itu telah menandatangani "kontrak perjuangan" yang baru, yang begitu panjang dan memilukan hati, hingga terbuang di luar negeri. Semua peserta Konferensi P.B. PARTINDO dari seluruh daerah dan semna peserta Musyawarah Besar Angkatan 45 yang sedang berlangsung diJakarta berbesar hati dan bangga melepaskan keberangkatan saya sekeluarga pergi ke Kuba. Mereka mengira hanya untuk beberapa tahun saja berpisah dengan saya sekeluarga, yang kemudian tentulah akan kembali lagi ke tanah air untuk meneruskan perjuangan bersama-sama lagi, perjuangan untak mencapai cita- cita Pancasila yang belum selesai. Banyak di antara mereka itu sekarang ini sudah tak ada lagi, berpulang ke Rahmatullah.
Beberapa hari sebelum berangkat, Sukendah membuat Surat Kuasa kepada pamannya, Pak Umar, untuk mengawasi tanah warisan pekarangan di KarangAnyar JawaTengah) yang diperolehnya sebagai ahli waris dari kakeknya Raden Ibrahim Marsudi Suryokusumo, yakni saudara dari R.T. Tirtokusumo, Bupati Karang Anyar yang terakhir. Beliau ini adalah Ketua P.B. Budi Utomo yang pertama, di tahun 1908. Kakek atau Eyang I. Marsudi Suryokusumo kemudian di tahun-tahun 1930an dikenal menjabat Kepala Stasian KeretaApi di Cikampek, dan sampai masa pensinnnya tinggal di Cikampek. Puteri Eyang Marsudi Suryokusumo yang bernama Sulbiah adalah ibu dari istriku, ayah istriku bernama Raden Dasar Sosrosoeseno, yang menurut legenda-legenda keluarga berasal dari keturunan Panembahan Seda Ing Krapyak, putra dari Senopati Ingalogo, Raja ke-II dari Kerajaan Mataram I.
Konfirmasi tentang legenda asal keturunan keluarga tersebut saya terima dari Bapak Sudarisman Purwokusumo,WalikotaYogyakarta Hadiningrat (alm.) ketika kami bersama-sama menghadiri Sidang MPRS di Bandung. Ketika itu MPRS menetapkan Bung Karno sebagai Presiden R.I. seumur hidup.
Dari pihak saya sendiri, saya meninggalkan pesan kepada ponakanda Sjamsudin, alias SamYaw Sin, untuk mengawasi rumah milik keluarga saya di Jalan Madura No. 5, dan kepada saudara Baharudin, Sekretaris Pribadi (ketika saya menjabat Menteri PETERA) untuk mengawasi dan memelihara tanah pekarangan serta bungalow kami di Cilember yang terletak di pinggir Kali Ciliwung. Berangkatlah saya sekeluarga ke Pulau Kuba, untuk "Menyelami Mutiara di Lautan Karibia". Di dalam EnsiLlopedia Indonesia, Pulau Kuba disebut sebagai "Mutiara Antilla", artinya mutiara di lautan Karibia. Rakyat Kuba sendiri bangga sekali akan pulaunya dan menyebutnya "la perla de la Caribia", mutiara Karibia.
Dari pihak saya sendiri, saya meninggalkan pesan kepada ponakanda Sjamsudin, alias SamYaw Sin, untuk mengawasi rumah milik keluarga saya di Jalan Madura No. 5, dan kepada saudara Baharudin, Sekretaris Pribadi (ketika saya menjabat Menteri PETERA) untuk mengawasi dan memelihara tanah pekarangan serta bungalow kami di Cilember yang terletak di pinggir Kali Ciliwung. Berangkatlah saya sekeluarga ke Pulau Kuba, untuk "Menyelami Mutiara di Lautan Karibia". Di dalam EnsiLlopedia Indonesia, Pulau Kuba disebut sebagai "Mutiara Antilla", artinya mutiara di lautan Karibia. Rakyat Kuba sendiri bangga sekali akan pulaunya dan menyebutnya "la perla de la Caribia", mutiara Karibia.
Saya dan Sukendah, dikaruniai Tuhan lima orang anak: dua laki- laki dan tiga perempuan. Masing-masing menyandang nama yang menandai satu tonggak hidup perjuangan saya suami-istri.
Yang pertama: Dias Hanggayndha. Lahir di Jakarta pada tahun 1943.Tekad perang merebut kemerdekaan.
Yang kedua: Endang Tedja Nurdjaya. Lahir di Jakarta pada tahun 1945. Pujaan pada Nur Illahi atas kemenangan perjuangan kemerdekaan bangsa,
Yang ketiga: Aditio Bambang Mataram. Lahir di Yogyakarta pada tahun 1947. Persamadhianku pada arwah-arwah pahlawan Kerajaan Mataram, memohon restunya untuk revolusi kemerdekaan Nasional bangsa Indonesia.
Yang keempat: Chandra Leka Damayanti. Lahir diYogyakarta pada tahun 1949. Lahirnya di bawah sinar bulan taram-temaram. Ketika itu saya tertangkap oleh tentara pendudukan Belanda bersama banyak tokoh-tokoh revolusi lainnya, baik dari TNI mau pun dari partai- partai politik. Itulah simbol tantangan hatiku yang tak kenal damai terhadap kaum kolonial. Damayanti meninggal di Paris, 19 No- vember 1988. Marmer putih dalam hatiku hancur berderai, aku simpul-simpulkan dalam tanganku sampai kini.
Yang kelima: Nina Mutianusica. Karena terpikat oleh penamaan Kuba sebagai "la perla de la Carabia" yang cantik menarik itu, maka ketika istriku Sukendah melahirkan anaknya yang kelima seorang perempuan di Havana, ku berikan nama pada anakku itu Nina Mutianusica, artinya Nina Mutiara dari Nusantara dan Caribia. Nina berarti anak perempuan di dalam bahasa Spanyol, atau Upi' dalam bahasa Bengkulu.
Ketika Christopher Columbus, si penjelajah lautan, dalam pelayarannya pertama pada tahun 1492 mencari kepulauan rempah- rempah (Indonesia) yang mulai terkenal mahalnya di kalangan pedagang di Eropa, ia rupanya telah salah arah. Ia menemukan pulau Kuba dan Haiti. Dalam pelayarannya yang ketiga, barulah ia bisa sampai ke benua Amerika.
Columbus, kelahiran Genoa (Italia) itu, mendapat bantuan dari Kerajaan Spanyol berupa beberapa kapal layar untuk melaksanakan cita-cita petualangannya itu, dengan perjanjian bahwa semua hasil penemuan Columbus serta awak kapalnya, akan dibagi dua dengan pihak Kerajaan Spanyol.
Di masa Columbus, penduduk asli Kuba adalah bangsa Indian, seperti penduduk asli di benua Amerika. Amerika adalah benua yang ditemukan olehAmerigoVespucci di tahun 1501,yaitu sebelum Columbus mendarat di sana pada pelayarannya yang ketiga. Itulah sebabnya, maka benua baru tersebut dinamakan America sampai sekarang.Ketika Christopher Columbus, si penjelajah lautan, dalam pelayarannya pertama pada tahun 1492 mencari kepulauan rempah- rempah (Indonesia) yang mulai terkenal mahalnya di kalangan pedagang di Eropa, ia rupanya telah salah arah. Ia menemukan pulau Kuba dan Haiti. Dalam pelayarannya yang ketiga, barulah ia bisa sampai ke benua Amerika.
Columbus, kelahiran Genoa (Italia) itu, mendapat bantuan dari Kerajaan Spanyol berupa beberapa kapal layar untuk melaksanakan cita-cita petualangannya itu, dengan perjanjian bahwa semua hasil penemuan Columbus serta awak kapalnya, akan dibagi dua dengan pihak Kerajaan Spanyol.
Di masa Columbus, penduduk asli Kuba adalah bangsa Indian, seperti penduduk asli di benua Amerika. Amerika adalah benua yang ditemukan olehAmerigoVespucci di tahun 1501,yaitu sebelum Columbus mendarat di sana pada pelayarannya yang ketiga. Itulah sebabnya, maka benua baru tersebut dinamakan America sampai sekarang.
Columbus, kelahiran Genoa (Italia) itu, mendapat bantuan dari Kerajaan Spanyol berupa beberapa kapal layar untuk melaksanakan cita-cita petualangannya itu, dengan perjanjian bahwa semua hasil penemuan Columbus serta awak kapalnya, akan dibagi dua dengan pihak Kerajaan Spanyol.
Di masa Columbus, penduduk asli Kuba adalah bangsa Indian, seperti penduduk asli di benua Amerika. Amerika adalah benua yang ditemukan olehAmerigoVespucci di tahun 1501,yaitu sebelum Columbus mendarat di sana pada pelayarannya yang ketiga. Itulah sebabnya, maka benua baru tersebut dinamakan America sampai sekarang.Ketika Christopher Columbus, si penjelajah lautan, dalam pelayarannya pertama pada tahun 1492 mencari kepulauan rempah- rempah (Indonesia) yang mulai terkenal mahalnya di kalangan pedagang di Eropa, ia rupanya telah salah arah. Ia menemukan pulau Kuba dan Haiti. Dalam pelayarannya yang ketiga, barulah ia bisa sampai ke benua Amerika.
Columbus, kelahiran Genoa (Italia) itu, mendapat bantuan dari Kerajaan Spanyol berupa beberapa kapal layar untuk melaksanakan cita-cita petualangannya itu, dengan perjanjian bahwa semua hasil penemuan Columbus serta awak kapalnya, akan dibagi dua dengan pihak Kerajaan Spanyol.
Di masa Columbus, penduduk asli Kuba adalah bangsa Indian, seperti penduduk asli di benua Amerika. Amerika adalah benua yang ditemukan olehAmerigoVespucci di tahun 1501,yaitu sebelum Columbus mendarat di sana pada pelayarannya yang ketiga. Itulah sebabnya, maka benua baru tersebut dinamakan America sampai sekarang.
Oleh karena tanahnya subur dan iklimnya tropis, cocok buat pertanian, terutama kapas, tebu dan lain-lain; maka bangsa Indian itu dihabisi dan tanah-tanahnya dirampas dengan kekerasan oleh kaum"usurpator" (perampas), terutama bangsa Spanyol. Orang-orang Spanyol kemudian membutuhkan tenaga-tenaga kerja budak yang mereka ambil atau curi secara paksa dari Afrika. Masa itu adalah masa perbudakan yang membikin kaya-raya pedagang-pedagang Eropa
Penduduk asli, bangsa Indian, di Haiti, Kuba, di Amerika dihabisi secara kejam, lalu diganti dengan bangsa kulit-hitam dari Afrika sebagai budak untuk dipekerjakan seperti binatang di peladangan kapas dan tebu, serta melakokan segala pekerjaan yang hina buat bangsa kulit putih, yang katanya beragama dan berbudaya. Itulah riwayat singkat mengapa penduduk Kuba multi-rasial, terdiri dari bangsa asal kulit-putih dan yang terbanyak berkulit- hitam, bangsa yang dalam perkembangan sejarah perjuangannya untuk membebaskan diri dari penjajahan Spanyol telah bersatu- padu menjadi satu Bangsa Kuba yang mendirikan negaranya, Republik Kuba (La Republica de Cuba).
Kemerdekaan politik bangsa Kuba pada permulaannya masih bersifat semi-kolonial, kemerdekaan dari bangsa Spanyol dan dari bangsa Amerika. Barulah kemudian mereka sampai pada Republik Kuba pada tahun 1952.Yang naik ke tahta kekoasaan adalah seorang sersan tentara yang kemudian menjadi kolonel, menjadi Presiden sekaligus Diktator, Fulgencia Batista y Zaldivar.
Kekejaman demi kekejaman, korupsi demi korupsi, kolusi demi kolusi untuk menghisap kekayaan dan keringat kaum tani dan pekerja Kuba oleh kaum kolonial Spanyol, begitu pula kaum pengusaha Amerika itu, dengan sendirinya melahirkan perlawanan rakyat terus- menerus sepanjang masa.Walaupun perlawanan rakyat, yang hanya bersenjatakan machete (golok atau parang untuk menebang tebu) berkali-kali terus-menerus mengalami kekalahan, namun keknatan- kekuatan perlawanan rakyat itu "patah tumbuh hilang berganti", "mati satu tumbuh seribu". Bermunculanlah bintang-bintang pahlawan di lagit lazuardi perjuangan rakyat Kuba, seperti di antara lainnya, Jendral Gomez yang menghidupkan dan menyalakan kampanye untuk menyerang LasVillas untuk mendorong Revolusi sampai ke kota Havana. Ketika itu Kuba masih dijajah Spanyol. Tanggal 10 Februari 1874,Tentara Pemberontak rakyat Kuba dengan kekuatan 500 orang telah berhasil menghancurkan 2.000 orang pasukan artileri veteran Spanyol.
Itu merupakan kemenangan gilang-gemilang. Manuver-manover dilakukan di bawah pimpinanJendral Gomez, tetapi gerakan serbuan terhebat yang begitu bersemangat dilakukan di bawah pimpinan Jendral Antonio Maceo, seorang jendral berkulit-hitam dari rakyat Kuba. Serbuan itu telah membuat kemenangan tersebut menjadi betul-betul gilang-gemilang.
Itu merupakan kemenangan gilang-gemilang. Manuver-manover dilakukan di bawah pimpinanJendral Gomez, tetapi gerakan serbuan terhebat yang begitu bersemangat dilakukan di bawah pimpinan Jendral Antonio Maceo, seorang jendral berkulit-hitam dari rakyat Kuba. Serbuan itu telah membuat kemenangan tersebut menjadi betul-betul gilang-gemilang.
Kemenangan lainnya terjadi di dalam bulan Februari itu juga, yaitu di dalam pertempuran Las Guasimas melawan serdadu Spanyol yangjumlahnyajauh lebih besar.Jendral Gomez mengkombinasikan taktik dan strateginya dengan keahlian tempur Jendral Antonio Maceo. Dengan kekuatan yang terdiri hanya dari 200 pasukan kuda dan 50 pasukan infanteri, Maceo dan Gomez dapat menggempur pasukan serdadu Spanyol sebanyak 2.000 orang, terdiri dari pasukan kuda, infanteri dan artileri yang dikirim dari daerah Camaguey. Kemudian dibanjirkan lagi 6.000 serdadu dengan enam buah senjata artileri, akan tetapi menghadapi gempuran terus-menerus dari Jendral Antonio Maceo, Spanyol kehilangan 1.037 serdadu mati dan luka-luka, sedangkan Tentara Pemberontak kehilangan 174 orang.Jendral Maceo yatlg secara hngsung mempimpin pertempuran di barisan paling depan itu, pada akhir pertempuran mengalami luka-luka.
Jendral Antonio Maceo yang sangat populer dan yang terkenal dijuluki The Bronze Titan atau "Jendral Baja Hitam", sampai sekarang patunguya tampak di jalan Malecon yang terkenal, dengan wajah menghadap ke teluk Havana mengarah ke Amerika. Sebuah lagi patungnya yang saya lihat, berada di lapangan latihan Tentara Revolusioner Kuba, agak di luar kota Havana. Di tanah lapangan itulah semula tadinya saya merencanakan untuk merayakan Hari Ulang Tahun ABRI kita, tanggal 5 Oktober 1965, sebagaimana telah saya bicarakan dan disetujui oleh Panglima Achmad Yani. Sebab itulah beliau mengusulkan kepada Panglima Tertinggi Bung Karno agar saya diangkat menjadi MayorJendral Kehormatan T.N.I.. Amanat Sang Pahlawan A.Yani itu dilaksanakan oleh Presiden/ Panglima Tertinggi Bung Karno yang upacara seremonialnya dilaksanakan oleh Menpangad Letjen Soeharto di MBAD pada tanggal 22 Februari 1966.
Jendral Antonio Maceo yang sangat populer dan yang terkenal dijuluki The Bronze Titan atau "Jendral Baja Hitam", sampai sekarang patunguya tampak di jalan Malecon yang terkenal, dengan wajah menghadap ke teluk Havana mengarah ke Amerika. Sebuah lagi patungnya yang saya lihat, berada di lapangan latihan Tentara Revolusioner Kuba, agak di luar kota Havana. Di tanah lapangan itulah semula tadinya saya merencanakan untuk merayakan Hari Ulang Tahun ABRI kita, tanggal 5 Oktober 1965, sebagaimana telah saya bicarakan dan disetujui oleh Panglima Achmad Yani. Sebab itulah beliau mengusulkan kepada Panglima Tertinggi Bung Karno agar saya diangkat menjadi MayorJendral Kehormatan T.N.I.. Amanat Sang Pahlawan A.Yani itu dilaksanakan oleh Presiden/ Panglima Tertinggi Bung Karno yang upacara seremonialnya dilaksanakan oleh Menpangad Letjen Soeharto di MBAD pada tanggal 22 Februari 1966.
Banyak buku ditulis oleh penulis asing mau pun ahli sejarah Kuba sendiri tentang Kuba, ada baiknya dibaca untok lebih mengenal Kuba walaupun tidak langsung berkunjung ke negerinya. Dan khu- susnya mengenai sejarah Revolusi Kuba, buku pledooi Fidel Castro "La Historia Me Absolvera" ("Sejarah akan Membebaskan Saya") adalah amat penting yang dia tulis ketika ditahan di penjara di pulau Pinal de Rio, bersama-sama dengan Juan Almeida dan pemuda- pemuda revolusioner lainnya, setelah mereka gagal menyerbu El Quartel Moncada (gudang senjata serdadu diktator Batista). Sejarah perjuangan Revolusi Kuba di zaman kapitalisme mo- dern bertolak dari zaman diktator Batista, setelah ia naik rmenjadi Presiden di tahun 1952. Penindasan terhadap pemuda-pemudi dan mahasiswa yang bergerak menentangnya disebabkan karena korupsi dan penghisapan terhadap kaum buruh dan kaum tani, dan perse- ngkolannya dengan kaum pengusaha asing, terutama Amerika di bidang produksi dan penanaman tebu, tembakau, boah-buahan dan sebagainya, termasuk urusan ekspor-impor menghidupi terus api perlawanan.
Bulan September 1953 gelombang gerakan revolusioner naik memuncak. Beberapa pabrik gula di Oriente dan di LasVillas didu- duki dan dikuasai oleh kaum buruh yang terus bekerja memproduLsi, tetapi juga membagi-bagikan tanah kepada kaum tani di daerah yang bersangkutan. Inisiatif untok memulai perjuangan bersenjata dimulai dengan tindakan yang betul-betul bersojarah, yaitu penyerbuan gudang senjata yang terkenal, El Quartel Moncada, pada tanggal 26 Juli 1953 oleh satu grup pemuda revolusioner di bawah pimpinan Komandan Fidel Castro. Itu berarti hanya se-tahun sesudah Batista berkuasa. Hari itu setiap tahun diperingati kembali, bukan saja karena penting arti sejarahnya, tapi juga untuk mengenang korban-korban yang tewas dalam pernyerbuan bersenjata itu. Kalau Republik Indonesia memperingati Hari Pahlawan 10 November 1945, Republik Kuba memperingati Penyerbnan Benteng Moncada, 26 Juli 1953. Ada persamaannya, tapi juga ada perbedaannya. Kalau di Kuba tradisi kepahlawanan itu dipelihara dan dibesarkan baik-baik, di Indonesia tokoh-tokoh pemuda pemimpin pertempuran bersejarah 10 November di Surabaya itu diterlantarkan, bahkan di dalam Peristiwa Provokasi Madiun mereka itu dihabisi; seperti'Sidik Arselan dan Kolonel Dahlan, sedang Sumarsono, ketua BKPRI diuber-uber, serta banyak lagi lainnya yang tak dapat disebutkan semua nama-namanya. Ada juga seorang yang kita kenal sebagai "singa podium" BungTomo yang menerima penghargaan. Jangan tidak! Padahal kehebatan pertempuran arek- arek Suroboyo itu jauh lebih hebat dan gegap-gempita daripada penyerbuan pemuda revolusioner Kuba atas El Quartel Moncada. Sebuah tanda kegagahan pemuda dalam Pertempuran 10 Novem- ber sekarang masih ada (saya kira), yaitu Tugu Pemuda di Surabaya dan makamnya Brigadir Jendral Mallaby dari Tentara Inggris di Menteng Pulo,Jakarta.
Ya, Revolusi 17 Agustus 1945 memang adalah revolusi terbesar di masa penutupan Perang Dunia ke-II. Itu tidak ada yang akan membantah. 100 juta rakyat marhaen dibebaskan dari penghisapan dan penjajahan Belanda selama tiga setengah abad, dibebaskan dengan revolusi bersenjata yang dipelopori oleh sebelas pemuda radikal Komite van Aksi dari MENTENG 31 di bawah pimpinan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Bagaimana pun juga kita tidak boleh memandang Revolusi Kuba lebih hebat dan besar dari Revolusi Angkatan 45 untuk menegakkan Republik Indonesia. Kita pun tidak boleh punya kompleks melihat Revolusi Rusia dan RevolusiTiongkok yang dalam sejarah lebih hebat dan lebih gempita dari Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia yang oleh bangsa Belanda selama tiga setengah abad dijadikan bangsa kuli, tidak pernah kenal dan dengar dentaman palu-baja di pabrik dan industri, hanya kerbau-kerbau yang plonga-plongo, dan orang di Bengkulu tidak tahu bahwa itu orangJawa ada insinyurnya, seperti Ir. Sukarno. Inilah hasil pendidikan kolonial Belanda yang provinsialistik.
Seperti telah diperingatkan oleh Bung Karno :"Meskipun tujuan Revolution of Mankind akan mendatangkan dunia baru untuk memberi hidup bahagia pada semua umat manusia, satu dunia baru tanpa l'exploitation de l'homme par l'homme, tanpa l'exploitation de la nation par la nation, namun tiap-tiap revolusi mempunyai identitas sendiri-sendiri dan sebagai bangsa sebenarnya masing-masing mempunyai kepribadian masing-masing", demikianlah ucap Bung Karno ketika saya dilantik menjadi Duta Besar.
Basis Revolusi Kuba dengan Revolusi Indonesia berbeda sekali. Begitu juga berbeda sekali dengan Revolusi Rusia di permulaan abad ke-XIX,juga berbeda pula dengan RevolusiTiongkok di bawah Mao Ze Dong yang meningLatkan Revolusi Kuo MinTang di bawah pimpinan SunYat Sen yang terbengkalai.
Revolusi Kuba ialah revolusi rakyat budak ditempa oleh sejarah perjuangan bersenjata terus-menerus merebut kemerdekaannya untak memberi hidup bahagia pada rakyat Kuba tanpa rasialisme, tanpa l'exploitation de l'homme par l'homme, tanpa l'exploitation de la nation par la nation, segalanya bersendikan faktor situasi dan geografinya sendiri.Jose Marti merupakan Leitstamya, bintang yang memberikan petunjuk jalan seperti Sukarno di Indonesia.
Renungkanlah lagi: apa dan bagaimana basis Revolusi kita tanpa melupakan faktor situasi dan letak geografi tanah air kita sendiri dengan rakyat jajahan yang tidak homogen, tergantung tak bertali antara sisa-sisa feodalisme purba dan kolonialisme Belanda. Berun- tung sekali bangsa Indonesia yang mempunyai pelopor revolusi yang radikal, tangkas dan berani merebut momentum situasi, memutuskan rantai belenggu penjajahan itu pada mata rantai yang terlemah. Dengan prakarsa para pemuda radikal yang memaksa Sukarno-Hatta menggunakan momentum itu untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa pada 17 Agustus 1945. "Lang leve de avangardisten der revolutie, die de kastanjes uit het vunr durft te halen", (dirgahayu para perintis revolusi, yang telah berani menangani tugas-tugas berbahaya), saya pinjam ungkapan Belanda ini untok men1besarkan hatiku sendiri, sisa terakhir dari sebelas pemuda revolusioner proklamasi yang masih diberi sukma oleh Tuhan sampai ke saat ini.
Revolusi Kuba ialah revolusi rakyat budak ditempa oleh sejarah perjuangan bersenjata terus-menerus merebut kemerdekaannya untak memberi hidup bahagia pada rakyat Kuba tanpa rasialisme, tanpa l'exploitation de l'homme par l'homme, tanpa l'exploitation de la nation par la nation, segalanya bersendikan faktor situasi dan geografinya sendiri.Jose Marti merupakan Leitstamya, bintang yang memberikan petunjuk jalan seperti Sukarno di Indonesia.
Renungkanlah lagi: apa dan bagaimana basis Revolusi kita tanpa melupakan faktor situasi dan letak geografi tanah air kita sendiri dengan rakyat jajahan yang tidak homogen, tergantung tak bertali antara sisa-sisa feodalisme purba dan kolonialisme Belanda. Berun- tung sekali bangsa Indonesia yang mempunyai pelopor revolusi yang radikal, tangkas dan berani merebut momentum situasi, memutuskan rantai belenggu penjajahan itu pada mata rantai yang terlemah. Dengan prakarsa para pemuda radikal yang memaksa Sukarno-Hatta menggunakan momentum itu untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa pada 17 Agustus 1945. "Lang leve de avangardisten der revolutie, die de kastanjes uit het vunr durft te halen", (dirgahayu para perintis revolusi, yang telah berani menangani tugas-tugas berbahaya), saya pinjam ungkapan Belanda ini untok men1besarkan hatiku sendiri, sisa terakhir dari sebelas pemuda revolusioner proklamasi yang masih diberi sukma oleh Tuhan sampai ke saat ini.
Alhamdulillahi!
Kalau sebagai ritme musik, Revolusi Kuba itu, ibaratnya dari pianosimo meningLat ke crescendo, bermula dengan perabu mo- tor kecil bernama Granma, di bawah pimpinan Fidel Castro didampingi oleh adiknya Raul Castro dan Che Guevara serta Camillo Cienfuegos yang dimuat padat dengan 87 orang, dan yang pada tanggal 2 Desember 1956 mendarat di pantai Las Colorados di Oriente Kuba, dari Meksiko. Periode ini dapat dicatat sebagai puncak semangat dan keperwiraan revolusi Kuba. Begitu perahu mendarat, mereka langsung bertempur melawan serdadu bayaran Batista, sehingga dari 87 orang tersebut hanya 12 orang saja yang bisa berhasil mencapai puncak Pico Turquino, yaitu puncak pegunungan Sierra Maestra. Dan dari tempat itulah diresmikan terbentuknya Tentara Revolusioner Kuba yang bernama El Ejercito Rebelde.Tiga tahun peperangan gerilya dan perang fFontal telah menghancurkan tentara Batista, akhirnya sampailah mereka ke ibu kota Havana persis pada tanggal 1 Januari 1959. Sayangnya, Batista tidak bisa tertangkap, karena sudah lari terbirit-birit pada parak siang di hari itu juga. Dengan demikian, tuntaslah "La Historia MeAbsolvera" ditempa oleh Fidel Castro, Raul Castro, Camilo Cienfuegos dan Che Guevara.
Jadilah mereka idola pemuda revolusioner sedunia, teristimewa Ch‚. Saya minta pemuda revolusioner Indonesia jangan iri dan bersedih-hati. Jalan revolusi kita lain dari jalannya revolusi Kuba. Kita punya identitas revolusi kita sendiri, Kuba punya identitasnya sendiri. Ingatlah akan pelajaran "Peristiwa Tiga Daerah". Itu sebenarnya adalah suatu universitas,sekolah tinggi revolusiAngkatan 45 bangsa Indonesia. Selamilah mutiaranya di dalam lautan pengalaman PeristiwaTiga Daerah itu.Ambillah kesimpulan secara teliti dan secermatnya. Cita-cita sosialisme Indonesia kita sudah terbukti tidak boleh dicapai dengan melompati kepala-kepalanya orang kaum marhacn bangsa Indonesia. Oleh karena nilai-nilai watak rakyat kita yang menjadi basis revolusi itu masih seperti tergantung tidak bertali antara sisa-sisa feodalisme purba dan kolonialisme Belanda. Pertama, karena tidak adanya partai pelopor persatuan nasional, seperti yang dengan tepat sekali diinginkan oleh Bung Karno, dan yang ia umumkan di sekitar hari-hari Proklamasi. Kedua, tidak adanya Tentara Nasional yang revolusioner. Kebijakan dan penerapan Re-Ra (singkatan Rekonstruksi dan Rasionalisasi) atas laskar-laskar dan tentara kita di tahun 1947-48 dabulu salah aplikasinya.Tidak ada gunanya lagi tunjuk hidung siapa yang salah.
Yang penting sekarang, demi Pancasila sebagai dasar dan tujuan negara, bangsa Indonesia harus punya partai pelopor nasional dan tentara nasional revolusioner, harus bangun pemuda angkatan baru, seperti Pemuda Menteng 31, para avangarde.Artinya tidak bisa lain ialah partai politik yang berazaskan Pancasila itu sendirilah yang harus menjadi pelopor bagi kepentingan rakyat dan Negara Republik Indonesia. Kalau tidak? Kalau tidak, I'histoire se répète (sejarah berulang), tapi dalam bentuk bencana yang lebih ekstrem daripada "Peristiwa Tiga Daerah" dan "Peristiwa Madiun" atau juga lebih kejam meledaknya dari revolusi Prancis 1789,atau sepertigenocidenya Pol Pot di Kamboja yang menghancurkan semua nilai-nilai perikernanusiaan dan semua agama manusia di dunia. Di atas kuburan Nasakom harus dibangun persatuan atau Front Persatuan Nasional Nasasos yang sungguh-sungguh menjunjung ideologi negara dan bangsa: Pancasila. Bukan salahnya marxisme, tapi aplikasinya, subyektivisme pelakunya yang dogmatik. Marxisme bukan monopoli PKI!
Dan dari tempat pembuanganku di Paris, jauh dari tanah airku yartg tercinta, saya berseru kepada semua kawan-kawan seper- juanganku Angkatan 45, tanpa pilih, apakah yang pernah di sebelah kiri atau di sebelah kanan jalan perjuangan demi Ibu Pertiwi, saya serokan pandangilah wajah seorang wanita ideal, di dalam khayalku: Henriette Roland Holst, seorang wanita yang berasal-keturunan Yahudi yang menjunj-ng rasa cinta perikeman-siaan setinggi- tingginya. Ia berseru: "Het mensenlot is in de mensenhand gegeven, en wij voelen dat zij waarheid spreekt. Degroei naar het socialisme volstrekt zich niet noodzakelijk als de groei van een dier of een plant. Die groei vereist helder inzicht in de taken en de middelen tot verwezenlijking, vaste wil en wijsheid, zelfbeheersing- en zelfverloochening.... Zich allerlei opofferingen gctroosten terwille van de algemeene zaak; met zorgvuldige hand uitgaan tot zaaien, wetende dat anderen zallen oogsten; daar komt het op aan. Wij zeggen niet als de Russische bolschewisten: Wij zijn mest op de velden der toekomst..... O, neen, menselijke wezens zijn nimmer enkel mest. Wij willen de dragers des toekomst zijn, de steenen aandragen to haar bouw, haar fundamenten leggen. Wij zijn akkers, in ons ontkiemt het zaad". ("Nasib manusia terletak dalam tangan manusia sendiri, dan kita merasa, bahwa suara itu benar. Pertumbuhan ke arah sosialisme tidak berlaku seperti pertumbuhan hewan atau tanaman. Pertumbahan ke arah sosialisme meminta pengetahuan yang jernih tentang tugas- tugas dan cara-cara melaksanakannya, kemaaan yang keras dan kearifan, pengekangan-diri dan pengorbanan kepentingan diri sendiri ...
Kerelaan berbagai pengorbanan demi tujuan bersama, dengan cermat menebar benih, meski mengetabui bahwa orang lainlah yang akan memetik buahnya; itulah yang terpenting. Kita tidak berkata seperti kaum Bolshevik Rusia: Kita adalah pupuk di ladang-ladang masa depan.
O, tidak, makhluk manusia bukan hanya pupok belaka. Kita ingin menjadi pengemban masa depan, yang menghela batu-batu demi pembangunan masa depan itu, memasangkannya menjadi fondamen. Kitalah ladangaya, dalam haribaan kitalah benih bersemi.") Lihat 'Bung Karno: Kepada Bangsaku'.
O, tidak, makhluk manusia bukan hanya pupok belaka. Kita ingin menjadi pengemban masa depan, yang menghela batu-batu demi pembangunan masa depan itu, memasangkannya menjadi fondamen. Kitalah ladangaya, dalam haribaan kitalah benih bersemi.") Lihat 'Bung Karno: Kepada Bangsaku'.
Saya seorang"perasa" sejak umurku muda, karena menjunjung rasa cinta kepada bangsaku setinggi rasa cintaku pada ibuku yang sudah kembali ke pangkuan Bunda Bumi, meninggalkan aku ketika baru berumur 10 tahun. Kehilanganku akan nafas cinta-kasihnya, hanya bisa kutemukan kembali dalam cintaku pada bangsa dan tanah airku. Kepada enam jendral dan satu juta yang jadi korban-khianat Soeharto, ku tebarkan benih-benih cintaku, karena ku turut merasa kehilangan!
Pembaca yang terhormat, sekian saja buat sementara sebagai oleh-oleh hasil usahaku "Menyelami Mutiara di Laut Karibia", yang saya gosok dengan tangan pengalaman dan pikiran, sekadar persembahan kepada bangsaku.
BAB ll
Berjuang sebagai Duta Besar di Havana Kuba
Saya memikul jabatan sebagai Duta Besar Republik Indonesia Berkuasa Penuh (Plenipotentiary) secara"resmi"nya hanya selama dua setengah tahun, sebab pada bulanJuni 1966 saya dipaksa oleh Deparlu timbang-terima tugas kekuasaan Kedutaan kepada Sekretaris I Moh. Hatta. Pemaksaan Deparlu itu dilakukan via kawat-kawat sandi, begitu pula sebuah kawat sandi telah dikirimkan kepada seluruh Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang menyatakan bahwa semua paspor-paspor diplomatik saya sekeluarga (tujuh orang semuanya) tidak berlaku lagi, tanpa diberikan paspor lain sebagai gantinya, paspor biasa (ordinary passport), yang setiap warga negara semestinya berhak untuk mendapatkannya.
Walau pun secara"resmi"nya sejak bulanJuni 1966 itu saya oleh Departemen Luar Negeri di Jakarta itu dianggap bukan lagi atau tidak lagi menjabat Duta Besar, namun oleh sebab saya teguh tegak menjunjung Konstitusi UUD'45 dan teguh menjunjung sumpah jabatan ketika saya dilantik oleh Presiden Sukarno pada tanggal 19 Desember 1963 sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh dari Republik Indonesia untuk Republik Kuba di Havana, maka sikap politik Deparlu dengan kawat sandinya itu saya anggap tidak sah dan tidak konstitusional. Sesuai dengan UUD'45, pengangkatan dan pemberhentian seorang Duta Besar atau seorang Menteri adalah Hak dan Wewenang Kepala Negara atau Presiden. Persoalan ini telah saya kemukakan dengan jelas kepada pihak Pemerintah Republik Kuba, kepada Menteri Luar Negeri Dr. Raul Roa, yang dapat memakluminya dengan sebaik-baiknya. Pada azasnya, Kuba tetap menerima saya sebagai Duta Besar selama Presiden Sukarno menjabat sebagai Kepala Negara Republik Indonesia dan selama saya tidak diberhentikan oleh Kepala Negara atau Kepala Negara yang lain yang menggantikannya.
Dari Presiden Soeharto yang menjadi"Presiden" (menggantikan Presiden Sukarno) melalui penyelewengan SUPERSEMAR, saya tidak pernah menerima surat pemberhentian secara resmi. Itu tidak lain berarti, Soeharto telah membenarkan begitu saja perbuatan Deparlu yang tidak konstitusional itu, memberhentikan seorang Duta Besar semau-maunya, di luar tata-cara yang normal. Apakah ini bukan satu pembuktian salah satu aksi kudeta Letnan Jendral Soeharto terhadap Presiden Sukarno? "A creeping coup d'etat", seperti ditulis oleh pengamat politik di luar negeri.
Saya kenal dan saya kenali Soeharto sejak masih Mayor TKR di Yogyakarta di tahun 1945. Dia tahu saya bukan komunis. Dia tahu sikap politik saya sejak semula menentang kudeta G30S/PKI itu. Tapi dia tahu juga bahwa saya pengikut yang setia betul pada Presiden Sukarno. Katanya, dia juga menghormati dan mencintai Presiden Sukarno dengan segala atribut dan kwalitanya sebagai Pemimpin Besar Revolusi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tapi nyatanya, semua itu hanya hypocrisy, kemunafikan yang keluar dari mulut seorang munafik besar yang telanjang sebulat-bulatnya. Seyogyanya dia bersikap perwira, fairplay, secara jujur dia harus mengkoreksi perbuatan pejabat-pejabat Deparlu yang keliru itu. Hal-hal yang bersangkutan dengan masalah tersebut akan saya uraikan lebih lanjut dalam bagian-bagian berikutnya di dalam buku ini.
Selama bertugas di Kuba, saya membuat KBRI Havana menjadi perwakilan R.l. yang dinamis dan revolusioner sesuai dengan sifat-sifat Negara R.l. yang saya wakili.Pertama-tama, saya memberikan pengertian kepada segenap anggota staf KBRI dan staf lokalnya menjauhi langgam kerja birokrasi yang mati, sleur (lamban), rutin birokrasi cara-cara lama yang dikenal dan yang membosankan: habis bulan terima gaji, punt. Harus giat dan kreatif, supel dan tidak mahal dengan senyum sebagai pancaran sifat-sifat budaya bangsa Indonesia yang dikenal berbudaya tinggi. Saling-hubungan antara Duta Besar dengan semua anggota staf KBRI ialah merupakan satu unit, satu team untuk melaksanakan tugas kewajiban negara sebaik-baiknya. Waktu dan perbedaan pangkat janganlah dipersoalkan demi kelancaran kegiatan dan berhasilnya pekerjaan. Saya berterimakasih atas segala pengertian baik dan kerjasama yang berbahagia dengan semua staf-staf saya semuanya. Rasanya tidak terasa asing jauh dari tanah air, sebab semua kami dengan seluruh keluarganya merupakan satu keluarga, satu unit, satu team keluarga Indonesia yang bertugas untuk negara yang sama-sama kita cintai.
Dengan kenangan baik, saya tidak melupakan mereka itu. Pertama-tama kepada Saudara Zuwir Djamal, Sekretaris I, lalu Saudara Rustamadji, Sekretaris Keuangan, lalu Saudara Hartono, petugas sandi dan tiga orang staf lokal pembantu.Tiga jalur tenaga itulah saja yang ada ketika saya tiba pertama kali di Kedutaan di Havana. Kemudian Deparlu mengirim Saudara Junizar Jacub, setahun kemudian Saudara Mohamad Hatta, Sekretaris II dari KBRI Mexico yang punya problem melawan Duta Besarnya. Mr. Ismail Thayeb memohon kepada saya untak bisa memindahkannya ke KBRI Havana.
Dalam hal ini saya menyadari, bahwa saya telah berbuat kesalahan dalam memenuhi permohonannya itu, tidak bijaksana.Tetapi karena rasa-kasihan kepadanya, saya telah meminta Deparlu agar diperbolehkan menempatkan Saudara Mohamad Hatta itu di KBRI Havana. Baru kemudian saya ketahui, bahwa karena sikapnya yang temperamental dan suka menentang Duta Besar Ismail Thayeb, Deparlu hendak memindahkannya ke Afrika sebagai"hukuman" atas conduite-nya yang tidak baik itu. Pada akhirnya nanti saya akan mengalami sendiri hal yang tidak enak akibat kesalahan saya itu; walaupun sebelumnya saya sudah diperingatkan oleh Deparlu tentang sifat-sifat, karakter pribadi saudara Mohamad Hatta yang suka tidak pantas, seperti terjadi terhadap atasannya, Dubes Ismail Thayeb itu tadi, sehingga sebaiknyalah tidak diambil.
Saya rundingkan bersama program kerja untuk KBRI Havana yaitu baik program khusus maupun program umum yang biasa, tanpa menantikan tugas perintah dariJakarta. Program khusus yang bersifat politik, ialah yang bersifat penerangan, terutama mengenai soal Konfrontasi Malaysia, dengan segala sangkut-pautnya, yaitu bahwa Indonesia pada prinsipnya sama sekali tidak mau menentang Malaysia merdeka, asal saja memegang teguh prinsip demokratis dengan tekad bertetangga baik sebagai sesama asal bangsa berbahasa Melayu, melalui perundingan bersama yang independen di atas semangat persaudaraan Konferensi Maphilindo (Malaysia-Philipina-Indonesia).
Itulah program kerja yang khusus yang saya buat untuk KBRI Havana, di samping tugas penerangan mengenai ekonomi dan kebudayaan. Dan tentu saja, tidak pernah dilupakan, penerangan tentang sejarah revolusi, perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, terutama tentang perjuangan Angkatan 45 yang menegakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus '45 di bawah komando Sukarno-Hatta sehingga berhasil tercapainya pengakuan oleh negara-negara di dunia secara nyata adanya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, yang bersedia menyumbangkan segala kemampuannya demi segala cita-cita kemanusiaan yang terbaik, bagi persahabatan dan perdamaian dunia.
Perhatian simpati yang besar sekali kita dapatkan dari Pemerintah dan Rakyat Kuba, begitu juga dari kalangan diplomatik yang diakreditir di Kuba, atas kegiatan-kegiatan kerja persahabatan di bidang penerangan dan kebudayaan itu. Berbagai pameran dan pertunjukkan kesenian dan tari-tarian telah menarik perhatian besar mereka. Saya punya "modal" kesenian tari-tarian, yaitu kedua puteriku, Endang Teja Nurjaya dan Chandra Leka Damayanti yang bisa mempertunjukkan Tari Bali dan Tari-tarian Sumatra.
Saudara Gordon Tobing dan Syaugi Bustami yang kebetulan berada di Mexico, saya datangkan ke Havana. Hasilnya kemudian banyaklah anak gadis dan pemuda Kuba yang bisa menyanyikan dengan koor lagu-lagu Hallo-hallo Bandung, Rayuan Pulau Kelapa, bahkan Butet secara baik dan mempesonakan sekali.
Perhatian simpati yang besar sekali kita dapatkan dari Pemerintah dan Rakyat Kuba, begitu juga dari kalangan diplomatik yang diakreditir di Kuba, atas kegiatan-kegiatan kerja persahabatan di bidang penerangan dan kebudayaan itu. Berbagai pameran dan pertunjukkan kesenian dan tari-tarian telah menarik perhatian besar mereka. Saya punya "modal" kesenian tari-tarian, yaitu kedua puteriku, Endang Teja Nurjaya dan Chandra Leka Damayanti yang bisa mempertunjukkan Tari Bali dan Tari-tarian Sumatra.
Saudara Gordon Tobing dan Syaugi Bustami yang kebetulan berada di Mexico, saya datangkan ke Havana. Hasilnya kemudian banyaklah anak gadis dan pemuda Kuba yang bisa menyanyikan dengan koor lagu-lagu Hallo-hallo Bandung, Rayuan Pulau Kelapa, bahkan Butet secara baik dan mempesonakan sekali.
Saya beruntung, sesudah menyerahkan letter of credential (surat kepercayaan) kepada Presiden Osvaldo Dorticos, dapat menyelesaikan tugas protokoler"memperkenalkan diri" kepada korps diplomatik yang diakreditir di Kuba, dalam tempo dua bulan saja. Sungguh, sejak tiba di Kuba, saya bekerja keras hampir setiap hari. Hal itu saya lakukan sampai empat atau lima bulan.
Ada lagi yang luar biasa.
Setiap ulangtahun peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti 26 Juli 1953, 2 Desember 1956, 17-18-19 April 1961, dijelmakan menjadi Hari Kerja-Bakti dan Hari Setiakawan Revolusioner. Kegiatan demikian bukan hanya disertai oleh seluruh Rakyat Kuba,Tentara dan Rakyat bersama-sama, melainkan juga diikuti pula oleh orang- orang berbangsa asing yang bersimpati kepada Kuba.
Ada lagi yang luar biasa.
Setiap ulangtahun peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti 26 Juli 1953, 2 Desember 1956, 17-18-19 April 1961, dijelmakan menjadi Hari Kerja-Bakti dan Hari Setiakawan Revolusioner. Kegiatan demikian bukan hanya disertai oleh seluruh Rakyat Kuba,Tentara dan Rakyat bersama-sama, melainkan juga diikuti pula oleh orang- orang berbangsa asing yang bersimpati kepada Kuba.
BAB III
Konsultasi yang Pertama dan Terakhir
Tatkala saya mengadakan konsultasi yang pertama kali ke Jakarta, itu terjadi di bulanJanuari 1965. Saya mengusulkan kepada Presiden Sukarno, sesuai dengan harapan Fidel Castro, agar dapat dibuka hubungan perdagangan R.I.-Kuba. Kuba membutuhkan karet, ia juga sudah melakukan impor karet dari Kamboja. Dan saya mengharapkan agar Chaerul Saleh, sebagai Deputy III Kabinet Dwikora, dapat mengurus pelaksanaannya. Itu soal pertama.
Soal kedua yang saya ajukan, ialah mengenai masalah Angkatan 45. Sebab saya, sebagai Wakil Ketua Badan Musyawarah Angkatan 45, dilapori oleh saudara Chaerul Saleh sebagai Ketua Umum, bahwa D.N. Aidit telah mengusulkan kepada Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Angkatan 45, untuk membubarkan saja organisasi Badan Musyawarah Angkatan 45 tersebut. Usul pembubaran Angkatan 45 saya tolak sekerasnya. Sebab adalah saya, dan bukan orang lain yang mengambil inisiatif mendirikan organisasi Angkatan 45 itu dengan saudara Adenan Anas Nasution, sebagai Pembantu Sekretaris. Bukan Chaerul Saleh, bukan Jendral Nasution. Chaerul Saleh ketika itu sedang berada di Swiss, mendapat tugas studi (sebenarnya diselamatkan oleh Bung Karno dari persoalan Laskar Bambu Runcing yang mendirikan Tentara Rakyat di Bante Selatan, karena menentang K.M.B., dan oleh karena itu dia dipenjarakan oleh Kolonel Kawilarang dari Divisi Siliwangi, di penjara Gang Tengah Salemba). Rapat pendirian pertama kali dilakukan di rumah saya, di Jalan Madura No. 5, dihadiri dan disetujui secara aklamasi oleh yang hadir, yaitu: S.K Trimurti, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Adenan Anas Nasution, F.L. Hutabarat dan ZusJo Chaerul dianggap sebagai mewakili suaminya, Chaerul Saleh, dan Bambang Suprapto. Adam Malik tidak bisa hadir, tapi menitipkan suaranya kepada Pandu.
Hasil rapat di Jl. Madura No.5 itu ialah berdirinya Panitia Angkatan 45, yang kemudian disokong dan diresmikan olehWalikota Sudiro di rumah kediamannya, dan disambut dengan meriah serta spontan oleh banyak tokoh-tokoh pejuang yang dikenal sejak zaman Proklamasi, yang kebetulan berada di Jakarta. Semuanya minta dijadikan anggota penyokong utama.Tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah: pertama, menggalang kembali semangat persatuan nasional di kalangan para pejuang Angkatan 45. Kedua, perjuangan merebut Irian Barat. Ketiga, membela dan mengisi Republik Indonesia berdasarkan UUD '45 dan Pancasila. Demikianlah telah diletakkan tugas bersejarah dari Angkatan 45.
Kemudian, untok menyambut seruan Bung Karno di Konferensi B.P. PNI di Bandung pada bulan April 1953, yaitu agar bangsa Indonesia membentuk All Indonesia Congres,Walikota Sudiro dan Asmara Hadi selaku anggota PB. PNI, mengusulkan agar Panitia Angkatan 45 itulah yang maju ke muka, oleh karena tak ada satu partai politik pun yang berani langsung menyambut seruan Bung Karno tersebut. Maka lahirlah Kongres Rakyat Seluruh Indonesia Untuk Pembebasan Irian Barat dengan Aruji Kartawinata sebagai Ketua dan A.M. Hanafi sebagai Sekretaris Jendralnya.
Maka,jikalau diteliti dan dikenang kembali perjuangan Angkatan 45 tersebut di atas, setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, ke dalam daerah kesatuan Republik Indonesia, adalah tidak pantas sama sekali,jikalau ada sesuatu golongan yang menepuk dada sebagai yang paling berjasa, kecuali jika golongan itu adalah bangsa Indonesia seluruhnya dengan Pemimpin Besarnya Bung Karno. Betul sekali apa yang dikatakan olehJendral Nas (A.H.Nasution): "Tentara sendiri tanpa Rakyat tidak bisa apa-apa". Maka itu tentara tidak boleh meninggalkan Rakyat! Apalagi Satu Juta Rakyat sudah mati terbunuh, dan sampai sekarang tentara masih menguber siapa saja yang tidak disukai sebagai hantu Komunis.
Uraian tersebut di atas, adalah alasan dan keterangan saya mengapa saya menolak keras desakan D.N.Aidit agar Bung Karno sebagai Pemimpin BesarAngkatan 45 membubarkan saja organisasi Badan Musyawarah Angkatan 45 itu. Sebenarnya, keterangan saya itu satu overlapping, tumpang-tindih, saja, satu hal yang tidak perlu diceritakan, sebab Bung Karno sendiri sudah mengetahui sejak semula asal kelahiran Kongres Rakyat Seluruh Indonesia yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Dulu All India Congress yang dipelopori oleh N.l.P. di Bandung pada tahun 1922, gagal. Sedangkan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaaan Indonesia) yang dipelopori oleh Bung Karno dan diserta oleh: Dr. Sukirnan, Sjahbudin Latif (PSI), Mr. Iskaq (PNI), Mr. Sartono, Mr. Budiarto, Dr. Samsi (Algemeene Studie Club), Kusumo Utojo dan Sutopo Wonobojo (B.U.), Oto Subrata, Bakri SurjaatmadJa, S. Sendjaja (PASUNDAN), Parada Harahap, Dahlah Abdullah (Sarekat Sumatra). M.H.Thamrin (Kaum Betawi), Sujono, Gondokusumo dan Sundjoto (Indonesiche Studieclub) - yang didirikan pada tanggal 17 Desember 1927, itu pun gagal pula.
Bung Karno dapat memaklumi dengan baik berdasarkan pengalaman sendiri, akan tidak mudahnya pekerjaan menggalang persatuan, oleh karena itu beliau dapat menyetujui berdirinya terus Badan Musyawarah Angkatan 45 itu, dengan catatan (atau syarat) supaya saya, A. M. Hanafi, memperbarui susunan pimpinannya dan pergi menginsyafkan D.N.Aidit supaya "jangan memperbanyak musuh".
Semua itu akan saya kerjakan, sahutku. Hanya saya mohon terlebih dahulu agar Panglima AhmadYani diperkenankan meng gantikan kedudukan Jendral Nas di dalam Dewan Harian Badan Musyawarah Angkatan 45 itu. Bagaimana bangga rasa hatiku, dapatlah kiranya dimaklumi, karena mendapat tugas langsung dari Pemimpin Besar Angkatan 45. Terpikir dalam hati: ' Baru saja setahun saya pergi meninggalkan Bung Karno, ada saja macam kerja Aidit bikin sulit Bung Karno". Aidit saya kenal sejak muda, belum tahu Pergerakan, direkrut oleh F.L. Hutabarat menjadi anggota Barisan Pemuda GERINDO Cabang Jakarta, di tahun 1941. Ketika itu saya menjabat Sekretaris Jendral Pucuk Pimpinan Barisan Pemuda GERINDO sejak tahun 1939, menggantikan Saudara Wikana yang didesak mengundurkan diri oleh Ketua P.B. GERINDO Dr. A.K(apau!) Gani karena tercium keradikalannya yang "komunistis", demi untuk keselamatan dan kelangsungan perjuangan GERINDO.
Semua itu akan saya kerjakan, sahutku. Hanya saya mohon terlebih dahulu agar Panglima AhmadYani diperkenankan meng gantikan kedudukan Jendral Nas di dalam Dewan Harian Badan Musyawarah Angkatan 45 itu. Bagaimana bangga rasa hatiku, dapatlah kiranya dimaklumi, karena mendapat tugas langsung dari Pemimpin Besar Angkatan 45. Terpikir dalam hati: ' Baru saja setahun saya pergi meninggalkan Bung Karno, ada saja macam kerja Aidit bikin sulit Bung Karno". Aidit saya kenal sejak muda, belum tahu Pergerakan, direkrut oleh F.L. Hutabarat menjadi anggota Barisan Pemuda GERINDO Cabang Jakarta, di tahun 1941. Ketika itu saya menjabat Sekretaris Jendral Pucuk Pimpinan Barisan Pemuda GERINDO sejak tahun 1939, menggantikan Saudara Wikana yang didesak mengundurkan diri oleh Ketua P.B. GERINDO Dr. A.K(apau!) Gani karena tercium keradikalannya yang "komunistis", demi untuk keselamatan dan kelangsungan perjuangan GERINDO.
Ada sedikit hal lagi yang mau saya ingatkan kepada pembaca, terutama kepada para pemuda yang mau menjunjung sejarah pergerakan bangsanya, mengenai riwayat PPPKI-nya Bung Karno yang gagal tersebut di atas. Kegagalannya ialah karena ditindak oleh Pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebab PPPKI mengajukan beberapa program-tuntutan yang revolusioner, antara lain:
a). Memohon kepada Pemerintah Hindia Belanda menerangkan apa kesalahannya rakyat yang dibuang ke Digul;
b). Mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Pimpinan Perhimpunan Indonesia (P.I.) di negeri Belanda yang telah dibebaskan dari penjara di mana Bung Hatta telah mengucapkan Pembelaannya yang berjudul "lNDONESIA VRIJ" ("INDONESIA MERDEKA").
c). Menyetujui dan mengangkat P.I. di negeri Belanda sebagai Pengawal Perjuangan Bangsa Indonesia terdepan di Eropa.
b). Mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Pimpinan Perhimpunan Indonesia (P.I.) di negeri Belanda yang telah dibebaskan dari penjara di mana Bung Hatta telah mengucapkan Pembelaannya yang berjudul "lNDONESIA VRIJ" ("INDONESIA MERDEKA").
c). Menyetujui dan mengangkat P.I. di negeri Belanda sebagai Pengawal Perjuangan Bangsa Indonesia terdepan di Eropa.
Dus, kalau saya di dalam buku "Menteng 31 - Membangun Jembatan Dua Angkatan", menganjurkan agar ditegakkan persatuan dan diteruskannya perjuangan cita-cita Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir, bukanlah hanya karena keinginan subyektif, tetapi karena ingin menjunjung sejarah perjuangan bangsa, bukan saja sejak dari kerjasama Sukarno-Hatta-Sjahrir di Hotel "Des Indes" pada tahun 1942 di zaman pendudukan Jepang, bahkan bukan saja dari ketika Sjahrir masih pemuda Sekolah AMS di Bandung tahun 28-an, yang mulai tertarik kepada seni oratornya Bung Karno, seperti diceritakan oleh Ibu Inggit Ganarsih kepadaku, tetapi juga karena saya tidak melupakan sejarah perjuangan Bung Karno dengan PPPKI yang penting itu. Semua peristiwa sejarah itu telah sejak semula dahulu, menjalin persatuan Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir. Hanya kita, para kader pengikutnya, salah pada pecicilan, subyektif dan sentimen-sentimenan, hingga pada tersesat di jalan, kita cuma melihat pepohonan, tapi tak tahu di mana hutannya. Bagaikan pepatah Belanda yang mengatakan:"Zij zien wel de bomen, maar niet het bos."
Selanjutnya sekarang, saya meningkat pada masalah ketiga, yang menyangkut kepentingan konsultasi pertama kali keJakarta di bulan Januari 1965 itu. Saya tidak mengira bahwa itu adalah konsultasi saya yang pertama, tapi juga yang terakhir kepada Kabinet Dwikora Presiden Sukarno, juga pertemuan yang terakhir dengan Panglima Achmad Yani.Selanjutnya sekarang, saya meningkat pada masalah ketiga, yang menyangkut kepentingan konsultasi pertama kali keJakarta di bulan Januari 1965 itu. Saya tidak mengira bahwa itu adalah konsultasi saya yang pertama, tapi juga yang terakhir kepada Kabinet Dwikora Presiden Sukarno, juga pertemuan yang terakhir dengan Panglima Achmad Yani.
Dua hari sesudah pertemuan saya dengan Bung Karno mengenai Angkatan 45, saya dipertemukan dengan Panglima Achmad Yani di Istana Merdeka.Waktu saya datang di pagi hari itu, PakYani saya lihat sudah ada bersama minum kopi dengan Bung Karno. Hatiku senang melihat suasana santai antara kedua orang penting tersebut.
Rupanya, sebelum saya sampai, Bung Karno sudah membuka soal Angkatan 45 yang saya bicarakan dua hari yang lalu itu, dan memohon supaya Pak Yani diperkenankan duduk sebagai anggota Dewan Harian Angkatan 45 untuk menggantikan Pak Nas. Sebab, sehabis saya menyalami PakYani dan duduk di sebelahnya, beliau ini langsung saja membuka pembicaraan:
"Saya memang turut merasa bangga melihat Bapak Presiden menempatkan seorang tokoh pejuangAngkatan 45 ini menjadi Duta Besar R.I. di Kuba, tetapi mengapa saya diminta menggantikan Pak Nas di dalam Dewan Harian Badan Musyawarah Angkatan 45 itu, Pak Hanafi? Bukankah Pak Nas itu adalah senior saya,'kan?"
Rupanya, sebelum saya sampai, Bung Karno sudah membuka soal Angkatan 45 yang saya bicarakan dua hari yang lalu itu, dan memohon supaya Pak Yani diperkenankan duduk sebagai anggota Dewan Harian Angkatan 45 untuk menggantikan Pak Nas. Sebab, sehabis saya menyalami PakYani dan duduk di sebelahnya, beliau ini langsung saja membuka pembicaraan:
"Saya memang turut merasa bangga melihat Bapak Presiden menempatkan seorang tokoh pejuangAngkatan 45 ini menjadi Duta Besar R.I. di Kuba, tetapi mengapa saya diminta menggantikan Pak Nas di dalam Dewan Harian Badan Musyawarah Angkatan 45 itu, Pak Hanafi? Bukankah Pak Nas itu adalah senior saya,'kan?"
"PakYani memang benar sekali", sahutku."Dulu waktu meminta Pak Nas, saya juga turut mengusulkannya. Karena kami, Dewan Pimpinan Harian Angkatan 45, menghargai jasanya, keikut-sertaannya dalam peristiwa bersejarah'Kembali ke Undang-undang Dasar 1945' Saya kali ini mengusulkan dan memohon Panglima Achmad Yani menggantikan Pak Nas di dalam Dewan Harian Badan Musyawarah Angkatan 45, bukan untuk mendiskreditkan Pak Nas, tetapi agar PakYani dan Pak Nas turut serta terus membela integritas Bung Karno sebagai Presiden Pemimpin Besar Angkatan 45, sebab saya tidak bisa mencari calon lain yang senilai seperti PakYani."
Pak Hardjowardojo, Kepala Rumah Tangga Istana (pensiunan Mayjen), Letkol Mangil (pengawal Bung Karno sejak dari zaman Jepang, asal dari "Polisi Macan"), Mayor Prihatin, dan seorang tentara pengawal PakYani duduk bersama-sama di ujung sana di dekat pantri. Seorang pelayan istana datang menyuguhi kami bertiga dengan tiga cangkir kopi lagi dan sepiring singkong rebus panas.
"Pak Yani, mari, ini singkong Marhaen, ditanam oleh kaum marhaen, makanan kaum Marhaen, ini hari naik ke Istana Marhaen, mari, silakan Pak".... Saya menyuguhkan piring singkong itu kepada Pak Yani, tetapi Pak Yani mengambil piring singkong tsb., menyuguhkannya terlebih dahulu kepada Bung Karno, seraya berkata:"Silakan kepada Bapak Marhaen dulu...."
Bung Karno tertawa-tawa sambil mengambil singkong dari piring di tangan Pak Yani, berkata pula: "Silakan,Panglima Tentara Marhaen...."
Spontan saya tertawa gelak-gelak. Mereka yang duduk di ujung sana itu pasti mendengar juga cara dan kata-kata kami itu. Saya tertawa gelak-gelak lagi, lalu mengucap: "Kalau begini naga-naganya, saya tidak akan sangsi pergi 'jibaku' untuk ngabdi kepada Bapak Marhaen dan Panglima Tentara Marhaen macam begini ... ha-ha-ha ... sesuai dengan nama yang diberikan Bung Karno padaku: Anak Marhaen! Simbolik'singkong Marhaen'ini penting!"
"Pak Yani, mari, ini singkong Marhaen, ditanam oleh kaum marhaen, makanan kaum Marhaen, ini hari naik ke Istana Marhaen, mari, silakan Pak".... Saya menyuguhkan piring singkong itu kepada Pak Yani, tetapi Pak Yani mengambil piring singkong tsb., menyuguhkannya terlebih dahulu kepada Bung Karno, seraya berkata:"Silakan kepada Bapak Marhaen dulu...."
Bung Karno tertawa-tawa sambil mengambil singkong dari piring di tangan Pak Yani, berkata pula: "Silakan,Panglima Tentara Marhaen...."
Spontan saya tertawa gelak-gelak. Mereka yang duduk di ujung sana itu pasti mendengar juga cara dan kata-kata kami itu. Saya tertawa gelak-gelak lagi, lalu mengucap: "Kalau begini naga-naganya, saya tidak akan sangsi pergi 'jibaku' untuk ngabdi kepada Bapak Marhaen dan Panglima Tentara Marhaen macam begini ... ha-ha-ha ... sesuai dengan nama yang diberikan Bung Karno padaku: Anak Marhaen! Simbolik'singkong Marhaen'ini penting!"
Pembaca yang terhormat, kalau Anda tahu peribahasa Sumatra Selatan,"bagai pasak bertemu tiang", itulah dia, pertemuan tiga iman-manusia di beranda belakang Istana Merdeka di hari itu. Seperti itulah: cocok, rukun, mesra, bagaikan bertemunya satu keluarga, dua anak sama Bapaknya. Dan kalau kemudian ada isu macam-macam tentang ketidakcocokan antara Presiden Sukarno dengan Panglima A.Yani, bagi saya semua itu bullshit, tahi kucing! Kalau memang ada, justru isu fitnah itulah yang harus dihantam duluan, oleh siapa dan untuk apa dan siapa isu fitnah itu.
Saya mulai punya simpati kepada Jendral Yani tatkala zaman perjuangan pembebasan Yogyakarta dari pendudukan tentara Belanda. Beliau terkenal sekali, ketika itu berpangkat Letkol, Komandan Brigade 9 yang bernama Brigade Kuda Putih dari Divisi Diponegoro dengan Batalyon yang dikomandoi Mayor Suryosumpeno. Brigade 9 dengan pasukan-pasukan gerilyanya, menguasai urat nadi penting route Semarang-Yogya dan Boyolali, Solo-Yogya. Karena posisi frontnya itu, Brigade 9 memperoleh banyak kontak- senjata (pertempuran) dengan Tentara Belanda. Ia bermarkas di Wetan Elo (di sebelah Timur Kali Elo) di lereng Gunung Merapi, tidak berjarak jauh dari Desa Jetis di mana pendudukuya adalah hampir semua punya hubungan kekeluargaan dengan mertua saya: Dasar Sosrosoeseno, putranya Pak Lurah Desa Blabak yang berasal dari DesaJetis tersebut. Dan ketika itu mertua saya tersebut berada di Jetis dan adik ipar saya Ario Seno dari pasukan Tentara Pelajar yang bergabung pada Brigade 9, menjadi Ajudan Sarwo Edhie, Komandan Kompi 17.
Saya mulai punya simpati kepada Jendral Yani tatkala zaman perjuangan pembebasan Yogyakarta dari pendudukan tentara Belanda. Beliau terkenal sekali, ketika itu berpangkat Letkol, Komandan Brigade 9 yang bernama Brigade Kuda Putih dari Divisi Diponegoro dengan Batalyon yang dikomandoi Mayor Suryosumpeno. Brigade 9 dengan pasukan-pasukan gerilyanya, menguasai urat nadi penting route Semarang-Yogya dan Boyolali, Solo-Yogya. Karena posisi frontnya itu, Brigade 9 memperoleh banyak kontak- senjata (pertempuran) dengan Tentara Belanda. Ia bermarkas di Wetan Elo (di sebelah Timur Kali Elo) di lereng Gunung Merapi, tidak berjarak jauh dari Desa Jetis di mana pendudukuya adalah hampir semua punya hubungan kekeluargaan dengan mertua saya: Dasar Sosrosoeseno, putranya Pak Lurah Desa Blabak yang berasal dari DesaJetis tersebut. Dan ketika itu mertua saya tersebut berada di Jetis dan adik ipar saya Ario Seno dari pasukan Tentara Pelajar yang bergabung pada Brigade 9, menjadi Ajudan Sarwo Edhie, Komandan Kompi 17.
Walaupun ketika itu saya berada di dalam tahanan penjara di Wirogunan bersama banyak tokoh militer dan hampir semua tokoh partai politik yang berada diYogyakarta ketika diserbu mendadak oleh tentara Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, namun saya mendapat kontakberitayang diatur olehArio Seno dan Pak Mul (Letnan) sebagai kurir rakyat yang berjuang dari DesaJetis tersebut dan yang mendapat perlindungan dari Brigade 9 dari Overste Achmad Yani.
Saya kira bagi para peneliti sejarah penting sekali mengadakan penyelidikan yang sebenar-benarnya tentang apa sebab dan latar belakang sehingga Ibu Kota Republik, Yogyakarta, dua hari sebelum penyerbuan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 dibiarkan kosong tanpa pertahanan Tentara R.I. yang berarti. Overste Soeharto sudah berangkat keWonosobo, Kolonel A.H. Nasution sudah berangkat ke Jawa Timur, artinya meninggalkan Panglima Besa Sudirman yang sedang sakit sendirian, dan Presiden dan Wakil Presiden, Bung Karno dan Bung Hatta sendiri di Yogya tanpa Tentara Pertahanan Ibu Kota secukupnya. Dus, apa artinya ini? Menurut saya, pucuk pimpinan nasional itu dibiarkan pada nasibnya sendiri-sendiri, begitupun anggota-anggota Pemerintah R.I. lainnya, semua tanpa penjagaan dan lindungan TRI yang sesudah di "RE-RA"bernama TNI itu.*)
Saya kira bagi para peneliti sejarah penting sekali mengadakan penyelidikan yang sebenar-benarnya tentang apa sebab dan latar belakang sehingga Ibu Kota Republik, Yogyakarta, dua hari sebelum penyerbuan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 dibiarkan kosong tanpa pertahanan Tentara R.I. yang berarti. Overste Soeharto sudah berangkat keWonosobo, Kolonel A.H. Nasution sudah berangkat ke Jawa Timur, artinya meninggalkan Panglima Besa Sudirman yang sedang sakit sendirian, dan Presiden dan Wakil Presiden, Bung Karno dan Bung Hatta sendiri di Yogya tanpa Tentara Pertahanan Ibu Kota secukupnya. Dus, apa artinya ini? Menurut saya, pucuk pimpinan nasional itu dibiarkan pada nasibnya sendiri-sendiri, begitupun anggota-anggota Pemerintah R.I. lainnya, semua tanpa penjagaan dan lindungan TRI yang sesudah di "RE-RA"bernama TNI itu.*)
Walaupun saya berada di dalam penjara, namun dari adik ipar saya Ario Seno dan Letnan Mulyono (masih pamannya Ario) tersebut di atas, saya seminggu sekali kadang-kadang bisa memperoleh berita-berita, pada kesempatan istri saya, Sukendah, mengantarkan makanan dari rumah untuk saya, mengenai kegiatan gerilya pasukan 'Garuda Putih' PakYani, yang kemudian kita kenal sebagai Letnan Jendral Achmad Yani, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonsia. Tokoh ABRI dan pejuang Angkatan 45 ini jugalah yang dijadikan korban GESTAPU, yang kemudian menaikkan Letjen Soeharto jadi diktator sejak dari 1 Oktober 1965 sampai sekarang ini. Di sini bedaku sepenuhnya peribahasa Belanda de een zijn dood, de andere zijn brood! Seorang khilangan nyawa, orang lain yang menarik keuntungannya. Di Indonesia kita, Soeharto-lah pelaksana pribahasa itu.
Bukan saya sendiri saja yang bisa mendapatkan berita selundupan semacam itu, beberapa teman sepenjara juga, dan hal itu mempertebal semangat juang kami. Pramudji, bekas Ajudan Ruslan Widjajasastra dari Laskar PESINDO, Batalyon 100 bahkan berhasil melarikan diri dari penjara Wirogunan. Pada kesempatan mandi sore, dia tidak kembali lagi ke kamar grupnya, tapi merayap seperti kadal menelusuri got, kemudian sesudah hari gelap memanjat tembok penjara, sehingga berhasillah ia lolos. Kami yang tinggal hanya mendengar beberapa tembakan saja, sambil berdoa mudah-mudahan si fugitive Pramudji bisa selamat. Tiga hari sebelum pertempuran yang dikenal sebagai "Pertempuran Enam Jam di Yogya" saya dengan Kapten Tema dari Divisi Siliwangi (menantu Opseter Muchdi yang saya kenal) dapat meloloskan diri juga dari penjara tersebut. Dari situ saya mengetahui bahwa Pramudji tadi sudah bergabung dengan Laskar PESINDO di bawah pimpinan Supeno dan Sudisman (PKI) yang bersembunyi di dalam Benteng Keraton Hamengkubuwono ke-lX, dan yang bersama Kapten Abdul Latief dengan pasukan TNI dari Godean, mempersiapkan pertem- puran, menyerbu dan menduduki Ibu Kota R.I., dan yang kemu- dian dikenal sebagai "Pertempuran Enam Jam diYogya" itu.
Siapakah Kapten Abdul Latief itu? Dia tadinya adalah dari Laskar PESINDO yang dapat menyelamatkan diri dari Peristiwa Provokasi Madiun bersama yang lain-lain di bawah pimpinan Pramudji yang menggabungkannya kembali ke dalam Batalyon 100. Beberapa hari sesudah terjadinya peristiwa penting itu, saya diminta oleh Pramudji cs agar sebagai Letnan Kolonel Staf PEPOLIT, sudi untuk diantarkan pergi ke Godean dan dikenalkan kepada Kapten Latief dan sekalian menyampaikan hormat serta penghargaan kepada Overste Soeharto yang pernah menjumpai Musso (PKI) di Madiun sebelum dilakukan penggempuran oleh TNI Siliwangi, dan yang mereka pandang sebagai"Overste TNI yang baik". Dan karena itu pulalah, mereka setujui Kapten Latief membawa anak buahnya untuk menggabungkan diri dengan batalyon Overste Soeharto.Setelah saya simpulkan bahwa pandangan mereka obyektif, saya lalu setuju untuk diantar Pramudji pergi ke Godean dengan, tentu saja berjalan kaki dariYogya. Sayang, saya tidak bisa jumpa dengan Letkol Soeharto, oleh karena dia sedang pergi ke seberang Kali Progo, ke Markasnya Kolonel Simatupang. Saya dan Pramudji diinapkan di Markas Latiefdengan stafnya Letnan Harjadi (pelukis), dan kepada mereka berdua saya minta agar disampaikan hormat dan salam saya kepada Overste Soeharto, komandan batalyon mereka.
Di dalam pelaksanaan Re-Ra (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) Laskar-laskar Rakyat disingkirkan ke dalam Biro TNI Masyarakat, tapi persenjatannya diambil dan dibagikan kepada TNI sendiri, untuk Pusat dan Daerah. Inilah sebab, mengapa Laskar Rakyat Jakarta Raya yang pernah saya pimpin (tahun 1945 - 47) berdiri sendiri mempertahankan kedaulatannya dan bertahan di daerahJawa Barat di Krawang - Bekasi, dibawah pimpinan Bahar Rezak alias Sultan Akbar.
Memang penting sejarah pertempuran enam jam di Yogya, namun pelaku utama peristiwa itu sama sekali tidak disebut di dalam buku yang berjudul "Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", yang disunting oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H.Yang terakhir ini saya kenal di zaman Jepang sebagai pengagum sajak-sajak abang saya Asmara Hadi, tapi lebih saya kenali jiwanya sekarang! Yang disebutkan oleh Soeharto hanya nama-nama seperti Letnan Marsudi dan Letnan Amir Murtono, sedangkan pelaku utamanya tidak disebut-sebut. Orang yang tak disebut-sebut yang saya maksudkan ialah Kapten Abdul Latief, seorang perwira menenga yang selalu setia kepada Soeharto sampai GESTAPU, 30 September 1965. Buku Soeharto itu mengandung penggelapan sejarah yang bertendensi menutupi jejak hubungan ilegalnya dengan GESTAPU dan dengan PKI, yang bertolak dari pertemuannya dengan Musso (PKI) di Madiun, ketika dia diutus oleh Panglima Besar Sudirman untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana dan yang kemudian di populerkan sebagai "kudeta PKI Madiun", yang padahal tidak ada itu.Yang sebenarnya, seperti yang diceritakan oleh saudara Sumarsono, Ketua BKPRI, Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, yalah: ketika Overste Soeharto masih di dalam perjalanan pulang untuk memberikan laporan kepada Pemerintah Hatta, mereka di Madiun diserang dan dikepung oleh TNI Divisi Siliwangi, sehingga terpaksa melawan untuk membela diri. Maka terjadilah apa yang disebut "Peristiwa Madiun" yang disinonimkan dengan "kudeta PKI Madiun", tetapi oleh PKI disebut sebagai "Provokasi Madiun" Demikianlah eksekusi Red Drive Proposal dari Gerard Hopkins, Penasihat Politik Luar Negeri Presiden Truman dan Merle Cocran di Konferensi Sarangan, yang telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh Pemerintah R.I. di bawah Kabinet Parlementer Bung Hatta.
Pelaksanaan apa yang disebut"red drive proposal" (usul penumpasan orang-orang komunis) dari Merle Cochran itu, nyatanya sengaja tidak terlalu diramai-ramaikan oleh golongan kanan maupun oleh golongan kiri, sebab menyangkut nama USA, negeri yang secara internasional pegang peran penting, dan di pihak lain menyangkut nama Bung Karno, tokoh nasional revolusioner, Presiden R.I. Alasan mengapa red drive itu tidak terlalu ramai dibicarakan, mungkin adalah karena dalam Konperensi Sarangan itu Bung Karno juga hadir, walaupun beliau pulang lebih dahulu, sehingga Konperensi Sarangan dengan Merle Cochran dan G.Hopkins itu dilanjutkan oleh Bung Hatta, Dr. Sukiman dan Mr. Moh. Roem.
Saya kira, inilah latar-belakang mengapa Bung Karno di dalam Kongres PKI ke-VI di Gedung Pertemuan di Jakarta, untuk meredam kekecewaan PKI, berkata: "Yo sanak, yo kadang, yen mati aku sing kelangan"*), dan yang mendapat tepukan serta teriakan setuju yang hangat sekali. Maka kemudian Bung Karno berhasil menginsafkan Aidit untuk menyetujui Pancasila sebagai Tujuan dan Dasar Negara R.I. Dan demikian pula saya tahu dari Bung Karno, terjadinya political deal mengenai Nasakom.
Saya kira, inilah latar-belakang mengapa Bung Karno di dalam Kongres PKI ke-VI di Gedung Pertemuan di Jakarta, untuk meredam kekecewaan PKI, berkata: "Yo sanak, yo kadang, yen mati aku sing kelangan"*), dan yang mendapat tepukan serta teriakan setuju yang hangat sekali. Maka kemudian Bung Karno berhasil menginsafkan Aidit untuk menyetujui Pancasila sebagai Tujuan dan Dasar Negara R.I. Dan demikian pula saya tahu dari Bung Karno, terjadinya political deal mengenai Nasakom.
Dan siapa itu Supeno, teman Pramudji yang aktif memimpin Laskar PESINDO yang tersisa dari Provokasi Madiun dan mempersiapkan penyambutan di dalam kota Yoyga akan kedatangan serbuan Pasukan Kapten Latief pada tanggal 1 Maret 1949 dari Godean itu? Dialah yang di tahun 1930-an menjadi anggota Pemuda GEMPAR (Gemblengan Pemuda PARTINDO), kadernya Bung Karno, seperti Asmara Hadi, Sukarni, Trimurti, Winoto Danuasmoro dan Sudiro. Kemudian Supeno, Sudiro dan Kakung Gunadi menjadi guru Taman Siswa yang didirikan oleh M. Ali Chanafiah di Bengkulu, lalu kembali berjumpa dengan Bung Karno di Bengkulu tahun 1947. Di zaman Revolusi di Yogyakarta, Supeno mendirikan majalah PESINDO "Revolusioner". Keaktifan Supeno dalam perjuangan bersenjata dimulai dengan mendirikan Laskar Rakyat Mataram di tahun 1947 yang mendapat kehormatan besar karena diresmikan oleh Panglima Besar Sudirman di pelataran Candi Borobudur. Ketika itu saya masih memegang komando atas PESINDO Jawa Barat, berkedudukan di Krawang dan Cikampek. Tapi saya turut menghadiri peresmian Laskar Rakyat Mataram itu. Tragisnya, Bung Peno ini meninggal dunia sebagai refugee-politik di Amsterdam. Pendiriannya tegas dan tegar di pihak Bung Karno, oleh sebab itu, ketika sebagai anggota MPRS dia turut serta diundang ke RRT, di situ dia bersama Sukrisno (ex Duta Besar di Viet Nam) berlawan terhadap mereka yang membabi-buta membela G30S/PKI dan membuat"Peking serambi Mekah".
Nah, sekian dulu buat sementara. Para pembaca telah saya bawa melihat satu facet, satu bagian dari pengalaman hidup perjuangan saya sebagai"orang kiri" di dalam arus perjuangan kemerdekaan nasional yang bersifat kiri. Sebab hakekatnya, perjuangan pembebasan nasional dari penindasan kolonial, menentang kolonialisme itu sendiri adalah kiri. Buat saya di masa itu, cap atau etiket "kiri" adalah kehormatan. Berbagai keaktifan atau kegiatan saya sebagai pemuda kiri yang radikal dan revolusioner bersenjatakan ideologi Marhaenisme Bung Karno membikin saya banyak dikenal dan terkenal di kalangan kaum Nasionalis, kaum Agama, dan kalangan yang beraliran Marxisme (PKI, PSI dan Murba) sebagai "orangnya Bung Karno". Demi kepentingan praktis politik sebagai kader yang mau bersetia kepada Bung Karno, sejak kelahiran R.I. (bahkan sesudah habisnya GERINDO) saya tidak mau berpartai politik, yang cuma akan membatasi langkah saya sebagai pembantu Bung Karno demi kepentingan persatuan nasional dan marhaenisme Bung Karno. Namun saya tidak anti-partai, saya menjunjung prinsip demokrasi Pancasila.
Tetapi sekarang, di zaman Orde Baru, di bawah pimpinan kediktatoran Soeharto, segala norma dan huLum politik dan demokrasi dibikin hantam kromo saja; sak enake dewe . Saya tidak mau membuat forecast, pralambang seperti Joyoboyo, Raja Kediri! Tetapi di zaman kapitalis modern ini, diktator mana yang tidak bisa dijatuhkan mencium debu sampai pada kematiannya yang hina? Mussolini (Italia), Hitler Jerman), GetulioVargas (Brazilia), Marcel Caetano (Portugal), Ferdinand Marcos (Filipina) - kalau orang punya mata tidak mau melihat, punya otak tidak mau belajar, punya kuping tidak mau mendengarkan, maka sekarang hantu-hantu diktator-diktator itu saya panggil berbaris membawa segala harta serakahnya dan pengalamannya yang keji dan hina itu untuk memberi peringatan terakhir kepada Pak Soeharto.
Flashback kenangan saya kepada Panglima Pahlawan kita Achmad Yani di masa peperangan gerilya untuk membebaskan Ibu kota Yogyakarta dari pendudukan Belanda pada bulan Maret 1949, dan lain-lainnya tersebut di atas - agar tidak terlalu panjang sampai bisa mencapai brosur tersendiri, kalau mau - saya akhiri sampai di sini saja. Maka sekarang saya kembali pada pertemuan yang simbolik "singkong Marhaen", pertemuan kami bertiga: Presiden Sukarno, Letjen Achmad Yani dan saya, A.M. Hanafi, di Istana Merdeka sebagaimana telah saya uraikan di atas tadi.
Flashback kenangan saya kepada Panglima Pahlawan kita Achmad Yani di masa peperangan gerilya untuk membebaskan Ibu kota Yogyakarta dari pendudukan Belanda pada bulan Maret 1949, dan lain-lainnya tersebut di atas - agar tidak terlalu panjang sampai bisa mencapai brosur tersendiri, kalau mau - saya akhiri sampai di sini saja. Maka sekarang saya kembali pada pertemuan yang simbolik "singkong Marhaen", pertemuan kami bertiga: Presiden Sukarno, Letjen Achmad Yani dan saya, A.M. Hanafi, di Istana Merdeka sebagaimana telah saya uraikan di atas tadi.
Sesudah ternyata di dalam pertemnan kami bertiga tersebut, Panglima A.Yani tidak berkeberatan untuk turut serta didudukkan sebagai anggota Dewan Harian Badan Musyawarah Angkatan 45 sebagai "Panglima Harapan Angkatan 45", maka secepat kilat menyalalah ide di kepala saya untuk merayakan Hari Ulang Tahun ABRI, 5 Oktober 1945 untuk yang pertama kalinya di Havana Kuba. TNI adalah Tentara Rakyat yang lahir dalam Revolusi Kemerdekaan Angkatan 45, dubesnya di Kuba eksponen Angkatan 45 pula. Oleh karena itu saya tidak merasaiminder'terhadap El Ejercito Rebeld (Tentara Revolusioner) Fidel Castro - malah yang ada dalam kilatan ide saya adalah kebangaan saya terhadap ABRI yang juga punya pengalaman gemilang dalam revolusi kemerdekaan. Sebenarnya, ada sebab lain mengapa saya ingin merayakan Hari ABRI di Havana. Saya mau kaulan - melepas nazar - atas kebanggaan yang mengeram selama ini di dalam hati saya.
Bukannya maksud menepuk-nepuk dada, tetapi saya adalah salah seorang yang pertama-tama mendesak Pemerintah R.I. supaya secepatmya melahirkan Tentara Republik di sekitar hari-hari Proklamasi. Tentu saja, perihal ini tidak saya ceritakan di muka Bung Karno dan PakYani ketika bersama-sama bersantap singkong marhaen.Tetapi untuk para pembaca, akan saya uraikan tersendiri pada halaman-halaman berikutoya dengan judul
"Kisah Terpendam"
Saya merasa puas, Bung Karno dan PakYani menyetujui ide saya merayakanHUT ABRI 5 Oktober 1965 yang akan datang itu. Bahkan, mengetahui di KBRI Havana belum ada atase militer, Pak Yani langsung mengatakan di depan Bung Karno agar"Pak Hanafi diangkat menjadi MayorJendralTituler untuk melengkapi upacara Perayaan Hari Ulang Tahun ABRI di Havana nanti."
Bung Karno langsung jawab:"Setuju, ajukan resmi usul itu!" Begitulah hasil puncak konsultasi yang pertama kali sebagai Duta Besar ke Jakarta pada bulan Januari 1965.
Bung Karno langsung jawab:"Setuju, ajukan resmi usul itu!" Begitulah hasil puncak konsultasi yang pertama kali sebagai Duta Besar ke Jakarta pada bulan Januari 1965.
Waktu saya menuliskan baris-baris di atas ini, dengan mesin tik tuaku Remington, nafasku terasa sesak di dalam dada, karena terharu mengenangkan pertemuan saya dengan Bung Karno bersama Panglima Achmad Yani. Sebab ternyata itu adalah pertemuan yang terakhir dengan Panglima "Harapan Angkatan 45" itu. Namun saya harus terus menulis, mengetik kenangan yang amat memilukan hati saya ini, di samping istriku, Sukendah, yang sudah cukup lama sakit-sakitan, sedang saya sendiri sudah bertambah umur menjadi 80 tahun, terbuang di Paris tak dibolehkan kembali ke tanah air.
Tanggal berapa, saya kira tanggal 20 September 1965, saya menerima kawat sandi dari PanglimaYani, disampaikan oleh sandiman KBRI, Hartono, kepada saya. Kawat sandi Panglima A. Yani mengatakan: "Karena kesibukan dengan persiapan Perayaan HUT ABRI, pengangkatan Mayjen pada saya akan dikirimkan sebelum 5 Oktober". Bagi saya, soal kawat pengangkatan itu cuma soal administrasi saja, prinsip persetujuan sudah diberikan pada saya, ketika saya berada di Jakarta. Kawat sandi PakYani itu berarti pula bahwa laporan saya mengenai kemajuan persiapan Perayaan HUT ABRI di Havana, sudah beliau terima. Dalam rangka pengurusan HUT ABRI itu, ada dua kali saya menerima kawat sandi dari Panglima Yani. Saya yakin, dokumen itu masih bisa ditemukan kalau dicari di arsip penting KBRI Havana. Tadinya disimpan oleh Sandiman, saudara Hartono.
Tanggal berapa, saya kira tanggal 20 September 1965, saya menerima kawat sandi dari PanglimaYani, disampaikan oleh sandiman KBRI, Hartono, kepada saya. Kawat sandi Panglima A. Yani mengatakan: "Karena kesibukan dengan persiapan Perayaan HUT ABRI, pengangkatan Mayjen pada saya akan dikirimkan sebelum 5 Oktober". Bagi saya, soal kawat pengangkatan itu cuma soal administrasi saja, prinsip persetujuan sudah diberikan pada saya, ketika saya berada di Jakarta. Kawat sandi PakYani itu berarti pula bahwa laporan saya mengenai kemajuan persiapan Perayaan HUT ABRI di Havana, sudah beliau terima. Dalam rangka pengurusan HUT ABRI itu, ada dua kali saya menerima kawat sandi dari Panglima Yani. Saya yakin, dokumen itu masih bisa ditemukan kalau dicari di arsip penting KBRI Havana. Tadinya disimpan oleh Sandiman, saudara Hartono.
BAB IV
Kisah Terpendam
"Kisah terpendam" ini adalah seboah pengalaman tiga orang pemuda "avant garde" revolusi dari Menteng 31, yaitu A.M. Hanafi, Chaerul Saleh, Pandu Kartawiguna, yang hampir saja mati karena menjadi korban perjuangan ketika pergi mendesak Pemerintah R.l. supaya segera membentak Tentara Republik Indonesia (TRI) secepat-cepatnya, sebab tentara Belanda sudah mulai mendarat di Tanjung Priok. Segera, secepat-cepatnya! Tidak ada sukarnya itu, dengan satu pengumuman Maklumat Pemerintah Republik Indonesia, sudah jadilah itu TRI. Tidak ada susahnya. Kamilah yang akan merealisasikannya. Kami, Pemuda Menteng 31 akan memanggil, menyerokan, mengadakan appel kepada semua bekas PETA, bekas Heiho, bekas Seinendan, bekas Keibodan dan semua pemuda- pemuda yang gagah-berani, mengatur semua itu menjadikan mereka itu jadi satu Tentara Republik Indonesia. Material sudah ada, sudah cukup banyak, besi itu sudah hangat, sudah cukup panas tinggal ditempa saja lagi.
Ketika itu sudah bulan September, sudah sebulan Proklamasi 17 Agustus lahir ke bumi Indonesia, masa' lé. kita belum punya Tentara juga. Dengan apa bayi Republik ini bisa kita bela, kita pertahankan? Chaerul Saleh yang punya temperamennya tersendiri itu, menimpa dengan gayanya: "Ya, ya, dengan apaaa... dengan ini ... saja?! (Saya tidak perlu tulis di sini apa yang dikatakan Chaerul Saleh itu) Nanti, Bung Hanafi saja jadi juru-bicara kita, dan saya akan menimpa lagi dengan tegas-tegas", kata Chaerul.
Mengapa saya yang ditunjuk menjadi juru-bicara. Karena yang akan kami temui yalah Mr. Amir Sjarifudin, Menteri Penerangan. Dan Amir Sjarifudin adalah Ketua GERINDO saya dahulu. Maka berangkatlah kami bertiga dari Markas Menteng 31 menggunakan mobil yang baru dapat diserobot dariJepang, menujuJalan Cilacap, Kantor Pemerintah Rl. Sesudah Pemerintah Pusat kembali dari Yogya ke Jakarta, yaitu sesudah pengakuan Kemerdekaan, gedung itu kemudian menjadi kantor Kementerian P & K (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).Tapi gedung itulah Kantor resmi yang pertama-tama dari Republik Indonesia kita.
Pintu masuk gedung itu besar, tetapi tertutup saja. Kami bertanya-tanya di antara kami. Hanya bendera merah-putih terpancang di tiang di luar, tampak lesu terjuntai, tidak berkibar-kibar. Tidak ada angin berhembus di pagi hari itu. Sesudah pintu kami ketok-ketok, barulah dibukakan separoh saja, tidak dibukakan kedua daun pintunya yang besar dan lebar itu. Begitu saya dan Chaerul Saleh serta Pandu Kartawiguna masuk, di saat itu ... rratataat - rratataat -rratataat, tembakan dua atau tiga mitralyur gencar memuntahkan perlurunya dari jeep-jeep NICA yang dilarikan kencang. Kami bertiga serentak, sekejap itu juga menjatuhkan diri ke lantai tengkurap, sambil berteriak kepada penjaga yang membukakan pintu tadi, yang sedang kebingungan: "Tengkurap!" Kedua daun pintu itu pecah-pecah berserpihan. Di antara kami tentu saja ada yang pucat, entah saya, entah siapa, karena kaget sekali.
Segera kami bangun berdiri dengan senyum-senyum menyeringai sambil memaki-maki NICA keparat itu. Sesudah memperingatkan kepada penjaga, supaya pintu yang sudah pecah-pecah tetapi belum hancur sama sekali, jangan dibuka-buka dulu, siapa tahu bangsat NICA itu akan lewat lagi. Kami naik ke tingkat satu mencari Amir Sjarifudin yang kebetulan ada di kamarnya.
Beliau menyambut kami dengan terseyum-senyum bertanya: "Ada apa pemuda radikal datang- ada perlu apa?" Amir yang dulunya agak gemuk, tampak menjadi agak kurus, berkemeja sport, bercelana pendek sampai ke lutut. Belum berapa lama dia itu dikeluarkan dari penjara di Sragen di mana dia dihukum seumur hidup olehJepang karena dituduh memimpin perjuangan PKI-illegal menentang Jepang. Tadinya oleh Jepang mau dijatuhi hukuman mati, tapi karena diintervensi oleh Bung Karno dan Bung Hatta menjadi hukuman seumur hidup.
"Ada apa?" kataku menirukan pertanyaan Bung Amir, Menteri Penerangan kita itu. Dia resmi Menteri Penerangan, tetapi sebenarnya dialah yang mendapat tugas urusan keamanan. "Kami bertiga hampir mati semuanya di bawah tadi, apa Bung nggak dengar suara mitraliur tadi?"
"Pemuda radikal Menteng 31 tidak akan mati-mati, akan hidup terus untuk Revolusi", kata Amir dengan senyumnya yang mengajuk-ajuk hati kami. Sesaat kemudian dengan bersungguh-sungguh saya menguraikan maksud kedatangan kami seperti di atas tadi. Chaerul Saleh dan Pandu menguatkan dan menambahi pula menjadi lebih jelas dan tegas. Kesimpulan dari pertemuan itu Menteri Amir Sjarifudin menyambut dengan gembira desakan Pemuda Menteng 31 agar Pemerintah R.l. dalam beberapa hari ini secepatnya membentuk ketentaraan nasional.
"Cocok, cocok, saya setuju sekali, saya akan mengajukan usul saudara-saudara itu secepatnya kepada Sidang Kabinet dalam hari-hari ini", Amir berkata. Sesudah itu, langsung kepada saya, Amir berkata, bahwa saudara Sudisman' Ketua Barisan Pemuda GERINDO Cabang Surabaya telah dikeluarkan juga dari penjara Sragen dan kembali ke Surabaya.
Adalah pemuda Sidik Arselan, anggota Pemuda GERINDO, bekas PETA, dengan sepasukan Pemuda P.R.I. (yang ketuanya adalah Sumarsono) yang mendatangi penjara Sragen itu. Selain telah membebaskan Amir Sjarifudin dan Sudisman, mereka juga telah membebaskan semua tahanan lainnya yang ada di situ.Amir Sjarifudin sengaja menceritakan hal tersebut, karena beliau masih ingat bahwa saya menjabat sebagai Sekretaris Jendral Barisan Pemuda GERINDO sejak masa di zaman Belanda dan masa pendudukan Jepang.
Selang beberapa hari setelah terjadinya Rapat Raksasa di lapangan IKADA, tanggal 19 September, kami diberi tahu, bahwa pada tanggal 5 Oktober 1945 akan diumumkan Keputusan Pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kami bangga juga, walaupun tidak begitu puas. Sebab yang kami tuntut adalah tentara tentara resmi dari Republik Indonesia, bukan sekadar Badan Keamanan Rakyat yang seakan-akan condong meneruskan pekerjaan BPKP (Badan Penolong Korban Perang) yang dibentuk di zaman Jepang, yang diketuai Jusuf Yahya (abang Daan Yahya).
Jelaslah, bahwa antara Pemerintah dengan pemuda radikal Menteng 31 "avant garde"nya revolusi itu walaupun sama-sama jalur garis perjuangannya, namun tidak selalu sama gelombang-gelombang semangatnya yang menggebu-gebu di dada pemuda-pemuda itu.
Kami telah mempersiapkan pembentukan laskar-laskar, dimulai terutama oleh pemuda-pemuda di sekitar Jakarta. Baru kemudian BKR menjelma menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).Yang penting hakekatnya: tentara, tugasnya berperang membela Kemerdekaan yang baru diproklamirkan, bukan Badan Keamanan yang dualis dengan tugas sebagai kepolisian.
Kami telah mempersiapkan pembentukan laskar-laskar, dimulai terutama oleh pemuda-pemuda di sekitar Jakarta. Baru kemudian BKR menjelma menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).Yang penting hakekatnya: tentara, tugasnya berperang membela Kemerdekaan yang baru diproklamirkan, bukan Badan Keamanan yang dualis dengan tugas sebagai kepolisian.
Namun di hati kami, kami belum merasa lega, belum pas betul. Keamanan Rakyat - urusan polisi di garis belakang, yang penting sekarang adalah bertempur di garis depan. Untuk mengisi kekosongan tugas nasional pertama ini, maka itulah Pemuda Menteng 31 membentuk Laskar (People's Army).
Pembentukan laskar-laskar dianjurkan ke seluruh daerah-daerah, dan disambut di mana-mana. Pada mulanya, laskar-laskar itu membentuk diri berdasarkan cita-cita membela Proklamasi, sayang kemudian berubah berkembang menjadi membela cita-cita aliran politik masing-masing golongan: agama, nasionalis, komunis, sosialis dan kedaerahan. Hal ini adalah semata-mata akibat perubahan dari atas,berubahnya sistem Pemerintahan dari kabinet presidensil dengan sistem kabinet parlementer.Terang saja sistem presidensil memang sesuai dengan jiwa Pancasila, sesuai dengan cita-cita semua kaum pergerakan sejak lama, tapi sayangnya salah dalam mengaplikasikan strategi dan taktik perjuangan, yang harus ditentukan oleh penilaian situasi dan kondisi. Dibolak-balik bagaimana pun juga, haruslah diakui kesalahan prinsipal adalah: kurang teguh, atau tidak konsekwen pada prinsip perjuangan nasional bersenjata!
Dalam bertabrakannya naluri angkatan muda dengan naluri kaum tua, beruntunglah bangsa Indonesia, karena ada faktor pengimbangnya yang utama, yaitu statemenship (kenegarawanan) Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir.Jarumnya neraca-pengimbang itu kadang-kala nampak saja rada ke kiri atau ke kanan, tapi dalam hakekatnya adalah mantap tetap pada titik perjuangan Proklamasi berdasarkan UUD-45 dan menuju pada Pancasila. Sasarannya: kedaulatan nasional.
Saya tidak mau, dan janganlah siapa pun juga menyalah-tafsirkan arti penting sejarah Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir pada masanya secara dialektis. Tidak secara subyektif, jangan! Tukang emas yang pandai tahu caranya menguji antara emas dan loyang.Tidak semua metal kuning adalah emas. Dan antara emas dengan emas pun harus diuji "karat"nya. Sejarah adalah batu ujian politik bagi bangsa dan masyarakat.
Saya tidak mau, dan janganlah siapa pun juga menyalah-tafsirkan arti penting sejarah Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir pada masanya secara dialektis. Tidak secara subyektif, jangan! Tukang emas yang pandai tahu caranya menguji antara emas dan loyang.Tidak semua metal kuning adalah emas. Dan antara emas dengan emas pun harus diuji "karat"nya. Sejarah adalah batu ujian politik bagi bangsa dan masyarakat.
Bandingkanlah sistem politik di masa sejarah Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir dengan sistem politik semasa orde barunya Presiden Soeharto. Pada zaman Tritunggal, UUD'45 dan Pancasila dijunjung tinggi, pada zaman orde barunya Soeharto, UUD '45 dan Pancasila dikentuti. Jangan bicara lagi tentang hak-hak demokrasi dan HAM. Bedanya zaman Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir dengan orde barunya Soeharto "en grosso modo", seperti bumi dan langit. Tidak ada persamaannya. Apa pun kekurangan zaman Tritunggal, mereka tidak keluar dari garis demokrasi, garis kedaulatan rakyat! Zaman orde barunya Soeharto apa pun yang berbau kedaulatan rakyat dicap komunis. Bila komunisme dan marxisme ditanggapi sebagai ilmu di luar PKI yang sudah dilarang itu, okelah.Tetapi sekarang nyatanya siapa saja yang menyuarakan Tuntutan Hati Nurani Rakyat, seperti keterbukaan, keadilan sosial etc. Iangsung dituduh menentang Pemerintah. Inilah sistem Pemerintah autokratik, istilah yang lebih terkenal adalah diktatur yang despotis sekaligus nespotis. Kedaulatan rakyat, demokrasi, sudah digantung, sudah dipancung oleh absolutisme angkara-murka. MPR sejak 1966 dalam kenyataan bukan lagi suatu lembaga negara tertinggi, tetapi telah menjadi Markas Penipu Rakyat yang mendaulat Presiden Sukarno dan mengangkat Letnan Jendral Soeharto menjadi Presiden yang menerapkan kediktaturan represif dengan dalih konstitusional.
Kita kembali ke pangkal acara. Bicara tentang kekuatan nasional bersenjata hta bangsa Indonesia, laksana bocah yang baru belajar berJalan seJak dilahirkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945, sejak dari Laskar Rakyat (People's Army) dan BKR, beranjak menjadi TKR, sampai ke TRI kemudian menjelma menjadi kekuatan bersenjata nasional bernama TNI, yang kuceritakan dalam "Kisah Terpendam" ini.
Maafkanlah, kalau saya berkata bahwa yang paling bergembira dan bersyukur kepada bangsanya, adalah pemuda-pemuda radikal dari Menteng 31, terutama tiga orang yang disebut namanya di atas tadi: A.M. Hanafi, Chaerul Saleh dan Pandu Kartawiguna. Orang-orang memuji Tentara kita, tentang ketangkasan gerilyanya, kegagahannya dan bintang-bintang gemerlapan di dadanya, tidak lebih dari sewajarnya. Tapi, tapi jangan lupa, haruslah diletakkan pada tempat dan keadaannya. Itu adalah sewajarnya di dalam era Tritunggal Sukarno-Hatta-Sjahrir.Akan tetapi yang paling bersedih hati melihat ABRI kita sekarang adalah selurnh rakyat segala lapisan, oleh karena ABRI kita sekarang terpenjara di dalam hirarki militer Panglima Tertinggi Soeharto yang mengkentuti UUD '45 dan Pancasila, meng- insubordinasi alias mengkhianati Panglima Tertinggi Sukarno dan memanipulirJendral A.H.Nasution, setelah sebelumnya merekayasa pembunuhan Panglima A.Yani dan 5 Jendral lainnya.
Para pembaca yang terhormat,
"Kisah Terpendam" ini menjadi alasan dalam hati saya sendiri, sebagai Duta Besar untuk mengambil inisiatif merayakan HUTABRI untuk pertama kali di Kuba Havana yang disebut sebagai "el primo pays libre de America Latina" itu. Menurut hemat saya dalam konteks kenegaraan, patut diperingati sebagai Hari Besar Nasional R.I. bukan hanya terbatas pada Hari Proklamasi 17 Agustus 1945 dan HUT ABRI 5 Oktober 1945, tetapi juga selayaknya HUT lahirnya lembaga legistatif atau cikal-bakal demokrasi kita, yaitu KNIP - Komite Nasional Indonesia. Demikian pun HUT lahirnya lembaga yudikatif R.l. dengan segala perangkat dan atributnya. Lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif- dikenal dengan Trias Politica Montesqieu - adalah tolok-ukur paten dari sebuah negara Republik yang menjalankan sistem demokrasi dan keadilan sosial.
Kalau Adam Malik mendapat tugas dari Komite van Aksi untuk membentuk Komite Nasional, maka A.M. Hanafi, Chaerul Saleh dan Pandu Kartawiguna mengambil bagian tugas sendiri, mempersenjatai pemuda menjadi people's army dan terutama mendesak Pemerintah R.I. untuk membangun Tentara dengan satu Maklumat pembentukan Tentara Republik Indonesia secepatnya tanpa ragu-ragu lagi. Menteng 31 dan bekas PETA dan Heiho sudah sedia mempelopori pelaksanaannya. Kalau saya tadi berniat mengambil inisiatif merayakan HUTABRI di Havana, ialah karena secara spiritual saya ingin bayar-kaul atas tercapainya cita-cita Pemuda Menteng 31: lahirnyaTentara Nasional Indonesia, walaupun telah melalui sejarah pengorbanan selurah rakyat pahit dan getir. Pencetusan prakarsa itu secara spritual adalah hak dan tugas kesadaran nasional dan patriotisme kami: saya bersama Chaerul Saleh dan Pandu, dan Amir Sjarifuddin. Mengapa tidak?!
Tonggak-tonggak dalam sejarah menegakkan Republik tercinta ini prakarsa dan kesertaan dalam melahirkanTentara R.I. itu, tidak boleh dilupakan, sekalipun para pemrakarsanya telah jadi korban dari revolusi di mana mereka turut memeloporinya. Bersyukurlah kita kepadaAllah, bahwa berkat restuNya revolusi Angkatan 45 berhasil mencapai dan menegakkan kemerdekaan nasional dari penjajahan asing. (Bila dibandingkan, tidak sesulit dan sesakit bangsaVietnam).
Semua itu adalah jasa para pelopor pergerakan nasional kita, teristimewa berkat persatuan dan cita-citaTritunggal Sukarno-Hatta-SJahrir. Para pemuda sebagai harapan bangsa jangan sekali-kali melupakan itu. Perjuangan mencapai muara-bahagia masih jauh namun bagaimana pun sungai tidak mengalir ke hulu untuk sampai lautan Sang Sungai tidak boleh lupa pada sumbernya di Gunung Cita-cita Bangsa.
BAB V
Rame-rame Potong Tebu pada Hari Ulang Tahun 26 Juli
Ada lagi yang luar biasa. Setiap tanggal 26 Juli, hari ulang tahun penyerbuan gudang senjata El Quartel Moncada (1953) oleh satu grup pemuda revolusioner dibawah pimpinan Fidel Castro; dan setiap tanggal 2 Desember, peringatan hari pendaratan Fidel Castro, Raul Castro, Camilo Cienfuegos, Che Guevara (selurahnya 78 pejuang) mendarat di pantai Las Colorado di Oriente Cuba dengan sebuah motorboot "Granma" dari Mexico (1956) - kedua hari tersebut dirayakan besar-besaran dengan melakokan kerja bakti menebang tebu.
Hari penting yang ketiga, yang diperingati setiap tahun selama tiga hari, 17-18-19 April, adalah hari-hari pertempuran di Playa Giron selama tiga hari tiga malam menghancurkan pendaratan tentara bayaran (mercenarios) Amerika, yang terkenal dengan nama "Pertempuran di Pantai Babi" (Baya de Cochon).. Sebagian dari mercenarios, tentara bayaran yang tidak mati, menyerah kalah, menjadi tawanan perang, kemudian dikirim kembali ke Amerika. Bahwa kekalahan tentara bayaran di Pantai Babi itu memalukan Amerika sendiri bukan main, tak usah dikatakan lagi. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tahun 1961. Itu kekalahan Amerika yang pertama kali di lautan Karibia, di samping berarti pula kemenangan pertama rakyat Amerika Latin terhadap imperialismo yanqui. Bahwa kesimpulan demikian itu membuat tambah panas hati pihak Amerika, dapat dimaklumi pula.Jelaslah, mengapa akibatnya Kuba dijatuhi "blokade ekonomi"- bahkan sampai sekarang - dan pengintaian dari laut dan dari udara masih terus dilanjutkan ketika saya tiba di Havana.
Demikianlah mengapa hari-hari penting tersebut diperingati dengan rasa khidmat dan dirayakan dengan kerja bakti besar-besaran secara suka-rela, tetapi meriah dan dengan gembira oleh seluruh rakyat Kuba.
Kerja bakti itu dengan bersenjatakan golok (machete,) pergi menyerbu peladangan tebu untuk memotong tebu.Tambah meriah lagi karena seluruh perwakilan negara-negara sosialis turut meramaikannya.
Tentu saja KBRI Havana tak mau ketinggalan. Bangun kembali dalam hatiku, kebanggaaan akan pengalaman kerja bakti ketika saya sebagai Menteri PETERA, 1957, mengadakan pilot proyek kerja-bakti gotong-royong pemboatanjalan Saketi-Malimping, di Banten Selatan, satu daerah yang di"anak-tiri"kan beberapa zaman. Saya pribadi telah bertemu kembali dengan jiwa manusia Multatuli dengan "Saijah dan Adinda". Rasa hati kemanusiaanku selalu hendak mengulurkan tanganku kepada makhluk manusia yang di"masa-bodo"kan sistem penjajahan. Di masa itulah pula penulis pejuang Pramoedya Ananta Toer menggubah karyanya yang dijulukinya "Keluarga Gerilya". Dia juga turut serta dalam kerja bakti pilot proyek Saketi-Malimping tersebut.
KBRI Havana tak mau ketinggalan kerja bakti menyerbu peladangan tebu di Kuba pada hari peringatan Hari Perjuangan Bersenjata rakyat Kuba tersebut. Dan juta "tak kepalang tanggung". Kalau Duta besar Uni Sovyet,Alexander I.Alekseev, hanya beberapa batang saja, sudah. Isyarat simbolik setiakawan revolusioner itu sajalah. Begitu pula Duta Besar R.R.T., Wang Yu Ping. Tapi kalah banyak dengan hasil tebasannya. Duta Besar R.I. yang disertai dengan semua stabnya.
Rombongan para diplomat dalam kerja bakti itu disertai oleh Wakil Menteri Luar Negeri Kuba, Arnold Rodrigues dan Kepala Stafnya Eduardo Delgado, juga turut serta Kapten Osmani Cienfuegos (adik Pahlawan Martyr Camilo Cienfuegos), Anggota Politbiro Partai Komunis Kuba yang merangkap Urusan Politik Luar Negeri.
Mereka itu dengan bangga menyampaikan salutnya kepada kami yang mau dengan sukarela mengintegrasikan diri dengan mereka untuk merayakan kemenangan pertempuran hebat di Pantai Babi tersebut. Lalu, sehabis potong tebu, sebagai penutup kemeriahan hari itu, sebelum pulang ke rumah, diadakan latihan menembak pakai sasaran. Bukan untuk pamer, rasanya Duta Besar Indonesia yang oleh Pak Gatot (Jendral) di Juluki "koboy Krawang", tidaklah memalukan bangsa dalam urusan tembak-menembak itu.
Lain lagi dengan Konsul dari Vatican, Mons. Dr. Cesar Zacchi yang amat bersimpati pada saya. Beliau tidak pernah turut kerja bakti itu, tetapi ketika ketemu dalam Resepsi, menyalami saya menanyakan berapa ton tebu yang telah dapat saya potong, dengan senyum yang simpatik yang tidak dibuat-buat.
Memang barangkali sifat hampir semua Pastor Katolik begitulah. Mulainya dekat sama saya setelah saya katakan padanya bahwa saya seorang yang beragama Islam, yang menginginkan orang Islam dan orang Kristen bisa saling menghormati dan bisa bekerja-sama turut membangun dunia baru yang damai buat semua ummat, tanpa penindasan dan tanpa penghisapan. Dan saya orang yang beruntung, karena beroleh kesempatan mengunjungi Citta del Vaticano, Istana Paus di Roma dan diberi pula kehormatan berziarah ke makam para Paus yang ada di situ, tatkala saya turut mengiring Presiden Sukarno dianugerahi Doctor Honoris Causa oleh Bapak Paus di tahun 1956. Itulah asal-mulanya Konsul Vatican tersebut amat bersimpati pada saya.
BAB VI
Berita yang Mengejutkan tentang Kudeta Dewan Jendral
Pada hari itu tepat tanggal 1 Oktober 1965. Hari itu kurang lebih jam 9 pagi, saya sudah ada di Kantor KBRI Havana, sebab kami sedang giat-giatnya bekerja untuk memper- siapkan perayaan Hari UlangTahun (HUT) ABRI 5 Oktober 1965. Semua keluarga Staf KBRI serta anak-istrinya giat dalam Panitia Perayaan yangjuga memperoleh bantuan dari pihak Kuba.Acaranya: mengadakan resepsi disertai pertunjukan kesenian nyanyian dan tari- tarian Indonesia; sedang diusahakan pula defile persahabatan Angkatan Pemuda Kuba Juventud Rebelde) di lapangan baris- berbaris di mana berdiri patungJendral Antonio Maceo (pemimpin pemberontakan bersenjata Kuba melawan penjajahan Spanyol). Sayangnya, acara defile ini dikoreksi oleh Panglima AchmadYani, yang dalam kawatnya mengatakan bahwa hal itu tidak biasa. Maka acara defile ini dibatalkan. Dalam kawatnya yang kedua dia mengatakan, berhubung dengan kesibukannya dengan Hari Ulang Tahun ABRI di Jakarta, pengangkatan saya menjadi MayorJendral Tituler TNI baru dapat dilaksanakan sesudah perayaan itu. Saya terima dua buah kawat sandi Panglima A.Yani itu kira-kira tanggal 15 dan 20 September 1965. Memanglah saya merasa dekat dengan beliau, dan rupanya beliau demikian pula, sebagai yang telah saya uraikan terlebih dahulu.
Oleh sebab itu saya amat terkejut dan heran sekali, ketika pada tanggal 1 Oktober jam 9 pagi ketika baru saja masuk kantor kedutaan dan berada di ruang kerja, tiba-tiba diserbu tanpa bikin janji terlebih dahulu oleh Capitain Osmani Cienfuegos. Bagaimana tidak akan kaget, sebab caranya bukan saja luar biasa, tetapi mengingat beliau sendiri adalah seorang tokoh Pemerintah Kuba yang penting sekali, anggota Politbiro El Partido Comunista de Cuba (PCC), adik PaKtawan Kuba Camilo Cienfuegos almarhum. Ketika pintu diketuk sekretaris saya :"Ada tamu penting, Pak", Kapten Osmani itu sudah ada di depan pintu. Segera saya melompat menyalami dan mempersilakannya duduk. Air mukanya tampak serius, tidak seperti ketika bersama-sama potong tebu di ladang. Mula-mula saya mengira kedatangannya akan mengabarkan bantuan Kuba yang telah saya minta untuk memeriahkan HUT ABRI yang pertama kali di Havana itu. "Excusame, por favor, Señor Embajador, maafkan saya, Tuan Duta Besar, atas kedatangan saya yang tiba-tiba ini ... sebab kami mengharap dan ingin mendapat kepastian apakan Embajador sudah menerima juga berita yang telah sangat mengejutkan kami?"
Singkatnya dia mau mengecek suatu berita mengejutkan yang rupanya dia terima duluan daripada saya. Belum saya tanya apa berita yang mengejutkannya itu, saya langsung menjawab bahwa berita- berita yang masuk biasa-biasa saja, tidak- ada yang mengejutkan. Kalau ada yang abnormal, tentulah saya akan minta konsultasi kepada ustedes, kepada anda-anda. Lalu saya tanyakan, berita apa yang dia terima yang mengejutkan itu?
"Ada kudeta Dewan Jendral di Jakarta. Karni terima kawat dari AFP/Prensa Latina. Ini...."
Saya ambil kawat itu dari tangannya, memang betul dari AFP/ Prensa Latina - kantor berita Pranci/Kuba. Pendek saja berita itu: TELAH TERJADI COUP D'ETAT Dl JAKARTA TERHADAP PRESIDEN SUKARNO. Saya perhatikan, kawat itu tertanggal 1 Oktober, berarti terjadinya kemarin, 30 September waktu Kuba.
Kalau langit dan bumi ini pecah tiga, empat, lima - saya tidak akan seterkejut seperti setelah saya membaca kawat yang dibawa oleh Kapten Osmani tersebut.Walapun sekujur badan saya sŠperti disengat listrik saking kagetnya mendengar berita yang tidak enak itu, pikiran dan hati saya tetap saja tidak mau percaya.
"Impossiblé ... yo no puedo crearlo (tidak mungkin saya tidak bisa percaya berita ini) .... I-m-p-o-s-s-i-b-l-é", tukas saya dalam bahasa Spanyol dengan intonasi panjang.
Saya ceritakan pada Osmani tentang pertemnan saya dengan Presiden Sukarno dan Panglima A.Yani bulan Januari 1965 secara singkat. Tidak mungkin pahlawan perang yang menghancurkan pemberontakan separatis PRRI/Permesta itu, mengkhianati Presiden, Panglima Tertingginya.
Pembaca yang terhormat,
Saya terpaksa dengan susah-payah menahan emosi untuk tidak menumpahkan semua sekaligus di halaman-halaman ini, dan sebe- narnya sekarang ini memang sudah terlalu janh menggapai-gapai kejadian sial 1 Oktober 1965 itu. Suatu kejadian yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya, tak terandai-andaikan bahkan sedikit pun pada saat kami bertiga - Presiden, Pak Yani dan saya - begitu intimnya menyantap rebusan"singkong Marhaen" di Istana Merdeka.
Melanjutkan cerita tentang pertemnan dadakan antara Kapten Osmani dengan saya pada 1 Oktober 1965 pagi itu, Kapten Osmani sebelum pamit masih berkata: "Sebaikuya saudara Duta Besar mengecek berita itu. Karena persahabatan Kuba yang begitu dekat dengan Indonesia, saya anggap penting berita AFP itu segera diketahui Embajador dan diperiksa sampai di mana kebenarannya. Kuba mengharapkan berita itu tidak benar. Sekian saja, hasta luego, sampai nanti." Sesudah menanyakan keadaan keluarga saya, seraya menyatakan salamnya, Kapten Osmani pamitan pulang.
Sejurus saya termenung memikirkan berita yang sensasional tetapi sekaligus mengkhawatirkan yang dibawa tokoh penting Kuba tadi. Masih tetap saja tidak masuk akal pada saya. Kemudian saya kumpulkan semua staf KBRI dan memerintahkan agar mengecek berita itu. Pertama, saya perintahkan menilpon ke Jakarta. Kedua, menanyakan kepada KBRI Washington apakah mereka ada mene- rima berita tentang kudeta itu.Ternyata KBRI Washington juga tidak tahu apa-apa, mereka hanya menjanjikan akan memberitahokan ke Kuba kalau sudah dapat berita resmi dari Jakarta. Agar pembaca mengetahui, KBRI Havana tidak mempunyai hubungan tilpon langsung denganJakarta.Telex atau tilpon semuanya harus melalui KBRI Washington. Hanya surat-menyurat, diplomatic bag, bisa langsung via Mexico per plane. Pada waktu saya baru tiba di Ha- vana, saya tanyakan kepada chargé d'affair, saudara Raden Ngabehi Sulaiman, yah begitulah ketentuan Deplu diJakarta.Tentu saja saya mendongkol, tapi saya belum bisa berbuat apa-apa untak tidak tergantung kepadaWashington itu. KBRI Havana dalam hal trans- komunikasi ke Jakarta rupanya cuma embel-embel. Saya pikir pada saatnya keadaan seperti itu harus diubah, supaya saya dari Havana punya akses langsung dengan pemerintah pusat di Jakarta.
Pada resepsi di Kedutaan RRC pada hari 1 Oktober 1965 itu, banyak Duta-duta Besar asing menyalami saya, sampai jadi berkerumun. Rupanya mereka sudah memperoleh juga berita sema-cam yang diberitakan olehAFP itu. Dengan tegas saya membantah, bahwa sama sekali tidak mungkin terjadi kodeta oleh Dewan Jendral, bahwa saya masih menantikan penjelasan dari Jakarta.
Pada resepsi di Kedutaan RRC pada hari 1 Oktober 1965 itu, banyak Duta-duta Besar asing menyalami saya, sampai jadi berkerumun. Rupanya mereka sudah memperoleh juga berita sema-cam yang diberitakan olehAFP itu. Dengan tegas saya membantah, bahwa sama sekali tidak mungkin terjadi kodeta oleh Dewan Jendral, bahwa saya masih menantikan penjelasan dari Jakarta.
Mengenai hal ini ada sesuatu yang"aneh" saya alami. Kira-kira dua bulan yang lalu dalam satu pertemuan dengan Duta Besar Polandia, beliau menanyakan, sampai di mana kekuasaan Presiden Sukarno di dalam ketentaraan Indonesia. Tentu saja saya jawab positif, semua ABRI bulat di belakang Presidennya. Mestinya dalam hal seperti itu saya, sebagai Duta Besar dan juga sebagai telinga di pos depan, segera melaporkan kepada Pemerintah. Mengapa sampai muncul pertanyaan seperti itu? Tapi apa mau dikata, seperti saya katakan di atas tadi, KBRI Havana tidak punya komunikasi langsung ke Jakarta. Dan saya selalu bersikap hati-hati mengenai hal-hal se- cret seperti itu. Satu hal pernah saya minta kepada Presiden Sukarno kalau saya dikirim ke Kuba, agar dalam hal-hal yang penting dan rahasia saya diperkenankan berhubungan langsung dengan Presiden. Hanya dalam urusan administrasi dan keuangan saja, saya bertang- gungjawab kepada Menlu dan Deparlu. Beliau mengerti maksud saya dengan baik. Ketika itu saya belum mengetahui tentang peralatan Kedutaan Besar Havana yang sangat minim.
Marsekal Suryadharma tadinya ditugaskan untuk mempersiapkan Kedutaan di Havana itu, kemudian beliau diangkat menjadi Penasihat Militer Presiden Sukarno.Ternyata alat-alat komunikasi langsung antara KBRI Havana dengan Istana di Jakarta tidak ada sama sekali, barangkali belum terpikir akan arti penting KBRI Ha- vana, padahal sebagaimana dikatakan Presiden Sukarno, Kuba punya posisi penting bagi kita dalam kaitan dengan Amerika Latin. Nanti, nanti di Jakarta saya akan menjumpai lagi keteledoran, kelalaian Penasihat Militer kita ini, di dalam rangka penyelamatan Presiden Sukarno dari kepungan malapetaka G30S.
Di dalam resepsi di Kedutaan RRT tersebut di atas tadi, Duta Besar Polandia itu juga datang menyalami saya dengan senyumnya yang simpatik itu, tapi dengan nada rada sarkastis berkata sambil- lalu: "Itu sebabnya dulu saya mengingatkan Duta Besar supaya periksa lagi sampai di mana kekuatan Presiden Sukarno di dalam ketentaraan Indonesia".
Dalam hal ini, kiranya, para pembaca dapat memaklumi bahwa telah berlaku pada diri saya pribadi peribahasa"sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna". Saya tidak bermaksud menyalahkan siapa pun mengenai kesulitan alat-alat komunikasi itu tadi, tapi biarlah diketahui kekurangan hal-hal yang amat penting kita butuhkan di masa itu.
Barulah pada tanggal 5 Oktober kita terima telex dari KBRI Washington yang mengabarkan bahwa telah terjadi kudeta oleh Kolonel Untung. Itu saja. Seminggu kemudian, oleh saudara Djuwir Djamal, ex Sekretaris I KBRI Havana yang beberapa bulan yang lalu telah dipindahkan Deplu ke Kedutaan R.I. di Argentina, saya dikirimi majalah yang memuat foto Kolonel Untung
Dalam keadaan tak menentu itu, saya terpaksa memutuskan membatalkan Peringatan Hari UlangTahun ABRI yang tadinya telah direncanakan dengan segala kebesaran dan kemeriahan. Buat apa, kalau hanya akan memalukan nama bangsa, memalukan pemerin- tahan Sukarno. Sebab masih belum ada juga keterangan yang menjelaskan situasi dari Jakarta mengenai kudeta itu.
Sesudah itu barulah ada telex dari KBRI Washington yang agak jelas, bahwa pada 30 September telah terjadi percobaan kudeta oleh Kol.Untung dan Presiden Sukarno dalam keadaan selamat.
Kawat-kawat memantau pulang
Tanggal 3 Oktober, saya terima kawat pribadi dari abang saja, Asmara Hadi, anggota MPRS yang berada di Peking. Kemudian baru saya ketahui, baLwa dia sebagai anggota MPRS turut serta dalam rombongan Ketua MPRS yang diundang menghadiri perayaan Hari Nasional RRC. Demikian juga Saudara Winoto Danuasmoro ikut da]am rombongan tsb.,juga sebagai anggota MPRS. Kawat tersebut meminta saya pulang, sebab keadaan di Indonesia gawat.Tiga hari kemudian datang pula kawat dari SaudaraWinoto Danuasmoro, mengatakan bahwa saya tidak usah pulang, sebab Bung Karno selamat.
Selang beberapa hari kemudian, datang pula kawat dari Chaerul Saleh, Ketua MPRS, meminta kalau bisa saya pulang. Kawat itu tertanda dari Kanton. Saya artikan mereka, rombongan MPRS itu, dalam perjalanan pulang ke Jakarta.
Kemudian datang pula telex dari Jakarta mengabarkan tentang percobaan kudeta Kolonel Untung dari G30S/PKI yang telah dapat digagalkan, korban beberapa orang Jendral TNI, di antaranya Panglima A.Yani, dan Presiden Sukarno dalam keadaan selamat.
Barulah kami dapat berita yang agak jelas. Bagaimana kerusuhan di dalam hati saya tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Koq, sampai PKI, yang Ketuanya D.N. Aidit, yang saya kenal sejak dari muda Anggota Barisan Pemuda GERINDO yang saya pimpin dan yang menjabat sebagai Menteri Negara pula, sampai mau berbuat makar, sampai bisa dimanipulasi oleh Kolonel Untung itu. Koq bisanya? Ah, Brutus engkau!
Aduh, kenapa Dr. Subandrio, yang saya anggap sebagai sahabat baik saya itu (kalau tidak, mana saya mau mengajukannya jadi Menlu di dalam Kabinet Karya Djuanda dahulu), yang tahu pula betapa rapat dan setianya saya kepada Bung Karno, tidak sedikitpun langsung menilpon atau men-telex saya? Apa sebenarnya yang terjadi sampai AchmadYani,Jendral harapan saya Angkatan 45 itu sampai menjadi korban?
Hati saya resah, gelisah, tidak menentu, tidak tahu apa yang bisa saya perbuat untuk membantu Presiden Sukarno, menyelamatkan negara dari malapetaka yang gawat itu. Saya ingin tabu apa sebenarnya yang telah terjadi. Saya bukan seorang Duta Besar tok, amtenar yang bisa kerja cuma tunggu petunjuk atasan. Saya patriot pejuang yang turut mendirikan negara ini di barisan paling depan di zaman revolusi kemerdekaan. Masakan saya harus tengak-tengak saja begitu jauh dari tanah air yang tertimpa bahaya, duduk di Ha- vana dari resepsi ke resepsi. Akbirnya saya terima kawat singkat Chaerul Saleh seperti saya singguh di atas: "Kamu harus pulang; sebentar, penting, cepat".
Saya ambil keputusan, saya harus pulang cepat untuk mengetabui jelas dan menengok apa yang terjadi. Saya rundingkan maksud saya itu dengan Sukendah, isteri saya. Dia dapat memaklu~ni karena juga khawatir akan keadaan Presiden Sukarno. Saya punya kekhawatiran dobel, mengenai apa yang sedqng te~adi di Indonesia dan tentang; urusan-urusan KBRI serta keluarga yang akan saya tinggalkan sementara di Kuba.
Saya rundingkan pula dengan semua staf KBRI, supaya segala sesuatu yang penting yang mungkin dihadapi KBR], Ibu Sukendah jangan ditinggal sendiri, harus turut rundingkan bersamanya sebagai wakil langsung dari saya sebagai Dubes, bukan saja karena ia seorang isteri. Saya tidak lupa amanat Presiden Sukarno ketika melantik saya di mana beliau meminta istri saya berdiri di samping saya untuk menenma amanat yang diberikannya."Duta Besar dan sang istri harus merupakan satu team. Sukendah saya kenal sejak masih gadis, seorang pemuda pergerakan juga, harus bantu Hanafi, suamimu. Seorang istri adalah "een moedertje, geliefde, en kameraad tegelijk" (seorang ibu, kekasih dan sekaligus kawan seperjuangan), kata Bung Karno.
Tinggal lagi saya harus pamitan, memberi tahu kepada Peme- rintah Kuba maksud kepergian saya itu. Menlu Dr. Raul Roa menyatakan harapan yang terbaik bagi Presiden Sukarno, atas nama Pemerintah Kuba. Tapi untuk minta waktu audiensi kepada Commandante Fidel Castro, Raul Roa menyarankan sebaiknya tunggu selesainya Hari-hari Peringatan Desember yang selalu penting diperingati, dan Fidel sedang sibuk-sibuknya waktu itu.
Hari 2 desember 1956 . . . adalah hari pendaratan satu grup kaum revolusioner Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro (Camilo Cienfuegos, Che Guevara, Raul Castro dan lainnya) di pantaiOriente (Kuba) dengan kapal motor Granma dari Mexico. Hari itu diperingati setiap tahun. Dari 87 orang yang bisa sampai ke puncak gunung Pico Turquino, itu hanya 12 orang. Karena waktu mendekati pantai mereka diserang oleh kapal terbang Batista. Pada waktu mendarat, langsung bertempur. Peristiwa heroik bersejarah itu terkenal dengan nama Pendaratan Kapal Motor Granma. Begitulah riwayatnya secara singkat.
Saya sudah mengatakan kepada Menteri Luar Negeri, Raul Roa bahwa saya akan berangkat ke Indonesia sehari sesudah peringatan pendaratan Granma itu, Dus tanggal 3 Desember. Saya masih me- nyempatkan diri menghadiri hari peringatan Pendaratan Granma dengan satu Rapat Raksana di malam hari. Dengan perasaan agak jengkel, sebab tidak mungkin ketemu Commandante Fidel Castro, sebab saya tidak mau menunda-nunda lagi keberangkatan saya itu.
Commandante Fidel Castro mengunjungi Dubes R.I. paraksiang 2 Desember 1965
Hari sudah jam satu malam lebih. Setiba di rumah anak-isteri sedang mempersiapkan barang-barang keberangkatan saya.Tiba-tiba masuk ke pekarangan dua bnah jeep. Beberapa tentara turun mengetok pintu. Setelah dibuka oleh Tan Joe Hok, koki yang saya bawa dari Jakarta, tentara-tentara itu minta supaya lampu-lampu yang menerangi pekarangan rumah kediaman saya itu dimatikan semua. Koki itu meneruskan permintaan itu pada saya. Dengan suara keras saya melaranguya, sebab menyimpan rasa dongkol akan berangkat tanpa bisa pamitan dengan Fidel dalam soal sepenting ini.Tentara- tentara itu - entah berapa jumlah mereka - masih menunggu di luar, kemudian seorang dari mereka masuk ke dalam sambil mengatakan ada Commandante Fidel Castro di jeep yang satu lagi, bahwa beliau mau masuk bertemu Duta besar, kalau lampu pekarangan yang terang-benderang itu dimatikan dulu.
Mendengar kata-kata tentara itu, segera lampu pekarangan saya suruh padamkan semna dan saya loncat ke luar menyambut Com- mandante Fidel Castro yang sudah sampai di pangkal tangga masuk. Saya minta maaf, menyalaminya dan beliau juga minta maaf karena tak memberi tahu lebih dahulu. Saya tuntun Fidel ke ruangan tamu diantar dokter tentara, dokter pribadinya, yang lainnya berjaga di luar. Hampir satu jam kami berbicara tentang peristiwa pembe- rontakan Kolonel Untung. Singkatnya, Fidel mengucapkan selamat jalan untuk saya guna tugasku yang penting itu. Kemudian dia meminta sehelai kertas untuk menulis surat buat Presiden Sukarno pribadi, dengan pesan supaya diberikan langsung ke tangan Bung Karno. Saya sambut pesan kepercayaannya kepada saya dengan hormat dan terimakasih. Sesudah saya jamu dengan gorengan kripik tempe dariJakarta dan minum kopi serta satu sloki whisky bersama ucapan kesehatan untuk Commandante Fidel Castro, yang disambut dengan ucapan kesehatan Presiden Sukarno pula, dan sesudah beliau menghabiskan goreng tempe sepiring itu, beliau pamitan. Betul- betul satu kenangan yang indah terkesan yang ditinggalkannya padaku. Betul-betul suatu persahabatan yang mesra yang diberi- kannya itu, dan yang akan saya ceritakan sebulat-bulatnya kepada Bung Karno. Tidak ada Duta Besar lainnya yang ditanggapinya seperti itu. Barangkali cuma Dubes Uni Sovyet, tapi tentulah ada lainannya, dan tentu tidak akan menggedor pintu di tengah malam hari seperti dengan saya itu.
Fidel datang dari peringatan "Pendaratan Granma" untuk mem- bebaskan Kuba. Keesokan hari Hanafi berangkat ke Indonesia untuk bantu keselamatan Presiden Sukarno. Sungguh suatu simbolik revolusioner, tetapi ternyata Fidel memang berhasil mem bebaskan Kuba- tapi Hanafi tidak berhasil membebaskan Bung Karno dari kepungan kontra-revolusi bangsanya sendiri. Apa mau dikata ...
BAB VII
Perjalanan ke Jakarta dibuntuti Maut
Di pagi hari tanggal 3 Desember 1965,oleh anak-anak saya, Nurdjaya dan Damayanti, bersama adiknya Nina Mutianusica yang berumur setahun, serta istri saya Sukendah, saya diantar ke lapangan terbang Rancho Boyero. Dari staf diplomat KBRI turut mengantar pula Saudara-saudara Moh. Hatta, Hartono dan Rustamadji. Saudara Zuwir Djamal tidak ada, sebab belum lama berselang pindah ke KBRI Argentina di Buenos Aires. Saya merasa kehilangan dia. Dia itu masih ponakan dari wartawan kawakan Saudara Adinegoro yang saya kenal baik, yang bahkan pernah turut serta dalam rombongan yang mengiring Presiden Sukarno dalam kunjungan kenegaraannya ke Amerika, Rusia dan Tiongkok, seperti saya. Adinegoro sendiri datang sengaja ke rumah saya, berbasa-basi mau menitipkan Zuwir Djamal pada saya yang akan ditempatkan oleh Deplu ke Havana, Kuba. Dia berangkat lebih dulu daripada saya sekeluarga ke Havana, Kuba. Zuwir Djamal ini Sekretaris I saya yang pertama-tama, orangnya punya jiwa lahur dan punya budi-baso, kata kami di Sumatra.
Saya kemudian menjadi "orang buangan", political exile di Paris, namun sebagai seseorang yang tetap berpendirian "putra Indonesia", sejak Duta Besar R.I. di Paris Pak Mohamad Nur dan Athan Willy Kahirupan, pintu KBRI Paris tidak ditutup buat saya. Sekali, pada hari Lebaran, ketika saya ke KBRI turut sembahyang Idulfitri, saya merasa ada seseorang duduk di belakang saya.Ternyata saudara Zuwir Djamal. Dia tidak takut dan ragu-ragu memperkenalkan saya pada orang-orang KBRI Paris:"Ini Pak Hanafi, bekas senior saya". Saya dengar kemudian, Zuwir jadi Duta Besar di Brunai Darussalam. Saya menceritakan hal ini, oleh karena sejak saya menjadi "orang buangan", hanya Zuwir Djamal itu saja yang kebetulan saya jumpai.
Lapangan terbang Rancho Boyero hanya digunakan oleh Cubana de Aviacion,Aeroflot, CSA (Cekoslowakia) dan Iberia. Sejak Fidel Castro berkuasa kapal-kapal terbang Amerika dan Eropa tidak ada yang mendarat lagi di sana. Dan yang penting bagi saya, untuk pulang dan pergi ke Mexico tak ada pesawat selain pesawat Cubana de Aviacion itu.
Ketika tiba waktu berangkat, saya ulangi amanat saya kepada semua, kepada Sekretaris I Moh. Hatta:"Dalam masalah politik, Ibu Hanafi adalah wakil saya pribadi, selama saya bepergian keJakarta, rundingkan masalah-masalah sama Ibu,jangan dilupakan".Ternyata kemudian, adanya amanat saya itu memang penting.
Saya cium "selamat tinggal" anak-anak dan istri saya dan salam mesra pada semua yang mengantar saya, dan naiklah saya ke kapal terbang. Bismillah. Saya latih diriku di dalam hati untuk selalu dekat denganTuhan dalam hal-hal begini. Dulu juga begitu. Saban keluar dari cacuran atap rumah dengan langkah pertama saya mengucapLan "Bismillah". Demikian juga dahulu ketika masih di front Krawang- Bekasi. Dari kocil saya dilatih begitu.
Ketika tiba di Mexico, tidak ada pegawai lokal KBRI Mexico datang menjemput. Apakah KBRI Havana ada mengabarkan atau tidak kedatangap saya ke Mexico, saya tidak tahu. Saya ambil taxi pergi ke Hotel Del Prado di sana saya biasa menginap kalau datang ke Mexico. Saya tilpon menyalami Duta Besar IsmailThayeb, kalau- kalau ada titipan yang bisa ku bawa untuk hamilinya di Jakarta.
Saya kenal hampir semua keluarga Bapak Teuku Thayeb dan hubungan saya dengan Dr. Syarif Thayeb pun rapat sejak hari-hari Proklamasi Kemerdekaan. Ternyata Pak Ismail Thayeb tidak mengetahui sebelumnya akan kedatangan saya ke Mexico itu. Artinya KBRI Havana punya kelalaian.Tapi saya juga maklum, memang ada pro- blem soal komunikasi dengan Mexico. Ini bersangkutan dengan blokade Amerika terhadap Kuba. Ada kala kita bisa menilpon ke Havana dari Mexico, kadang kala juga tidak mudah. Maka itu KBRI Havana banyak tergantung pada hubungan kolegial kita dengan KBRI Washington. Contohnya, ketika saya mau beli mobil Amerika, Duta Besar kita di Washington, Mukarto Notowidigdo, tidak bisa membantu membelikan, sehingga dia terpaksa membelikan mobil buat KBRI Havana melalui Kanada, sebab Kanada punya hubungan diplomatik dengan Kuba, sedang Amerika tidak, bahkan memblokade Kuba. Sampai sekarang!Saya kenal hampir semua keluarga Bapak Teuku Thayeb dan hubungan saya dengan Dr. Syarif Thayeb pun rapat sejak hari-hari Proklamasi Kemerdekaan. Ternyata Pak Ismail Thayeb tidak mengetahui sebelumnya akan kedatangan saya ke Mexico itu. Artinya KBRI Havana punya kelalaian.Tapi saya juga maklum, memang ada pro- blem soal komunikasi dengan Mexico. Ini bersangkutan dengan blokade Amerika terhadap Kuba. Ada kala kita bisa menilpon ke Havana dari Mexico, kadang kala juga tidak mudah. Maka itu KBRI Havana banyak tergantung pada hubungan kolegial kita dengan KBRI Washington. Contohnya, ketika saya mau beli mobil Amerika, Duta Besar kita di Washington, Mukarto Notowidigdo, tidak bisa membantu membelikan, sehingga dia terpaksa membelikan mobil buat KBRI Havana melalui Kanada, sebab Kanada punya hubungan diplomatik dengan Kuba, sedang Amerika tidak, bahkan memblokade Kuba. Sampai sekarang!
Soal pita rekaman Dewan Jendral
Pertama kali saya mendengar cerita "tape DewanJendral" ialah ketika saya menginap di Hotel Del Prado di Mexico ini, dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Ini terjadi secara kebetulan, tapi sangat menarik.
Ketika saya hendak pergi makan makanan spesial Mexico, Tacos, di sebuah restoran yang berdiri sendiri terlepas dari hotel tersebut, persis di depan pintu kamar saya, saya bertemu dengan Tuan. J.F. Cardoso. Ternyata dia menginap di sebelah kamar saya. Nama lengkapaya, kalau saya tidak salah, adalah Jose Francisco Cardoso. Ibunya selalu memangilnya"Paco". Dia ini baru datang kemarin dari Jakarta, hendak pulang ke Havana pada hari itu dengan Cubana de Aviacion. Dahulu, ketika saya berangkat ke Kuba, dialah yang jadi Wakil Kuba, Charge d'Affaires di Jakarta. Oleh sebab itulah, hubungan pribadi dia dengan saya sekeluarga baik sekali.
"Ola, Senor Cardoso. Buenas dias, de donde viene usted?",1) saya menyapanya dalam nada terkejut. Dia pun terkejut sekali melihat saya keluar dari kamar yang di sebelah. Dia menjawab sambil agak tertawa, menyembunyikan kagetnya:"Boenas dias. DariJakarta, baru kemarin tiba, hari ini akan terus ke Havana. Dan Embajador sendiri, mau ke mana?"
"Saya mau keJakarta.Ada kabar apa, ... apa yang terjadi di sana?" "Caramba ... habia una atentat de coup d'etat par, como se llama, el 'DewanJendral'."2) "Apa iiyya ... apa bukan oleh Kolonel Untung?" "Kolonel Untung dkk. mau mencegah kudeta oleh Dewan Jendral itu,tetapi gagal.Buktinya ada tape Konferensi DewanJendral, itu sudah ada di tangan Presiden Sukarno.Jadi jelas, Dewan Jendral mau kudeta. Itu berita dan cerita yang dapat saya ketahui di Jakarta." "Wah, celaka, repot nih", dalam hatiku, mendengar cerita Cardoso. Cepat-cepat saya bilang:"Fait atencion, Senor Cardoso, por favor, hati-hati tuan Cardoso, tolong, jangan dulu dilaporkan cerita itu kepada Pemerintah Kuba sebagai keadaan dan kenyataan yang pasti, demi kepentingan bersama Indonesia dan Kuba.Tunggu dulu kabar saya dari Jakarta."
Demikianlah cerita pertemuan singkat saya dengan Tuan J.F. Cardoso ketika sama-sama mengunci pintu kamar, dia mau keluar membawa kopornya, dan saya mau keluar cari makan siang. Kami berpisah sama-sama mengucapkan selamat jalan. Di dalam hatiku, belum juga sampai ke "gelanggang", baru dalam perjalanan ke situ, saya sudah ditempur angin berita yang simpang- siur. Untuk menyingkat cerita, supaya sampai pada "tape Dewan Jendral" yang diceritakan oleh Cardoso di atas tadi, saya sekarang melompati jarak dan waktu sampai pada ketika saya sudah tiba di Jakarta. Ternyata cerita tape Konferensi DewanJendral itu, dan bahwa tape itu ada di tangan Bung Karno, sebagaimana diceritakan tadi adalah tidak betul, omong-kosong, isapan jempol dari pihak GESTAPU saja."Omong-kosong" itu harafiah ucapan Bung Karno sendiri pada saya. Saya bawa Brigjen Mohamad Imam Sjafi'i (Bang Piti) untuk menemani saya ke Istana Bogor menanyakan soal tape tersebut. Bung Karno malah bertanya pada Pi'i: "Apa yang kamu ketahui dan di mana adanya tape itu Pi'i?" Brigjen Pi'i, "jagoan" saya ini, jadi terheran-heran menjawab: "Lho, Pak, orang kata tape sudah ada di tangan Bung Karno!" "Semuanya itu omong-kosong, makanya itu jadinya begini." Demikian ucap Bung Karno dengan wajah yang muram. Ketika saya bersama Brigjen Sjafi'i dipanggil Bung Karno ke Bogor, sudah bulan Januari 1966, bulan pertama saya tiba di Indo- nesia. Itu terjadi pada malam hari. Ketika pulang ke Jakarta, di daerah Kalibata, kami dicegat oleh tentara yang mengaku dari Pasukan Kujang Siliwangi.
Kembali ke cerita di atas, ketika saya masih dalam perjalanan menuju ke Indonesia dan masih berada di Mexico, di hotel Del Prado, sesudah bertemu dengan Tuan Francisco Cardoso. Saya terpaksa menunggu lima hari untuk bisa berangkat dengan Cana- dian Pacific. Dan entah, apa pula sebabnya, time-schedule pesawat itu tertunda dan saya tidak bisa menilpon ke Havana untuk memberi tahu tertundanya keberangkatan saya itu. Tidak boleh ada tilpun partikeliran dari Mexico ke Havana dan sebaliknya. Saya pun tidak mau minta tolong KBRI Mexico, sebab semuanya harus per telex lewat KBRI Washington. Sekalipun kita bukan lagi di zaman Doktrin Monroe (Presiden Amerika yang kelima), tapi eksesnya masih mengombak sampai sekarang.
Tanggal 10 Desember 1965, barulah saya sampai ke Tokyo. Saya dijemput oleh Teuku Damrah, staf Protokol dari KBRI dan anak saya Dias Hanggayudha, mahasiswa Sekolah Perkapalan di Osaka. Kedatangan Canadian Pacific di lapangan udara Haneda juga agak terlambat. Sebab sesudah take-off dari Vancouver, pesawat harus turun di sebuah landasan lapangan terbang darurat, berhubung adanya badai salju yang besar sekali. Kira-kira tiga jam kami tertahan di landasan terbang darurat itu. Kemudian waktu start mau take-off, pesawat itu selip pula, terpaksa ditarik ke tengah landasan lagi. Di situlah saya jumpa dengan seorang Amerika pengusaha minyak,yang mengaku sahabat baik dari Kolonel Ibnu Sutowo. Ia memberi saya cendera-mata, sebuah vulpen Parker. Ketika saya sudah berada di kamar di Hotel Imperial,Tokyo, saya melihat di TV, pesawat Cana- dian Pacific yang saya naiki tadi, sesudah kembali dari Hongkong, hancur menabrak pinggir landasan lapangan terbang, lalu pecah dan sebagian badannya terkulai jatuh ke laut (lapangan terbang Haneda terletak di pinggir laut). Untung sekali, ketika saya masih ada di dalam pesawat itu pada waktu turun di lapangan terbang Haneda, kapal terbang itu belum ditangkap kesialan itu.
Saya minta kepada Damrah agar bisa lekas dibook dengan pesawat apa saja yang bisa paling cepat sampai ke Jakarta, sebab saya ingin bertemu dengan Bung Karno secepatnya. Ternyata baru lusa ada pesawat ke Jakarta, yaitu BOAC. Saya suruh anak saya, Dias, agar bersiap-siap, akan saya bawa ke Jakarta. Saya perkirakan, andaikata Istana diblokir dan saya dicurigai, sehingga tak bisa masuk istana, maka akan saya pergunakan Dias, anak saya itu, karena dia adalah teman Guntur, ketika sama-sama sekolah di SMP Cikini.
Ketika saya pergi ke KBRI Tokyo untuk sowan Pak Duta Besar Rukminto Hendraningrat (adik Latief Hendradiningrat yang saya kenal baik), saya bertemu degan Sekretaris I saudara Moh. Jusuf. Saya tidak bisa bertemu dengan Duta Besar, karena beliau sedang pergi ke luar kota.Jusuf menggerutu, menumpahkan kekesalannya pada saya: "Bagaimana, Pak Hanafi, bagaimana kita tidak akan jadi jengkel kalau Bung Aidit itu menikam Bung Karno dari belakang dengan Dewan Revolusi GESTAPU itu. Kita khawatir akan keadaan kita semua, bagaimana jadinya nanti negara kita ini, orang-orang sekarang punya isu macam-macam terhadap Bung Karno, dia itu Pemimpin Besar kita, Bapak kita, tidak bisa diganti oleh Bung Aidit atau siapa pun juga."
Jusuf tersebut adalah anggota PSII, tapi juga Sukarnois. Saya hanya manggut-manggut saja, saya bilang padanya, walau pun saya memaklumi dengan baik perasaannya, tapi saya belum bisa memberikan penilaian apa-apa akan keadaan umum, keadaan sebenarnya dan latar belakangnya, sebelum saya sampai di Jakarta. Jusuf menitipkan,minta dibawakan sebuah mesin tik portable untuk Menteri Ir. Setiadi yang, katanya, pernah singgah di Tokyo ketika pulang dari Kamboja. Mula-mula saya keberatan.Akhirnya saya bawa juga untuk tidak mengecewakannya yang kena titipan itu, dan juga mengingat akan Ir. Setiadi dan Dr. Sudarsono adalah pendiri API yang pertama-tama, Cabang Cirebon, di tahun 1945.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah siap untuk pergi ke lapangan terbang. Makan pagi ditemani oleh Teuku Damrah dari KBRI. Anak saya, Dias, yang mau saya bawa ke Jakarta itu, belum datang. Kami tunggu lagi sampai menjelang waktu yang menentukan kepastian sudah harus berangkat ke lapangan terbang untuk tidak ketinggalan kapal terbang. Dekat jarak ke lapangan terbang belum tentu bisa dicapai dalam setengah jam, mengingat banyaknya kendaraan dan sering macet.Tunggu punya tunggu, Dias belum datang juga. Saya gelisah bukan main, karena ingin secepatnya sampai ke Jakarta. Harapan saya tadinya, kalau bisa jam 9 dia sudah ada bersama saya di hotel. Sebab dari Hotel Imperial ke lapangan terbang Haneda itu bisa memakan waktu satu jam, kalau banyak trafic. Saya menunggu di kamar hotel ditemani oleh Damrah sampai jam 10, tapi Dias, anak saya itu, belum muncul juga. Entah apalah yang diurusnya itu, saya tidak tahu. Saya jadi tidak sabaran. Sementara itu saya mengenangkan percakapan saya dengan Saudara Jusuf Sekretaris I KBRI kemarin, setibanya saya melapor ke KBRI dan juga sekadar mendapatkan info tentang keadaan di Jakarta sejak 1 Oktober. Saudara Jusuf itu kenal baik dengan saya, dia itu anggota PSII yang Ketuanya Pak Aruji Kartawinanta. Saya catat dalam ingatanku kata-katanya:
"Bagaimana Pak Hanafi, kita sama-sama kenal siapa itu Bung Aidit, tapi saya tidak mengerti, koq jadinya begitu. Pak Aidit itu sudah 'gila' barangkali." Jelas bagi saya, maksudnya ia mau mengatakan bahwa Aidit tersangkut dalam pemberontakan Kolonel Untung. Jusuf tidak mau banyak bicara lagi. Saya sudah maklum.
Jam 11 sudah, anakku Dias belum datang juga. Saya duduk, berdiri, duduk, berdiri kesal, dongkol pada si anak itu. Bagaimana nasib Bung Karno sekarang, kekhawatiran itu memukul-mukul kepada saya ... Eh, jam 11 seperempat, anak itu baru muncul, mukanya jadi pucat kena ledakan amarah saya:"Kenapa kamu terlambat begini, sedangkan kamu tahu Bapak sudah menunggu sejak pagi ?".Ternyata dia terlambat, karena mencarikan oleh-oleh untuk Budenya.Apa? Benang-benang bordiran, yang kuning, merah dan lainnya, macam-macam warna. Dia tahu, Budenya suka benang- benang itu untuk membordir. Aduh, jengkelnya saya bukan main. Ditambah lagi Damrah berkata:"Tidak akan bisa kita sampai ke lapangan terbang sebelum jam 12, Pak. Banyak trafic, banyak lampu merah. Saya kira terpaksa di-cancel saja, Pak."
"Bagaimana di-cancel? Saya mesti hari ini juga sampai diJakarta, apalagi hal itu sudah dikawatkan kepada Deputy III Chaerul Saleh dan Sekretariat Negara?"Tapi akhirnya terpaksa dicancel juga. Saya minta Protokol (via Damrah) agar ngebook saya lagi dengan pesawat berikumya yang pergi ke Jakarta.
"Ada Pak, lusa, dengan Garuda Indonesian Airways." Damrah dan Dias duduk menemani saya di kamar, mereka akan ajak saya makan sukiyaki nanti. Ketika itu kira-kira jam setengah satu. Berita dari televisi yang ada di samping saya duduk, mengumumkan bahwa pesawat BOAC, yang mestinya bakal saya naiki tadi itu, mendapat kecelakaan menubruk lereng Gunung Fuji yang dipandang keramat oleh bangsa Jepang: dua puluh musikus dari London yang akan ke Melbourne, Australia, untuk merayakan Hari Ulang tahun Ratu Elisabeth dari Britania dan penumpang- penumpang lainnya mati semua. Astagafirulllah. Kalau saya tadi jadi naik pesawat BOAC itu, bagaimanalah nasib saya dan Dias. Barangkali turut mati di Gunung Fuji itu. Saya merenung mengucap berkali-kali Astagafirullah. Dan kedua pemuda di depan saya itu jadi bengong melihat saya. Damrah mengucap "Allabu Akbar" beberapa kali, mengucap syukur pada Tuhan, bahwa saya masih ada di samping mereka di hotel itu karena tidak jadi naik kapal terbang yang telah mendapat kecelakaan itu. Sesaat saya semedi ... mengucap syukur pada Allah ... aku yang da'if ini, Engkau tuntun, ya Tuhanku.
Di kanan dan di kiriku Jibrail dan Mikhail, kau surah mengawalku, anakku yang tidak bersalah itu. Engkau ciptakan menjadi Makna, sehingga aku tak jadi menaiki kapal terbang yang sial nasibnya itu. Kuucapkan Ayat Kursi dengan khusyuk sepenuh- hati. Rupanya sudahTakdir Nya, aku belum boleh pergi kepadaNya meninggalkan dunia yang fana ini, yang penuh bencana, dunia yang bergolak terus-menerus laksana lautan, lautan kehidupan, di mana Sang Bima yang diperintah oleh Durna untuk menyelaminya sampai kedasar-dasarnya untuk menemukan air suci, telah menemukan Dewa Ruci dan mengetahui arti sesungguhnya kesaktian hidup yang dianugerahkan oleh Allah Ta'Alla kepada kita manusia yang dijadikannya .... Aku, Anak Marhaen Hanafi, yang da'if ini, belum boleh mati, karena belumlah selesai tugas misi-hidupku yang telah ditentukan oleh Nya, sejak kelahiranku di bunii persada tanah airku ini. Allahu Akbar!
Pada saat makan siang, saya minta Damrah jangan menyantap dulu sukiyaki lezat yang telah dihidangkan itu, tetapi membacakan Alfatihah dulu, kita harus syukuran pada Tuhan. Dua hari kemudian berangkatlah saya bersama Dias dengan Garuda keJakarta, dengan tak lupa membawa benang bordir untak Budenya,yang punya arti atau makna penting dalam hukam kosmos atau kepercayaan pada kodrat Tuhan bagi saya. Setahun yang lalu saya menempuh jalan ini juga, dari Mexico ke Vancouver, lalu ke Tokyo dan Jakarta, yaitu ketika saya pergi mengadakan konsultasi yang pertama sambil menjalani "refreshing touch" pada Revolusi In- donesia, seperti kata Bung Karno. Itu merupakan perjalanan yang menggembirakan serta menyenangkan, walaupun saya amat menyayangkan, bahwa perjalanan itu tidak saya lakukan bersama- sama dengan istriku Sukendah, yang saya minta untuk "jaga rumah" (KBRI Havana). Sesudah saya kembali, beberapa bulan kemudian, Sukendah memperoleh giliran menggunakan haknya, sesuai dengan amanat Bung Karno ketika kami dilantik bersama-sama. Tentang konsultasi pertama ini, akan saya ceritakan di bagian lain. Ia sangat penting, karena di situ saya bertemu terakhir kali dengan Pak Yani.
Ada satu hal lagi yang aneh bagi saya. Ketika saya sudah akan pulang ke Havana dari konsultasi pertama itu, Bung Karno sendiri memesan kepada saya agar dibawakan cangkokan kembang Kamboja yang berwarna merah, kalau Sukendah akan datang ke Jakarta kelak. Pohon itu ada di Kuba, di Indonesia yang ada hanya berwarna putih. Bagi saya hal itu agak aneh, karena sugesti kepercayaan orang kampungku (saya kira juga di Jawa), pohon Kamboja hanya diha- diahkan kepada makam orang yang meninggal dunia. Adalah "pamali", pantangan kalau menghadiahkan pohon Kamboja pada orang yang masih hidup.Tetapi karena yang memintanya tu adalah Bapak, apa boleh buat, barangkali dia punya "penangkal" terhadap tahayul jelek itu. Bulan dan bumi, bintang dan matahari, masing- masing sama-berputar ribuan, jutaan tahun tidak bertabrakan diatur oleh hukum kosmos, yang bagi theis dipercaya oleh karena ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan. Saya pun orang beragama! Namun cangkokan kembang Kamboja itu saya bawakanjuga kepada Sukendah, dan diserahkannya pada Bung Karno, yang kemudian diserahkan pula untuk diurus kepada saudara Tukimin. Demikianlah cerita Sukendah. Ketika di udara, selepas Hongkong, seorang Indonesia datang menghampiri saya yang tidak bisa segera saya mengenalinya: "Ah, kalau saya tidak salah, ini Pak Hanafi Duta Besar Kuba? Bapak lupa, saya Marsudi, masakan lupa?"
"Maaf, Bung, sudah berapa lama tidak bertemu. Dari mana, Bung?" Marsudi menceritakan bahwa dia transit di Hongkong, datang dari Vientiane, Ibu kota Laos. Pangkatnya sekarang Letnan Kolonel, bertugas sebagai charge d'afaires di Vientiane. Saya tahu, ketika masih berpangkat Letnan, dia adalah salah seorang yang turut serta bersama Kapten Abdul Latief menyerbu masuk Enam Jam diYogya. Kemudian sekali saya tahu dia bersama Kolonel Dachjar dari KMKB Jakarta Raya, berhasil mencegat pasukan Djaelani dari D.I. yang mau menyerbu menangkap kami, ketika Sidang Kabinet Karya Djuanda ke I sedang berjalan di Pejambon untuk menerima penghargaan terima kasih dari Perdana Menteri Djuanda atas jasa mereka itu. Itu di masa awal gerakan separatis PRRI/Permesta. Sesudah itu, rasanya, saya tidak pernah lagi bertemu dengan mereka itu.Yang terakhir saya bertemu dengan Kolonel Dachjar, yalah ketika dia jadi Gubernur di Pakan Baru.
"Bagaimana, Pak Hanafi, sampai ada kejadian begini? Tadinya saya tidak menyangka bahwa Pak Aidit bisa berbuat komplotan begitu dengan Kolonel Untung, jebul-nya GESTAPU. Apakah itu bukan gila?" "Kalau bukan gila, ya sinting, sedeng atau edan....", kataku. "Tapi saya belum tahu jelas yang sebenarnya, maka itu saya ke Jakarta".
Sesudah singgah di Singapura, Garuda langsung terbang menuju Jakarta. Di lapangan terbang Kemayoran saya dijemput oleh pegawai Protokol dari Deplu dan Sekneg yang saya sekarang tidak ingat lagi nama-namanya, ada Pak Winoto Danuasmoro dari PARTINDO, dan Ajudan Deputy III Chaerul Saleh, Mayor Utomo dari ALRI yang saya kenal, yaitu putranya Dr. Sukardjo dari Tasikmalaya (dulu kolega Dr.Wahidin Sudirohusodo) dan sopir/sekretaris pribadi Chaerul Saleh, Bung Tommy, anak Ambon.
Anak saya Dias sudah ngacir lebih dahulu naik taxi ke tempat tinggal Budenya di Jalan Madiun, di rumah ipar saya, Pribadi Notowidigdo.
Mayor Utomo berkata:"Pak Hanafi, Pak Chaerul minta Bapak turut kami ke rumahnya, ke Jalan Tengku Umar lebih dahulu,jangan pergi ke mana-mana dulu."
Saya maklum, bahwa sebaiknya mendapatkan info dari bung Chaerul dulu. Mobil dilarikan kencang melalui Jalan Gunung Sahari, Pasar Senen, lalu belok ke Jalan Kwitang, melalui Prapatan Menteng Menteng Raya, akhirnya sampailah ke Jalan Tengku Umar No. 17. Saudara Ramli, bekas anggota Pasukan Bambu Runcing yang setia, sekarang pengawal merangkap sopir, muncul dari balik pohon. Hari kira-kira pukul 11 malam. Chaerul dan Zus Jo duduk-duduk di meja makan menanti kedatangan saya.
1). Halo, tuan Cardoso. Selamat siang. Dari mana Anda datang?
2). Celaka ... ada percobaan kudeta oleh apa yang disebut Dewan Jendral.
BAB VIII
Diskusi dengan Chaerul Saleh
"Assalamualaikum..."
"Nah, ini dia siluman Kuba datang, semua orang kira jij sudah di kayangan menari'serampang dua belas'bersama dewi-dewiJepang di Gunung Fuji dengan semua penumpang BOAC yang pecah itu. Sudah makan apa belum?" begitu cara bung Chaerul Saleh menyambut saya.
"Belum... racik nasi rames saja, Zus Jo, yes!" saya minta pada Zus Jo. Namun saya disuguHi sepiring nasi, sepiring rendang Padang dan gulai pakis ... la Sumatra dan sayur asem Betawi. Bikin saya"ingat kampung". Sementara saya makan, Zus Jo menanyakan keadaan Kendah dan anak-anak saya. Dia dan Chaerul tak punya anak.Yang satu ganteng, yang satu lagi cantik, dua manusia itu saya sukai. Ada sifat-sifat sama dengan saya, mereka umumnya selalu terbuka tidak suka pura-pura.
"Fi, jij datang sudah agak terlambat. Saya minta jij segera datang untuk bisa mengetahui keadaan yang sebenarnya dan membantu 'si gaek' itu mengatasi keadaan sulit yang kita hadapi sekarang. Alle hens aan dek, kerahkan semua tenaga, kita sedang diterjang badai." Chaerul selanjutnya bercerita tentang Wikana ketika sama-sama masih di RRT :"Sebelum berangkat pulang, saya nasihatkan Wikana, sebaiknya dia tak usah pulang dulu. Begitu sampai di Kemayoran dia segera disauk tentara, sekarang saya tidak tahu, saya tidak dengar lagi bagaimana nasibnya. Abangmu, Asmara Hadi dan Winoto Danuasmoro, karena dari PARTINDO, saya angggap tidak ada persoalaan, pulang bersama dengan saya."
"Bagaimana mulanya, maka jadinya begini?" tanyaku."Saya dengar jij ke Peking, kenapa Bung Karno ditinggal sendirian?" "'Pan ada Subandrio dan Oom Jo. Saya harus pergi ke Peking memimpin 100 orang anggota MPRS yang mendapat undangan kehormatan dari RRT. Ayo, sekarang saya ngomong dulu, nanti jij bicara.
"Waktu di Peking saya belum banyak tahu tentang kejadian ini. Pada waktu 1 Oktober, Hari Perayaan besar-besaran di Tian An Men, saya juga belum tahu apa-apa, sebab semua orang berada di tengah perayaan itu. Baru pada malamnya saya dengar desas-desus, bahwa di Jakarta terjadi kudeta Dewan Jendral yang gagal. Desas- desus itu timbul dari kalangan rombongan undangan dari Jakarta yang berada di tengah perayaan di Tian An Men 1 Oktober itu. Saya kontak dengan KBRI, Duta Besar Djawoto dan Atase Militer, tapi anehnya mereka, katanya, tidak atau belum menerima berita apa-apa. Baru kemudian, entah tanggal berapa, tanggal 3 Oktober barangkali, saya diberi tahu bahwa ada berita'Bung Karno selamat, tapi ada korban enam jendral yang mati terbunuh oleh pemberontak yang dipimpin oleh Kolonel Untung.
"Lega hati saya karena Bung Karno selamat, tapi hati saya cemas akan akibat pembunuhan enam jendral itu. Saya minta KBRI mengurus kepulangan kami segera ke Jakarta. Saya minta abang lu mengirimkan kawat padamu supaya kamu pulang ketika kami berangkat pulang tanggal 5 Oktober. "Saya terima kawat itu, tanggal 7 Oktober, dikirim dari Kanton", saya menyela."Jij bilang Bung Karno ditinggal pada Subandrio dan Oom Jo, tapi jij juga tahu siapa Subandrio yang punya dua muka, nempel ke Bung Karno dan dekat pada PKI. Oom Jo dalam keadaan gempa bumi, dia bisa memimpin sembahyang di Gereja, tapi lebih setia kepada Bung Karno daripada Subandrio.
"Saya tiba diJakarta baru tanggal 10 Oktober, tapi situasi sudah bergulir begitu cepat. Sekarang situasi kita sulit, sebab Bung Karno kini terjepit antara PKI dan tentara yang melampiaskan kemarahan kepada PKI akibat kejadian 30 September, di mana Kolonel Untung, dengan membunuh enam jendral dan membikin Dewan Revolusi itu, mau merebut pemerintahan, yang sekarang sudah disinonimkan dalam sebutan GESTAPU/PKI. Sekarang kau datang ini, sebenarnya sangat terlambat untuk membantu kita dan Bung Karno mengatasi kemelut dalam negara kita ini. Hari ini tanggal 21 Desember, saya dengar Aidit, yang pergi melarikan diri ke Jawa Tengah, kemarin dulu sudah dihabisi In korte metten, langsung tembak tanpa proses enggak banyak cerita! Nyoto dan Lukman sudah lebih dulu, dihabisi tanpa proses juga. Padahal Bung Karno sudah mengadakan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Saya tidak mengerti, apakah Mahkamah/pengadilan kita sekarang kurang akseptabel, apakah kita sekarang sudah dalam keadaan perang, perang saudara? Nanti jangan-jangan Bung Karno sendiri dimahmilubkan?" "Betul, saya ikuti, benar jalan pikiranmu", saya menyela. "Fi, saya tidak mengerti, saya heran, kenapa Aidit jadi begitu? Jij lebih banyak kenal dia dari aku." "Tidak juga, sama seperti you, sejak dia jadi orang penting,Wakil Ketua MPRS, kemudian jadi Menteri, lalu saya disurah Bung Karno pergi ke Kuba, saya tidak ada kontak sama dia lagi seperti dulu ketika sama-sama di DPA. Malah jij mestinya bisa mengetahui langkah-langkahnya dan waspada kalau-kalau akan mencelakakan kita."
Dengan sebenarnya saya mengatakan:"Mestinya begitu, tetapi sejak Aidit mengusulkan Angkatan 45 dibubarkan dan tidak disetujui oleh Bung Karno, dia sama saya sudah seperti minyak dengan air, walaupun sama-sama dalam satu botol yang namanya Kabinet DWIKORA. Dia jadi lebih dekat dengan Subandrio, dan jij tahu, sejak 1962 orang pada bikin desas-desus saya ini dan Bandrio sedang saingan, rivalan katanya. Subandrio atau saya yang akan jadi Presiden menggantikan Bung Karno. Padahal jij tahu sendiri, kita sebagai Angkatan 45, dan jij sendiri yang bicara satu malam penuh kepada semua tokoh-tokoh Angkatan 45 sebelum Sidang MPRS di Bandung, supaya dalam Sidang besoknya mengusulkan Bung Karno diangkat menjadi Presiden Seumur Hidup. Kita suruh Kolonel Djuhartono mencari anggota MPRS dari TNI untuk menjadi jurubicara ide kita itu. Kau tahu 'kan latar belakang ide kita itu. Perlu mengantisipasi pihak-pihak mana saja yang berambisi merebut kekuasaan Presiden, baik dari PKI atau pun dari TNI. Djuhartono ketemu Kolonel Suhardiman, dan dia inilah yang jadi jurubicara. Aku tahu mengapa dia mau jadi jurubicara, dia takut PKI akan menang, kalau dilaksanakan Pemilihan Umum yang seharusoya dilakukan tahun 1963."
"Memang betul, saya juga masih ingat. Kalau Pernilihan Umum jadi dilaksanakan, kemungkinan besar begitu. Bertolak dari kemenangan PKI pada Pemilihan Dewan Daerah pada tahun 1957, pada Pemilihan Umum yang akan datang, kemungkinan besar PKI akan mencapai kemenangan mayoritas. Suhardiman tidak ada pilihan lain, kecuali menyetujui ide kita, walaupun dia tahu Jendral Nas punya ambisi gede, juga karena disanjung-sanjung oleh sementara orang yang anti-Sukarno sesudah kegagalan Peristiwa 17 Oktober 1952. Tetapi Bung Karno sebagai demokrat 'kan menolak untuk dijadikan Presiden Seumur Hidup. Saya tidak lupa, sayalah yang menemani Bung Chaerul mengantar ke Istana Bogor. Putusan Sidang MPRS itu, bulan Mei 1962. Sebab, kalau PKI menang, bisa terjadi perang saudara lebih hebat dari Peristiwa PRRI/Permesta. Dan dari situ kita bisa menarik kesimpulan, mengapa Jendral Achmad Yani yang mendapat tugas untuk menghancurkan Pemberontakan PRRI/ Permesta itu, ketika berpamitan dengan kita di dalam Sidang Kabinet tahun 1958, memperingatkan: 'Sekali ini saya dengan TNI akan melakukan tugas kami sebaik-baiknya, tapi kami tidak ingin ada kejadian seperti ini berulang lagi '.
"Bung masih ingat'kan? Tapi Bung Karno menerima Keputusan MPRS itu karena sudah menjadi keputusan, untuk jangka waktu sampai Sidang MPRS yang akan datang. Baiklah Bung, itu hal-hal masa lampau, saya minta Bung teruskan tentang keadaan kita sekarang ." Demikian saya katakan, karena saya sudah tidak sabar mau dengar tentang situasi yang sedang berlangsung sekarang. Chaerul Saleh melanjutkan: "Ketika 1 Oktober di lapangan Tian An Men, sementara golongan dari para anggota delegasi dari Indo- nesia sudah dengan antusias menggulirkan desas-desus, bisik-bisik, bahwa telah terjadi 'kontra-aksi'mencegah Dewan Jendral yang mau mengadakan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Susah dan sulit untuk mencari siapa orang yang mulai meniupkan bisik-bisik itu, sebab tempat penginapan mereka terpencar-pencar. Sedangkan pihak resmi KBRI belum tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di Jakarta. Segera saya mengambil kesimpulan, bahwa kalau terjadi sesuatu di Jakarta mestilah tidak lain kalau bukan dari TNI, tentulah dari PKI, dua kongkuren sejak dari Affair Madiun. Setelah saya tiba kembali di Jakarta, saya dapati keadaan betul seperti apa yang telah saya duga itu. Bagi saya, Aidit dan PKI itu masuk perangkap provokasi, karena mereka 'mata gelap', takut melihat Bung Karno sudah sakit-sakitan dan itu dukun-dukun shinshe Cina itu mengatakan bagaimana gawat sakitnya Bung Karno.
Dan kalau Bung Karno tidak kuasa memerintah lagi, mereka akan dilibas habis oleh TNI dan golongan yang anti-komunis. Itulah sebabnya mereka jadi mata gelap, bikin 'putsch' yang fatal, yang akibatnya bikin sulit kita semua.Yang mestinya'kan tidak boleh begitu. Selama ini bergantung kepada Sukarno, betul, tapi mestinya gantungan yang benar lainnya sebagai kekuatan basisnya mestinya rakyat, yang menyokongnya sampai menang seperti ketika Pemilihan Umum 1955 dan Pemilihan Daerah 1957. Kenapa harus takut dan jadi mata gelap? Sampai sekarang, sekarang bulan Desember, masih berlangsung pemburuan- liar terhadap rakyat yang dituduh, disangka, ditunjuk sebagai komunis. Balas dendam. Rumah, harta, anak-bini orang komunis atau yang dicurigai komunis jadi sasaran penjarahan. Polisi, alat keamanan, semua pada kena hasutan segolongan tentara yang balas dendam atas terbunuhnya DewanJendral oleh tentaranya GESTAPU Biro Khusus/PKI. Fi, saya tanya, apa jij kenal itu Kolonel Latief, itu orang yang namanya Sjam Kamaruzaman, dan itu Kolonel Untung dari Cakrabirawa Pengawal Istana? Mereka itulah eksekutor, tokoh- tokoh utama malam na'as, parak-siang 30 September yang sudah melangkah ke 1 Oktober 1965. Pihak tentara menyebutnya GESTAPU, sebutan ini cepat menggulir ramai mensinonimkan dengan GESTAPO untuk menggejolakkan kemarahan orang kepada PKI.
Tapi kalau mau tepat, kejadian itu ialah pada 1 Oktober, maka itu Bung Karno menyebutnya Gerakan 1 Oktober, disingkat GESTOK. Sebab gerakan penangkapan dan pembunahan enam jendral terjadi sesudah jam 1 parak siang tanggal 1 Oktober 1965. Ada lagi yang hebat, yang jij mesti tahu, Fi .... pada jam 6 pagi tanggal 1 Oktober, sesudah Soeharto diberi tahu oleh tetangganya Mashuri,bahwa telah terjadi pembunuhan Jendral Yani dan jendral- jendral lainnya, dan ini pemberitahuan Mashuri itu dijadikan alibi penting, walaupun sedang berlangsungnya pemberontakan GESTAPU, dia, Soeharto, sendiri pergi mengendarai Jeep Toyota sendirian, tanpa pengawal menuju Markas KOSTRAD, melewati Kebon Sirih,Jalan Merdeka Timur. Kau pikir sendiri, seorang jendral di lapangan, tanpa pengawal, kalau andai kata ada pertempuran benar-benar akan 'jibaku' sendirian? ONZIN! Itu adalah satu pembuktian bahwa dia, Soeharto, sudah mengetahui lebih dulu. Terakhir sekali Latief datang dan memberitahukan Soeharto pada jam 1 malam tanggal 1 Oktober di Rumah Sakit Angkatan Darat itu.Tetapi kabut prasangka dan kemarahan membuat tentara tidak bisa lagi melihat terang dan tidak sempat lagi menelusuri keadaan di balik kenyataan secara jernih.
Apa jij kenal orang-orang itu?"
"Saya kenal dan tahu siapa itu Abdul Latief dan Sjam Kamaruzaman, itu orangnya Soeharto. Kolonel Untung saya belum lihat orangnya, hanya fotonya. Saya tahu dia yang diterjunkan ke Irian Barat, itu orangnya Soeharto juga. Sekarang saya mau tanya Bung ... dengarkan ... Rul, kalau jij andaikata GESTAPU atau Biro Khusus/PKI, mengapa tujuh Jendral itu saja yang mesti dibunuh mati, yaitu KASAB Jendral A.H. Nasution, Jendral Achmad Yani, Letnan Jendral Suprapto, Letnan Jendral Haryono M.T., Letnan Jendral S. Parman, MayorJendral D.l. Panjaitan, dan MayorJendral Sutoyo Siswomihardjo, kenapa mereka tujuh orang itu saja. Kenapa Mayor Jendral Soeharto tidak mau dibunuh juga, kau mau bikin apa dengan dia ini, maka kau reservir dia itu??" "Ah, Hanafi, kau jangan begitu, aku bukan GESTAPU atau Biro Khusus/PKI, dong!" "Aku hanya bilang kalau, andai kata, bukan menuduh.Agar logika dan daya analisa Bung bisa cepat kerja. Pertanyaan itu timbul di kepala saya selama dalam perjalanan ke Jakarta ini. Setelah Bung menanyai saya, apa saya kenal dengan tiga orang itu, Sjam Kamaruzaman, Latief dan Untung itu tadi, langsung ingatan saya melihat tali hubungan mereka itu dengan Brigjen Soeharto, Komandan KOSTRAD.
Ini keterangan singkat saya tentang dua orang itu:
Kesatu, Sjam Kamaruzarnan. Itu orang keturunan Arab Pekalongan. Dikenalkan pada saya ketika Konperensi PESINDO di Solo sebagai 'restan' Peristiwa Tiga Daerah, katanya, pernah anggota Laskar PAI (Partai Arab Indonesia-Baswedan). Diceritakan, dia pernah bekerja di bawah Komisaris Polisi Mudigdo di Pati sebagai polisi intel (penyelidik). Sikap dan caranya ngomong seperti orang terpelajar, pandai bergurau. Sehabis Peristiwa Madiun, kabarnya berada di Jawa Barat, di Bandung,menempatkan diri sebagai informan Tentara. Kemudian di Jakarta begitu juga, kontaknya sama Overste Latief, ketika dia menjabat Komandan Brigade Infanteri Kodam JAYA . Saya tidak pernah jumpa lagi dengan orang itu sesudah kebetulan diperkenalkan di Konperensi PESINDO tahun 1946 itu. Tetapi, kebetulan pada suatu hari, setelah terberita bahwa saya akan dikirim menjabat Duta Besar di Kuba, D.N.Aidit sebagai anggota DPA datang ke rumah saya, mau mengucapkan selamat, dengan membawa seseorang, yang walau pun badannya sudah agak gemukan, tapi saya tidak lupa, itulah dia si Sjam. Saya tidak suka pada orang yang saya anggap misterius... Aidit saya bentak dengan suara keras: 'Kenapa polisi intel ini kau bawa ke sini, hah?!' Mendengarkan bentakan saya itu, Aidit terkejut, dan Syam langsung balik ke belakang, masuk mobil lagi. Aidit pun tidak jadi masuk ke rumah, mengikuti Syam ke mobil, lalu pergi. Rupanya Aidit sudah 'dikili-kili' oleh Syam itu.
Kedua, Kolonel Abdul Latief. Dialah orang yang menaikkan nama Overste Soeharto dalam Peristiwa Enam Jam di Yogya, 1 Maret 1949. Latief ketika itu Kapten, Komandan Pasukan yang dari Godean menyerbu masuk ke dalam kota dan bersama dengan Laskar PESINDO, yang standby illegal di bawah pimpinan Supeno dan Pramudji, menggempur Belanda.
Ketiga, Kolonel Untung. Seperti sudah saya bilang tadi. Sekali lagi, semua pelaku GESTAPU itu, tokoh-tokohnya, adalah orang-orang Letjen Soeharto sendiri. Jelas, toh, kenapa Soeharto tidak turut dibunuh. Gampang sekali kalau Latief mau membunahnya, yaitu ketika di rumah sakit sebelum GESTAPU bergerak.Tentunya Latief ketemu Soeharto ketika itu untuk minta restunya, bukan mau membunuhnya. Sebab Soeharto Jendral harapan GESTAPU, seperti kita Angkatan 45 kepada Panglima Achmad Yani, sebagai Jendral Harapan Angkatan 45." "Saya kira betul apa yang kau bilang, rupa-rupanya si Aidit itu sudah 'dikili-kili' oleh si Sjam", kata Chaerul Saleh,"sampai mau bikin Biro Khusus yang dipercayakan kepada Sjam bikin rencana Pemberontakan GESTAPU, akhirnya Sjam yang bertindak bebas sendiri, Aidit tidak bisa mengontrol gerakan itu lagi.
Buktinya, ketika dia diambil dan mau dibawa ke Pangkalan Udara Halim, dia tanya kepada yang menjemputnya'mau dibawa ke mana saya ini?'. Dijawab 'mau dibawa ketemu Bung Karno', tapi tidak diketemukan pada Bung Karno. Akhirnya oleh Sjam, katanya, untuk keselamatannya, disuruh pakai kapal terbang pergi ke Jawa Tengah. Di situlah riwayatnya dihabisi oleh anak buahnya Sarwo Edhie. Tanpa proses Mahmilub. Coba pikir, kalau secara hukum negara, walaupun pemberontak atau pengkhianat, dia itu Menteri Negara, mesti ditangkap dan diadili secara hukum.
Fi, kita sudah banyak saling memberikan keterangan, dalam diskusi kita ini, baik kita stop dulu buat sementara, hari sudah larut malam.Tapi, bagaimana pendapatmu, kita apakan ini PKI? Pemuda KAMI dan KAPPI yang kena hasut tentara menuntut pembubaran PKI."
"Buat saya, bukan karena tuntutan pemuda-pemuda yang kena hasutan tentara. Partai apa pun yang bikin pemberontakan harus dibubarkan. Dulu Masyumi dan PSI. Sekarang PKI. Soalnya, problemnya, ialah waktu, kapan. Itu adalah Hak dan Kewajiban Kepala Negara yang menentukan sesuai dengan cara dan Kebijaksanaannya. Masyumi dan PSI dibubarkan, sesudah habisnya Pemberontakan PRRI/Permesta, melalui masa hampir setabun. Kita harus membantu Bung Karno ke arah pembubaran PKI, sesuai dengan Kebijaksanaannya dan Hak-Kewajibannya sebagai Kepala Negara."
Bab IX
Seorang Marhaenis Dianggap dan Ditudah Komunis
Setelah pelayan hotel Hotel Indonesia memasukkan kopor-kopor saya ke dalam kamar, saya mengunci kamar hendak pergi ke luar lagi, mencari saudara Parjono, bekas anggota Staf saya di Pepolit yang tinggal di Jalan Dr. Setiabudi. Kalau tidak salah kamar no. 32. Terkejut saya, di belakang saya Saudara Adisumarto, Sekretaris II PB PARTINDO. Dia, katanya, sudah lama menunggu saya di bawah. Dia menyalami saya sambil memeluk erat-erat. Di zaman Hindia Belanda, Adisumarto ini bekerja menjadi Guru Sekolah Desa di Kebumen. Karena menjadi anggota PARTINDO di tahun 30-an, akibat Volksonderwijs Ordonantie, dia diberhentikan. Saya baru mengenaloya ketika saya mendirikan Mingguan Pancasila di tahun 1949, sebagai hasil pembicaraan saya dengan Mr. Sumanang (bekas pemimpin redaksi "Pemandangan") dan Pangeran Bintoro (saudara Pakoalam,Yogya) dan Islan (dulu anggota Barisan Pemuda GERINDO di Jakarta. Ketika itulah saya baru bertemu dengan Adisumarto. Lalu dijadikan pemegang administrasi. Modal pertama mendirikan Mingguan Pancasila itu saya dapat sumbangan dari Bung Karno. Saya ingat, ketika saya mengunjungi Bung Karno di Istana Gedung Agung,Yogyakarta, ketika beliau sedang duduk-santai di kamar pavilyun dengan Ibu Fatmawati. Kuceritakan ide saya tentang penting adanya satu Mingguan Pancasila yang tegak di atas garis- politik persatuan nasional, yang sudah pecah akibat Peristiwa Madion. Ketika itu Adisumarto tidak sedikit pun mengesankan orang yang cenderung pada komunis atau PKI. Begitulah dia kemudian, setelah saya atas inisiatif Panitia Angkatan 45 mendirikan Kongres Rakyat Selurnh Indonesia Untuk Pembebasan Irian Barat, kemudian semua pulang dari pengungsian dari Yogyakarta ke Jakarta, Adisumarto terus saja bersedia membantu saya. Dia terus membantu saya sampai ketika saya oleh Bung Karno disuruh mendampingi abang saya, Asmara Hadi, yang bersamaWinoto Danuasmoro sedang membangun kembali PARTINDO, di samping PNI. Semula saya mau menolak, sebab saya sudah mencurahkan aktivitas politik saya kepada organisasi Angkatan 45, karena nostalgia pada zaman kami di Menteng 31, di mana segala macam elemen, aliran, pejuang ada di situ, dan semuanya bermuara pada: Satu Indonesia Merdeka.
Bung Karno berkata: "KakakmuAsmara Hadi itu tinggal serumah bersama saya sejak di Bandung, saya kenal betul semangat dan kesanggupannya sebagai seorang Patriot, tapi jangan disuruh memimpin Partai. Kasih dia duit dan kertas, dia punya kecakapan menulis, yang stijle-nya sama seperti cara saya".
Saya tidak suka mendengar abang saya dibilangi enggak bisa memimpin organisasi, sebab Asmara Hadi itulah yang turut menempa ide nasionalisme pada saya di samping Bung Karno. Demikianlah ceritanya, maka sesudah saya turun dari Kabinet, saya mengurus Angkatan 45 dan menjadi Wakil Ketua PARTINDO.
Saya adalah keturunan dari Kepala Marga yang turun-temurun. Jadi darah feodalistis-tanggung, feodalistis-kampung itu, tidak usah malu dibilang, kalau itu ada menitis pada watak dan jiwa pribadi saya, sehingga dari zaman pergerakan melawan Belanda, sampai ke zaman republik saya suka disindir sebagai "burjuis-tanggung".Artinya bukan dari "klas proletar". Sebagai pemuda, saya bangga kalau Bung Karno menambahkan "Anak Marhaen" pada Hanafi, nama yang diberikan oleh Ayah dan Ibuku. Sebab Marhaenisme Bung Karno itu sanggup membikin saya menjadi seorang nasionalis yang dibutuhkan zaman, zaman perjuangan untuk mencapai masyarakat marhaenis: beragama, sosial-demokrasi dan sosio-nasionalis. Saya pandang, orang-orang yang menggandrungi etiket "proletar" ketika itu tidak berdiri pada kenyataan, cuma mendengarkan detak-detik hati dan jantung saja, tapi tidak mendengarkan sedikit pun juga dentaman dan hantaman palu baja di pabrik dan industri seperti di zaman Rusia Tsar sebelum Revolusi.
Namun kami kaum nasionalis di zaman itu, menganggap orang- orang komunis di antaranya ada yang sok-sok "proletar" sebagai sahabat di jalan perjuangan menentang kolonialisme Belanda, bisa jalan bersama-sarna dengan semna golongan yang ada. Di bidang agama, saya seorang Muhammadiyah, sejak kecil di Bengkulu, Kepanduan H.W. (Hasbul Wathaon). Orang Bengkulu yang kolot itu berkata, kamu nanti "mati berhantu" sebab masuk Muhammadiyah. Begitulah pendapat "kaum tuo" terhadap "kaum mudo". Moh.Yunus, penerjemah A1 Qur'an ke bahasa Indonesia itu, dikatakan "kaum mudo" juga, Wahabis, akan "mati berhantu" juga.Tapi saya begeesterd, antusias berapi-api pada kemajuan agama Islam, saya tidak suka pada "kekolotan". Di Indonesia orang Arab Hadramaut dipandang seperti Said suci keturunan Nabi, walaupun rentenier (sepuluh/dua puluh). Itulah salah satu bentuk kekolotan. Oleh sebab keaktifan saya sebagai pemuda radikal di zaman Belanda, zaman pendudukanJepang, zaman Revolusi mencapai dan membela R.I., saya digolongkan orang sebagai seorang yang radikal kiri. Komandan Laskar Rakyat di Krawang-Bekasi, karena organisasi PemudaAPI dari Menteng 31 dilebur menjadi PESINDO di dalam Kongres Pemuda 10 November 1945, saya diusulkan menjadi Komandan Laskr PESINDOJawa Barat, di samping menjabat Opsir Pepolit T.N.I.,sebelum ditarik ke Kementerian Pertahanan diYogya.
Tetapi, ketika udara di langit perjuangan, di zaman revolusi, angin barat dan angin timur sabung-menyabung di bawah kilat Peristiwa Madiun, tanggapan terhadap "orang/pejuang kiri" menjadi rincu tak keruan. Orang PESINDO itu orang "kiri" dirincukan dengan "kaum komunis", padahal tidak semuanya mau jadi komunis, namun pun mereka kena "akibat-sampingan". Misalnya, Fatah Jasin, asalnya NU, menjadi GERINDO, kemudian PESINDO, kemudian Mayor TNI Pepolit,kemudian menjadi Menteri Agama. Jusuf Bakri, seorang pemuda Muhammadiyah, kemudian menjadi PESINDO di Yogyakarta, jadi Komandan Laskar PESINDO Jawa Tengah, seperti saya menjadi Komandan PESINDO Jawa Barat. Betul kami orang- orang kiri, tapi kami bukan komunis. Tapi toh, para penjilat mengecap saya komunis. Sembarangan! Beda dengan Sudisman, asal Barisan Pemuda GERINDO yang pernah saya pimpin, dia kadernya Pamudji yang dibunah Jepang di penjara di Sragen, dia memang jadi anggota PKI. Saya menilai dia seorang yang tahu menghormati kaum Sukarnois.
Adakalanya orang yang tidak mengutak Peristiwa Madiun dianggap pro-komunis. Obral-anggapan itu salah. Umpamanya saja, saya tidak latah turut mengutuk, sebab saya tahu Peristiwa Madian bukan soal ideologi saya sebagai Marhaenis, apalagi saya tabu sejarah asal mulanya, Peristiwa Madiun itu adalah Provokasi Red Drive Pro- posal yang timbul dari konperensi Merle Cochran di Sarangan dengan Bung Hatta dan Dr. Sukiman. Sikap saya netral, saya tidak men1ihak dan tidak mengutuk. Urusan ideologi komunis dan ideologi anti- komunis bukan urusan saya.Yang saya ambil peduli segi politiknya, menguntungkan atau merugikan perjuangan di masa itu. Itu saja.
Demikialah pikiran-pikiran saya, ketika saudara Adisumarto menyalami sambil memeluk erat-erat diri saya, maka saya pun bilang:
"Sudahlah, Pak Adi, saya terima bahagia salam erat Saudara, sudahlah, saya sudah tahu semua. Ini bukan jeneral repetisi seperti Pak Adi mau bilang. Ini putsch, sebab tidak ada massa yang bergerak. Ini putsch GESTAPU/PKI. Beberapa tokoh PKI yang katanya kaum marxis, kok munculnya Blanquisme yang memperlakukan pemberontakan sebagai seni. Repetisi-repetisi berulang sebagai repetisi perkumpulan tonil gezelschap. Salah sendiri, membuka peluang provokasi ke II, sesudah Peristiwa Madiun. Kalau kami dulu di Menteng 31 memelopori Revolusi Kemerdekaan, bukan menyandarkan diri pada komplotan rahasia macam GESTAPU, tapi pada seluruh pejuang yang maju, kaum pemuda-pemudi yang berani mati untuk kemerdekaan bangsanya. Kita, atau kami, berhasil karena kami tidak menyandarkan diri pada komplotan rahasia dan juga tidak pada satu partai pun, tidak ilegal-ilegal berbisik-bisik, tapi jelas dan terang-terangan kepada seluruh bangsa yang sadar merasakan tertindas di bawah Belanda dan Jepang. Singkatnya, rupanya selama saya di Kuba, beberapa tokoh-tokoh PKI berlagak main-main dengan Revolusi jadi seperti August Blanqui itu revolusioner Prancis, yang bersemboyan"ni dieu, ni maître" ("tak ada Tuhan, tak ada Tuan") dan yang oleh Lenin sendiri telah dikutaknya habis-habisan. Yang saya sayangkan sekali, kok Aidit jadi kena pèlèt si Syam Kamaruzaman, informan, intel tentara, mata- mata dia itu.
"Sayang sekali Bung Hanafi berada di Kuba", kata Pak Adisumarto.
"Kalau di sini juga, saya bisa apa terhadap komplotan? Barangkali saya masih bisa bicara sama Aidit pribadi, tapi bagaimana lagi kalau dia sudah dikomploti dan berkomplot dengan Syam itu. Apalagi sementara tokoh-tokoh PKI itu menganggap saya ini orang burjuis. Apa Aidit mau? Sudahlah, Pak Adisumarto, sekarang jadinya sudah begini. Kalau PARTINDO mau bikin statement:'Semua kaum nasionalis revolusioner bersatu dengan Bung Karno! Titik."
Begitulah pertemanan saya dengan saudara Adisumarto yang terakhir. Dia pejuang tanpa pamrih.
Sampai sekarang, saya sekeluarga, 7 orang semuanya, sudah 32 tahun terbuang di luar negeri, sebagai asyl politik di Prancis. Semula di Kuba sampai tahun 1973. Di masa Letjen Benny Moerdani menjabat Panglima KOPKAMTIB, beliau sudah mengizinkan saya sekeluarga pulang ke Indonesia.Tapi pelaksanaannya macet di liku-liku birokrasi di Deparlu. Kemudian di tahun 1979, Wapres Adam Malik, di hadapan saya dan disaksikan oleh Athan KBRI Den Haag, memerintahkan Sekwapres Ali Alatas S.H., supaya mengurus saya sekeluarga agar bisa pulang ke Indonesia. Resultatnya zero. Terakhir, pada tahun 1994, Mayjen Samsir Siregar, Kepala Intel, secara oral menguraikan,bahwa saya sekeluarga sudah boleh pulang. Resultatnya dubbel zero; sekali pun Menlu sekarang Ali Alatas S.H. itu juga. Orba tidak punya alasan menuduh saya komunis lagi. Apakah latar belakangnya semua itu diungkapkan oleh Drs Moerdiono Sekneg, kepada seseorang (saya tidak perlu menyebut namanya): "Kalau Dubes Kuba, Mayjen titulator itu pulang, dia akan bikin sulit kita semua".
Coba lihat!
Yang menggali kuburan mereka, mereka sendiri itu, kan?!
Bab X
Melapor kepada Presiden di Istana Merdeka
Jadi, malam pertama saya tiba di Jakarta, saya hampir tidak tidur. Jam 9 pagi saya dan Chaerul Saleh sudah berada di Istana Merdeka. Ajudan Protokol Istana, Mayor T.N.I. Prihatin, mempersilakan kami segera masuk, sebab Presiden dengan Deputy I Dr. Subandrio dan Deputy II Dr. Johannes Leimena sudah berada di dalam lebih dahulu. Pertemuan berlangsung di Biro Kerja Presiden, di mana tergantung sebuah tableau raksasa Dullah Sepasukan Laskar Gerilya menghiasi dinding.
Kami berdua masuk berbarengan, Chaerul Saleh jalan di depan, tiba-tiba saya berhenti tegak melayangkan pandang pada mereka sekejap, maju dua langkah dengan sikap militer memberi hormat: "Siap. Lapor kepada Bapak Marhaen/Panglima Tertinggi, kemarin malam baru datang dari Kuba untuk menghadap kepada Bung Karno". Kutukikkan mataku kepada matanya, Dr. Leimena dan Subandrio turut berdiri. Mungkin agak keheranan dengan caraku agak pandir yang kusengaja itu. Dalam hatiku, di dalam situasi begini sikap "sepandir" itu perlu, penting, menjauhi sikap kakek-kakek yang loyo. Saya menyalami mereka semua. Tampak di wajahnya, Bung Karno senang melihat kedatangan saya.
"Mari silakan duduk, Hanafi" kata Bung Karno."Silakan bicara apa yang engkau mau laporkan".
"Terlebih dahulu saya mohon maaf. Sebagai pembukaan ingin saya laporkan, bahwa berita mengenai Peristiwa GESTAPU itu amat terlambat kami terima di Kuba per telex. Saya agak bingung, karena saya anggap kurang jelas. Adalah kawat Bung Chaerul bulan No- vember yang membuat saya mengambil keputusan berangkat ke Jakarta. Artinya tanpa menanti lagi kawat resmi dari Deparlu, yang saya bisa maklumi sedang berada dalam situasi yang gawat. Saya telah berunding dengan Bung Chaerul tadi malam tentang situasi sekarang dan bagaimana membela Bung Karno serta Pemerintahnya. Inilah Laporan saya yang pertama.
Yang kedua, baik saya laporkan, akibat peristiwa GESTAPU, rencana KBRI Havana merayakan 5 Oktober yang baru lalu, dengan amat sedih terpaksa kami batalkan sebab yang akan kami 'bintangkan' adalah Panglima Achmad Yani, justru beliaulah yang menjadi korban di antara lainnya. Sebab dan akibat terlambatnya berita kejadian yang sebenarnya yang kami terima dariJakarta via telex KBRIWash- ington sesudah lewat 5 Oktober. Sedangkan berita yang pertama kami terima ialah dari Pemerintah Kuba, berita dari AFP yang mengatakan telah terjadi Kudeta Angkatan Darat kontra Presiden Sukarno. Saya kira Bapak Presiden masih ingat bagaimana Panglima Yani mengusulkan kepada Bapak Presiden langsung di hadapan saya, mengenai pengangkatan saya sebagai Mayor Jendral Tituler, ketika kita merundingkan pembaharuan Pimpinan Angkatan 45."
"Ya, saya ingat. Teruskan ....", kata Bung Karno. "Maafkan, mengharukan sekali," kataku, "karena justru tanggal 27 September saya terima kawat sandi dari Panglima Yani bahwa berhubung dengan kesibukan menghadap 5 Oktober, pengangkatan saya itu baru akan dilaksanakan sesudahnya.
Laporan saya yang ketiga. Saya membawa surat pribadi Commandante Fidel Castro untuk disampaikan langsung ke tangan Bung Karno. Surat tersebut ditulis tangan sendiri di depan saya dalam kunjungannya pada saya jam 3 malam tanggal 3 Desember dimana beliau menyampaikan harapan dan keyakinan bahwa Presiden Sukarno akan dapat keluar dengan kemenangan yang gemilang dari kesulitan di dalam negeri. Sedangkan yang menyangkut diri saya, Fidel Castro mengharapkan saya berada kembali di Havana sebelum tanggal 1 Januari 1966 dengan membawa Delegasi Indonesia untuk menyertai Kongres A-A-A (Asia - Afrika- Amerika Latin). Sekian, laporan selesai".
Kemudian saya minta permisi buka baju, sebab surat rahasia pribadi dari Fidel Castro saya simpan dalam sobekan lengan baju saya, yang dibuka dan dijahitkan oleh Sukendah, yang tadi pagi sudah saya buka lagi.
"Hebat laporan Dubes Hanafi ini, terimakasih. Saya ingat beginilah cara kerja-rahasia Hanafi bersama sa,va di zaman Jepang dulu", demikian kata Bung Karno.
Surat itu kuserahkan ke tangan Bung Karno, lalu dibacanya sendiri. Sesudah membacanya, surat itu dikembalikannya kepadaku untak disimpan baik-baik.
"Kalau begitu, baiknya Hanafi kita tahan saja bersama kita di sini", kata Chaerul Saleh.
"Nanti dulu", jawab Bung Karno. "Tugasnya juga penting di sana untuk kita dalam rangka Conefo".
"Apakah tidak lebih baik Bung Hanafi kita serahi tugas untuk mengurusi PKI dulu di sini?", Subandrio berkata.
Ucapan Subandrio yang bernada usul itu, sangat mengagetkan saya. Saya lama menganggap dia itu seorang tukang-intrik yang ambisius. Ada konsepsi apa yang terpikir di kepalanya itu? Sebentar saya akan bicara, tapi belum sempat mereaksi ucapan Subandrio itu, Bung Karno sudah bicara lebih dahulu.
"Itu sama sekali tidak bisa", kata Bung Karno."Pimpinan Partai harus dipilih oleh Kongres. Orang PKI sendiri tidak akan terima Hanafi, sebab dia bukan anggota PKI, dia bukan orang komunis. Dia Marhaenis, sesuai dengan namanya, Anak Marhaen Hanafi. Kalian belum tahu, belum kenal Hanafi. Sejak zaman Jepang dia saya beri tugas politik terpercaya untuk mendekati Wikana, orang PKI (ketika itu illegal, di bawah tanah) supaya jangan menyabot politik saya kerjasama dengan Jepang untuk kepentingan politik nasional yang saya gariskan.Wikana hanya kenal baik beberapa orang saja: Aidit dan Sudisman, sebab mereka dulu anggota-anggota Barisan Pemuda GERINDO yang dipimpin Hanafi. Kalian tahu, sesudah Peristiwa Madiun, orang-orang PKI memusuhi saya lama sekali. Hanafi saya tugasi menetralisir subyektifisme mereka itu, mengingat Revolusi belum selesai dan perjuangan Pembebasan Irian Barat selalu menantang-nantang. Orang-orang PKI wataknya keras, sangat vatbaar gampang sekali kena penyakit 'kokiri-kirian'. Saya berhasil menjinakkan mereka, PKI menerima Pancasila. Saya berterimakasih pada Hanafi, banyak aktivitasnya membantu saya."
Saya sebenarnya mau turut bicara, sebab yang dibicarakan itu mengenai diri saya pribadi, tapi saya bersabar sementara. Di saat itu Chaerul Saleh. Denuty III bicara....
"Sebagai dikatakan pada permulaan tadi, saya dengan Bung Hanafi sudah berbicara malam tadi. Saya telah menjelaskan seadanya apa yang telah terjadi sampai sekarang. Saya kira, barangkali Hanafi sudah mempunyai sesuai ide untuk mengatasi situasi yang kita hadapi sekarang .... Gimana, Fi?"
Saya melirik kepada semua Menteri Deputy itu. Saya termenung sesaat, Chaerul Saleh menanya lagi ... Kutatap wajah Bung Karno dengan menahan rasa sayangku yang emosional padanya.
"Saya mohon lebih dulu," kataku pada Bung Karno. "Saya mau bertanya kepada Bung Karno: Apakah Bung percaya bahwa Aidit itu dan Sudisman, walaupun keduanya itu PKI, begitu busuk hatinya mau mengkhianati Bung Karno? Saya TIDAK Dan saya yakin Bung Karno juga TIDAK. Bung Karno mengenal mereka berdua itu dari pandangan politiknya yang kiri bahkan yang extrem kiri. Saya lebih dari itu, saya kenal riwayat hidupnya dari masa mudanya ketika turut belajar jadi orang pergerakan, sampai-sampai pada kehidupan pribadi masing-masing, seperti pengenalan Bung pada diri saya ini.
Namun gara-gara sifat Aidit yang revolusioneristik - avonturistik dan sifat ambisiusnya yang selalu menonjol-nonjol, itu bukan sekarang ini saja yang pernah kualami dengan dia, makanya dia masuk perangkap provokasi kaum Nekolim yang jelas anti-komunis, sampai akhirnya meledaklah 'Provokasi GESTAPU'. Saya bukan seorang pendeta yang bisa melihat hal itu sebagai suatu 'peristiwa' sederhana, atau nasib. NO! Saya yakin itu Aidit pada mulanya secara tidak diinsafinya telah terpancing oleh Syam, seorang informan misterius, masuk ke dalam perangkap provokasi sesuai dengan konsepsi- subversif kaum Nekolim yang bebuyutan anti-komunis. Akibatnya di luar istana ini menderu-deru tuntutan 'Bubarkan PKI!'. Sudah kita dengar pula di sana-sini tuntutan 'Retool Subandrio, Haji Pe- king!' kemudian tentulah akan meningkat sampai ke tuntutan retool semua Menteri Kabinet, satu indikasi yang jelas sekali, bahwa sasaran Nekolim terakhir adalah menjungkir-balikkan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi.Ya, logis, sebab PKI is reeds in de kom gehakt, sudah habis dilibas.
Slogan subversi Nekolim "Bubarkan PKI" yang diteriakkan oleh pemuda-pemuda dan sementara elemen tentara kita yang tidak menginsyafi bahwa mereka itu dipakai oleh Nekolim, slogan itu harus kita rebut. Kalau kita yang membubarkan PKI Aidit itu, motifnya tentu lain, tidak sama dengan yang diteriakkan mereka itu. Tapi untuk membela Republik, menyelamatkan Bung Karno dari titik- sasaran mereka itu, untuk mencegah lebih banyak lagi korban rakyat yang tidak tahu apa-apa tentang GESTAPU atau PKI. Tidak ada gunya mempertahankan PKI, seperti maunya Mas Subandrio, yaitu supaya saya mengurus PKI Aidit. PKI Aidit harus bubar dan sudah bubar.Tidak ada siapa pun yang berhak membubarkan Partai Politik kecuali Presiden R.I. Saya tabu kesulitan Bung Karno kalau harus membubarkan PKI, berhubung dengan persoalan CONEFO yang menjadi test case, batu ujian bagi RRC dan Uni Sovyet serta A-A-A terhadap kita, Republik Indonesia. Tetapi di lain pihak, segenap kekuatan Nekolim akan bersatu untuk menggagalkan CONEFO. Roda situasi berputar cepat, kita harus bertindak sebelum habis tahun ini. Dan seperti saya katakan tadi, saya harus berada di Ha- vana sebelum 1 Januari 1966 untuk Konferensi A-A-A, kalau diperkenankan Presiden. Dan saya harus mengurus biaya, sebab sudah tiga bulan remise tidak dikirim buat KBRI Havana.
Sebagai kesimpulan, saya mengusulkan satu kebijaksanaan suatu konsep pemecahan masalah politik, suatu political solution yaitu: bubarkan (redress) semua Partai Politik untuk sementara waktu berdasarkan S.O.B. Untuk sementara, kemudian bangunkan kembali tanpa PKI.
Sekian dari saya, Bung Karno yang kuhormati dan kucintai. Mungkin barangkali saya salah, saya mohon maaf". Sejurus kemudian ... "Terimakasih, Hanafi," Bung Karno berbicara, "silakan tunggu di luar, tunggu saya, jangan pulang dulu, saya ada pembicaraan dengan para Deputies."
Bab XI
CONEFO untuk Pelaksanaan Hak-hak Azasi Manusia
Tape Rapat Dewan Jendral - Berita Palsu!
Komisi Peneliti melaporkan: Korban Satu Juta. Saya keluar dari kamar. Presiden Sukarno meneruskan sidangnya dengan para Deputy, Dr. J. Leimena, Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh. Untok menantikan Bung Karno selesai dengan sidangnya itu, saya menuju ke beranda di belakang di mana biasanya saban pagi Bung Karno minum kopi sambil menerima tamu-tamu secara informal.
Saya lihat di sana ada duduk Pak Hardjo (Suhardjo Wardoyo, pensiunan Mayjen TNI, Kepala Rumah Tıodgn Pr kdenn) edang menemani bercakap-cakap dengan Menteri Kolonel Suprayogi yang menghadap Presiden. Pak Suprayogi saya kenal baik, asal dari T.N.I. Siliwangi, diangkat menjadi Menteri sejak dari Kabinet Karya ke-I dengan P.M. Djuanda. Ketika itu saya Menteri PETERA. Kabinet yang langsung dibentuk sendiri oleh Bung Karno, Presiden, di mana saya membantu beliau dari belakang layar sebagai formateur Kabinet! Itu terjadi pada tahun 1957, sebelum kita kembali ke UUD '45. Itulah kabinet pertama yang mengikut-sertakan orang-orang dari ABRI. Selain Pak Suprayogi dari Angkatan Darat, ikut juga Kolonel Nazir dari Angkatan Laut.
Saya senang hati bertemu lagi dengan Pak Suprayogi:"Oh, Pak Prayogi, kumaha kabarna, parantos lami henteu tepang" .. Salamanku itu menampilkan rasa keakrabanku kepadanya. Dengan gembira beliau sambut salamku:"Nuhun, nuhun, saé waé sadayana", seraya menanyakan kapan aku datang dari Kuba. Tidak berapa lama kemudian Bung Karno keluar dari kamar sidang diikuti para deputies. Bung Karno terus ke kamarnya sendiri untuk mengganti baju. Chaerul mendekati saya, mengatakan baiknya saya tinggal di sini dulu di Istana, kemudian ia pergi bersama Oom Jo dan Subandrio.
Setelah Bung Karno mengganti baju resminya yang berinsinye Presiden dan tanda Panglima Tertinggi, beliau turun ke beranda mendatangi Menteri Kolonel Suprayogi, yang duduk di hadapannya. Suprayogi membuka rol blue print yang dibawanya, blue print proyek gedung bangunan CONEFO. Sesudah beliau mengutarakan beberapa penjelasan mengenai progres teknik pekerjaan gedung tersebut, dia mengajukan kekurangan biaya untuk pekerjaan yang masih tersisa, dan menyatakan sebelum Oktober akan dapat diselesaikan. Dengan menggunakan kacamatanya, Bung Karno memeriksa kertas biru yang disodorkan kepadanya itu. Lalu menanyakan berapa kekurangan biaya yang masih diperlukan. Saya perhatikan, Suprayogi mengatakan keperluan untuk bagian itu saja diperlukan sekarang dua ratus ribu dollar (kalau saya tidak salah dengar!). Bung Karno menjawab: "Okay, teruskan saja pekerjaan itu,keperluan biaya minta kepadaJusuf Muda Dalam (Menteri Bank Sentral). Kolonel tahu bagaimana mengurusnya. Kalau masih kurang, saya akan minta bantuan Chou En-lai." Sesudah selesai Bung Karno menandatangani sehelai surat yang disodorkan oleh Kolonel Suprayogi, Kolonel Suprayogi memberi hormat seraya mohon permisi.
Menyaksikan kejadian itu, saya berfikir, dalam keadaan situasi begini, Bung Karno tampak tetap optimis. Saya memang sudah dengar bahwa pembangunan untuk gedung CONEFO itu, RRC banyak memberi bantuan.Tapi kok melepas-ucap menyebut nama Chou En-lai, dalam hatiku bertanya, apakah itu bluf atau melagak, yang kadang-kadang dalam dunia politik itu biasa. Lalu saya merasa simpati Bung Karno di saat itu luar biasa.
"Akan adanya CONEFO itu amat penting, Hanafi," kata Bung Karno."Itulah salah satu pekerjaanmu yang terpenting di Kuba, karena itu kau saya beri tugas di Kuba. CONEFO untuk mengkon- solidasi Dunia Baru, untuk menghadapi Dunia Lama yang mengabaikan Hak-hak Asasi Manusia di atas singgasana 'l'exploitation de la nation par la nation' dan 'l'exploitation de l'homme par l'homme"'.
"Apakah itu sesuai dengan Pidato Bung Karno di PBB tahun 1960: Membangun Dunia Kembali?" tanyaku. "Sebab Bung Karno belum menyinggung apa-apa ketika itu mengenai CONEFO." "Persis, CONEFO adalah kelanjutan dari Pidato saya Membangun Dunia Kembali!"
Mengenai soal political solution yang saya kemukakan di kamar tadi. Redress semua partai politik. Bubarkan semua partai politik buat sementara waktu, kemudian bangunkan kembali tanpa PKI. Didasarkan pada strategi dan taktik, tujuannya untuk mengembalikan kebulatan ABRI yang solid di belakang PanglimaTertinggi Presiden Sukarno berdasarkan UUD'45 yang menjunjung Pancasila. Pelaksanaannya harus dicapai dalam musyawarah dan mufakat bersama dengan partai-partai politik - ABRI - Presiden/Panglima Tertinggi Bung Karno. Pelaksanaan Dekrit Pembubaran semua partai politik sebaiknya jangan melewati 1 Januari 1966. Redressing partai politik tanpa PKI paling lama tiga bulan, Maret 1966. Kalau pembubaran PKI itu sendiri, sekarang juga. Walaupun kita anggap sudah jelas tersangkut dengan pemberontakan (putsch) GESTAPU, tapi tanpa penjelasan yang obyektif dalam satu Statement Kepala Negara, akan tampak kurang adil, baik ke dalam maupun ke luar negeri, dibandingkan dengan tindakan Pemerintah dalam hal pembubaran Masyumi dan PSI yang tersangkut dalam pem- berontakan PRRI/Permesta.
"Misalnya, satu soal harus jernih. Barangkali Bung Karno tidak tabu bahwa di luar negeri sudah tersiar bahwatape Konferensi Dewan Jendral, yang dipakai sebagai alasan oleh Kolonel Untung untuk mengantisipasi dengan GESTAPU-nya itu, ada di tangan Bung Karno. Apakah itu betul?" tanyaku kepada Bung Karno. "Oh, begitu? Tidak ada itu, sumpah demi Allah tidak ada itu!" jawab Bung Karno. "Nah, cocok dengan dugaan saya, soal tape itu berita palsu. Karena saya tidak goyang kepercayaanku pada Jendral Yani yang setia pada Bung Karno. Kita harus bertindak cepat, walaupun Bung mengatakan tadi Oom Jo ragu-ragu."
Pada saat itu tampak olehku Menteri Mayjen Sumarno dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat mendatangi tempat saya dan Bung Karno sedang bicara. Beliau-beliau adalah Pimpinan Komisi Peneliti Korban akibat GESTAPU ke seluruh daerah Republik, terutama Sumatra, Jawa dan Bali. Kedua Menteri itu melaporkan kepada Presiden Sukarno, bahwa tidak kurang dari satu juta rakyat yang telah menjadi korban. Cara-cara yang dilakukan dalam pembunuhan massa rakyat itu bermacam-macam, semuanya amat mengerikan, di luar batas perikemanusiaan. Biadab sekali. Dan itu terjadi dalam negeri yang bernama Indonesia yang terkenal berkeadaban tinggi. Di pangkal tangga di bawah sudah banyak orang berkerumun. Mereka tidak bisa maju naik ke atas, sebab ditahan oleh penjaga Cakrabirawa. Presiden menanyakan, siapa orang-orang itu? Oei Tjoe Tat menjelaskan, bahwa itu adalah wartawan-wartawan dalam negeri dan juga ada wartawan-wartawan luar negeri yang menantikan pemberitaan dari Laporan Komisi kepada Presiden. Mereka mau tanya berapa jumlah korban. Lalu Presiden menanya lagi kepada Menteri Sumarno dan Oei Tjoe Tat, berapa jumlah yang akan diberitakan.Ya, kalau jumlah korban yang sebenarnya tidak kurang satu juta, mungkin lebih, dan itu terjadi sejak dari Oktober sampai bulan Desember ini.Terserah kebijaksanaan Bapak Presiden berapa yang akan kami beritakan. Bung Karno terdiam sejenak, tetapi saya, Hanafi, mengeluh: "Waduh, kalau laporan satu juta korban itu diberikan kepada wartawan-wartawan, saya mati, saya tidak berani pulang ke Kuba, jumlah itu lebih banyak dari korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang amat mengerikan, atau lebih banyak dari korban perangVietnam yang berjalan beberapa tahun. Ini dalam waktu tiga bulan saja. Satu juta. Akan hancur nama Indonesia di dalam Konferensi A-A-A yang akan berlangsung I Januari 1966 beberapa hari lagi itu".
"Lalu berapa", tanya Bung Karno,"para wartawan tidak akan terima, akan protes, kalau tidak dilaporkan". "Kasihkan saja jumlah 78.000 orang akibat GESTAPU," kataku tidak langsung, atas pertanyaan Bung Karno. "Ya." kata Bung Karno."Silakan Menteri Oei temui wartawan- wartawan itu dan berikan jumlah korban 78.000 itu saja. Bilang juga, Presiden tidak bisa menjumpai mereka, karena sibuk sekali." Menteri Oei Tjoe Tat pergi menemui wartawan-wartawan yang saling berdesak-desakan di tangga itu. Dari keterangan tersebut di atas itulah, maka disiarkanlah oleh pers bahwa angka resmi 78.000 orang korban akibat GESTAPU, sebagcumana disiarkan oleh Komisi Peneliti. Padahal yang sebenarnya korban itu satu juta manusia, dengan catatan "mungkin lebih". Maka demikianlah, ada koran-koran yang memberitakan 500.000, ada juga yang memberitakan 700.000, tapi pihak yang pro-Amerika "menawar" cuma 250.000 orang.
Dengan keterangan saya ini, korban yang sebenarnya menurut Laporan Komisi Peneliti itu, saya munculkan kembali di sini.Yang tadinya dibenamkan dengan sengaja demi kepentingan nama baik bagi bangsa dan Presiden Sukarno, supaya jangan sampai malu (!) satu juta atau satu milyun korban rakyat yang tidak berdosa, saya angkat kembali dari dalam lautan rahasia selama 30 tahun lebih. Sekarang ini satu juta jiwa manusia itu jadi menyatu laksana Sang Bima muncul kembali dari dalam lautan Tirta-Amerta setelah mengalahkan Sang Naga Nemburnawa, bangun kembali menggunturkan suaranya menuntut keadilan yang sesungguhnya kepada bangsa Indonesia, kepada PBB, bahkan kepada Mantan Presiden Jimmy Carter yang pada tahun 1970 telah memasukkan HakAsasi Manusia menjadi bahagian dari politik luar negeriAmerika Serikat, dan kepada Presiden Bill Clinton yang saya harapkan akan menjadi simbol the new America dengan panji-panji kebangkitan kembali demokrasi, the revival of democracy.
Sebab, satu juta manusia itu adalah korban manipulasi yang kotor dari kadeta Letnan Jendral Soeharto, Maret 1966, sekarang Presiden Indonesia. Masih ada saksi langsung tiga pejabat tinggi pemerintah yang masih hidup: Mantan Menteri/Duta Besar A.M. Hanafi, Mantan Menteri Luar Negeri/Deputy II Dr. Subandrio dan Kolonel Latief (masih dipenjara sudah tiga puluh tahun lebih). Dua orang saksi langsung lainnya sudah meninggal dunia: Dr. J. Leimena/ Deputy I dan Laksamana K.K.O. Hartono (dikabarkan"bunuh diri").
Dengan bantuan dan hanya dengan kerjasama dengan Amerika, diktator militer Soeharto yang despot dan nespot itu harus diturunkan dan diadili, diganti dengan seorang Tokoh Nasional yang didukung penuh oleh rakyat, akseptabel bagi USA, untuk menegakkan demokratisasi dan hak asasi manusia. Inilah perhitungan politik berdasarkan kenyataan situasi Indonesia kini. Tidak ada "budi- baik" pihak the big capital atau para punguasa modal dunia di zaman globalisasi ini. Kalau tergantung pada diri saya, sekali lagi kalau tergantung dari saya, saya akan turunkan Soeharto itu, tidak dengan jalan pemberontakan rakyat, tetapi melalui kerjasama segenap kekuatan sosial-politik masyarakat berdasarkan kepentingan nasional seperti kuuraikan di atas."Budi baik" itu akan kita bayar dengan kerjasama persahabatan nasional yang berdaulat (souvereign) demi kepentingan pembangunan ekonomi bangsa Indonesia yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak, bukan hanya segelintir golongan elite seperti sekarang ini. Adalah perbuatan "salah-urus" kaum teknokrat yang tak punya nyala-api patriotisme dalam jiwanya itulah, maka di masa pembangunan 30 tahun ini yang diajak bersama duduk "di meja kerja dan di meja makan" lebih banyak warganegara baru (keturuan Cina) daripada orang asli Indonesia.Yang terakhir ini kalau ada kesempatan hanya sejumlah yang sangat terbatas seperti Rizal Bakrie (Ical) dan Probosutedjo yang saya kenal, berikut anak- anak Soeharto sendiri. Sedangkan pengusaha Indonesia lainnya bagian terbesar menjadi "anak bawang", dibiarkan berebutan mengerubuti tètèlan-tètèlan dan remah-remahnya saja. Inilah kalau ditinjau kenyataan pada golongan elite kita. Belum lagi ketidak- adilan yang ditimpakan kepada masyarakat lapisan bawah, penggusuran tanah hak milik rakyat, seperti Kedung Ombo dan lain-lain. Apakah ini pembangunan nasional ... la "Demokrasi Pancasila??" Nonsens!! Jangan dicari kesalahan pada kaum kapitalis Amerika atau Eropa Barat yang kasih kredit berjutajuta dan yang harus jadi beban-tanggungan hidup anak-cucu sampai dua kali tujuh turunan lagi. Kesalahan atau dosa itu ada pada bangsa kita sendiri! Terutama pada kita, putera Indonesia asli yang bakal mati beberapa tahun lagi!
Inilah sebagian kecil gemuruhnya suara korban satu juta manusia yang bermetamorfosa, menyatu bersatu pada sang Bima yang muncul kembali dari lautanTirta-Amerta (SelatanJawa) yang kebal tak mati- mati suaranya itu, yang menggeledek, mengguntur, membelah angkasa di seluruh Nusantara Indonesia.Yah, kalau bukan robot, orang akan mengerti, bisa menyerapi arti penting filsafat kebatinan Jawa atau Kejawen yang ditinjau oleh Dr. Seno Sastroamidjojo tentang cerita Dewa Ruci. Saya anak Sumatera, bukan anak Jawa tapi putra Indonesia. Bukan robot! Saya suka belajar memahami yang baik-baik.
Di dalam bagian lain di buku ini, akan saya kemukakan lebih jelas bagaimana siasat-siasat kudeta LetnanJendral Soeharto sehingga mencapai titik puncaknya pada 11 Maret 1966, di mana selembar Surat Perintah yang wajar-wajar saja dari Presiden/Panglima Tertinggi kepada bawahannya, telah disulap secara licik menjadi surat penyerahan kekuasaan, yang dikenal bernama SUPERSEMAR. Menteri Olah Raga dan Pemuda, Hayono Isman (sayang sekali, putranya kawan saya sendiri, bekas Mayor dan Duta Besar Isman), disurah oleh Soeharto mengadakan seminar Nawaksara. Kalau semi- nar itu terjamin bebas dan demokratis dan jangan hanya yang pro Pemerintah saja yang boleh hadir, boleh, silakan. Dan saya bersedia hadir, sekalipun untuk menghadiri seminar itu saja sesudah itu dilempar lagi ke pembuangan di luar negeri seperti sekarang ini. Tapi sejarah yang sebenarnya harus dibuka.Di dalam bagian lain di buku ini, akan saya kemukakan lebih jelas bagaimana siasat-siasat kudeta LetnanJendral Soeharto sehingga mencapai titik puncaknya pada 11 Maret 1966, di mana selembar Surat Perintah yang wajar-wajar saja dari Presiden/Panglima Tertinggi kepada bawahannya, telah disulap secara licik menjadi surat penyerahan kekuasaan, yang dikenal bernama SUPERSEMAR. Menteri Olah Raga dan Pemuda, Hayono Isman (sayang sekali, putranya kawan saya sendiri, bekas Mayor dan Duta Besar Isman), disurah oleh Soeharto mengadakan seminar Nawaksara. Kalau semi- nar itu terjamin bebas dan demokratis dan jangan hanya yang pro Pemerintah saja yang boleh hadir, boleh, silakan. Dan saya bersedia hadir, sekalipun untuk menghadiri seminar itu saja sesudah itu dilempar lagi ke pembuangan di luar negeri seperti sekarang ini. Tapi sejarah yang sebenarnya harus dibuka.
Di dalam buku "Menteng 31 - Membangun Jembatan Dua Angkatan", saya telah memberanikan diri meriskir segala macam tanggapan yang mungkin ditujukan kepada usul saya agar Presiden Soeharto dipilih kembali buat masa terakhirnya, namun dengan syarat : rekonsiliasi nasional dan diberlakukan keterbukaan, demokrasi dan HAM. Saya bersabar menanti sejak Pidato Kenegaraan 17-8-1966 sampai sekarang dalam masa menjelang Pemilihan Umum. Namun rupanya sia-sialah harapan saya itu. Malah tambah jadi lupa daratan dia, menantang-nantang mau menggebug siapa saja.
Oleh karena itu mulai hari ini, 11 Maret 1997, kalau mereka di Jakarta bikin bancakan, slametan untuk SUPERSEMAR dan GESTAPUnya yang sialan itu, saya mulai menulis buku ini: MENGGUGAT: SUPERSEMAR - GESTAPU - Kudeta Soeharto. Kepada orang yang immoral tak perlu dialog. Dia akan selalu menggebug-gebug kembali.
Bab XII
Gagalnya Konperensi AA di Aljazair dan Konperensi Tricontinental di Havana- 1 Januari 1966
Pada hari ketiga setelah saya tiba di Jakarta, Presiden Sukarno meminta saya turut menghadiri penyusunan Delegasi Indonesia untuk menghadiri Konperensi Organisasi Setiakawan Asia-Afrika dan Amerika Latin, disingkat AAA yang akan berlangsung pada 2 Januari 1966. Ini sesuai dengan harapan Fidel Castro dalam pesannya kepada saya agar disampaikan kepada Bung Karno, hal mana memang telah saya kemakakan kepada Presiden dalam sidang bersama para Deputies.
Turut serta hadir, selain anggota delegasi yang akan dibe- rangkatkan, Ibu Utami Suryadarma, bekas Panitia KIAPMA (Konperensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing), yang telah berlangsung beberapa waktu sebelum pertengahan tahun 1965.
Delegasi itu terdiri dari lima orang diketuai oleh Brigjen Latief Hendraningrat, seorang tokoh historik yang mengerek naik Merah Putih di PengangsaanTimur 56 pada Hari Proklamasi 17 Agustus 1945. Saya tidak tahu persis, apakah empat orang delegasi lainnya, di luar Brigjen Latief Hendraningrat, akhirnya jadi atau tidak berangkat. Sebab, menurut laporan istri saya, Ibu Sukendah Hanafi, yang saya serahi tugas mewakili saya kalau saya sedang tidak ada di tempat itu yang bisa menghadiri Resepsi Penyambutan Konperensi AAA di kediaman Duta Besar, yang nampak hadir dari delegasi Indonesia hanya Pak Latief itu saja, sedangkan dari kalangan diplomatik dan Pemerintah Kuba ada yang hadir. Resepsi itu dibintangi oleh SenoraVilma Espin, isteri Menteri Pertahanan Raul Castro, adik kandung Commandante Fidel Castro. Lama kemudian baru saya ketahui, bahwa keempat orang Delegasi lainnya itu dilarang berangkat oleh elemen tentara Soeharto yang hari demi hari memperketat kekuasaan de factonya, sekalipun delegasi tersebut diperintah oleh Presiden. Hanya Brigjen Latief Hendraningrat, mungkin karena ketokohannya yang historik itu bisa pergi, dan yang lainnya nyangkut di lapangan udara Kemayoran.
Bagaimana dengan saya sendiri? Saya terpaksa tidak bisa menghadiri Konperensi Tricontinental itu, walaupun Fidel Castro telah sangat mengharapkan. Presiden Sukarno tegas mengatakan agar saya jangan pulang ke Kuba dulu, karena saya masih sangat diperlukan di Jakarta. Maka saya minta beliau menjelaskan hal itu tertulis, demi terpeliharanya secara baik hubungan diplomatik antara kedua negara, Indonesia dan Kuba. Beliau membuat surat tersebut dengan tulisannya sendiri, di hadapan saya.Tentu saja, beliau tidak lupa menyatakan terima kasih atas surat pribadi Fidel Castro yang telah diterimanya dengan rasa persahabatan yang sedalam-dalamnya, seraya menerangkan bahwa saya buat sementara masih sangat diperlukannya di Jakarta. Dan beliau sangat menyesalkan sekali saya tidak dapat turut serta menghadiri Konperensi Tricontinental yang bersejarah itu, namun telah mengutus Delegasi Indonesia untuk turut menyertai Konperensi tersebut, diketuai Brigjen Latief Hendraningrat, seorang revolusioner pula. Surat Presiden itu harus dapat diterimakan kepada Commandante Fidel Castro sebelum 1 Januari 1966. Karena itu saya tidak bisa turut mengurus keberang- katan Delegasi tersebut. Saya tergesa-gesa pergi keTokyo, mengirim anak saya, mahasiswa Dias Hanggayudha, ke Havana untuk membawa surat penting itu kepada ibunya, agar diserahkan kepada orang penting revolusioner, yaitu Senora Silya Sanchez, Sekretaris Fidel Castro sejak masa gerilya, agar diserahkan langsung kepada Commandante.
Tetapi, apa mau dikata, situasi kami kaum Sukarnois, nasionalis revolusioner, sesudah peristiwa GESTAPU, semua serba salah, seperti peribahasa di Sumatra mengatakan "sudah jatuh ditimpa tangga pula". Sialan!
Ternyata kemudian Brigjen Latief Hendraningrat tidak berhasil untuk diterima hadir dalam Konperensi Tricontinental itu, diblokir oleh Panitia Konperensi, sebab telah datang pula berbareng dengan orang-orang PKI dari Peking dan dari Mesir yang menyatakan diri mereka sebagai Delegasi Indonesia. Commandante Fidel Castro mengharapkan saya datang dengan Delegasi, tapi justru saya pun tidak datang kembali. Buat Kuba semua itu mengesankan bagaimana kacaunya keadaan dan situasi Indonesia di bawah Presiden Sukarno ketika itu. Kuba mendapat laporan-laporan yang tidak obyektif. Di dalam koran Juventud Rebelde dan di dalam koran Granma (koran Partai Komunis Kuba) termuatlah pemberitaan yang mendiskre- ditkan Presiden Sukarno, yang antara lain menyatakan: "nanti di atas makamnya haruslah ditulis: di sini telah dimakamkan seorang Pemimpin yang tidak bisa menghargai kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya" ... Sayang, saya tidak punya lagi koran-koran tersebut, dan demi akurasi, baik dicari lagi koran-koran tersebut, nanti. Mohamad Hatta sebagai Sekretaris I KBRI Havana tidak pula mengajukan protes kepada Kemlu Kuba atas pemberitaan tersebut, walaupun sudah didesak oleh isteri Dubes.
Berhubung dengan hal itu maka saya buru-buru lagi pulang ke Kuba pada tanggal 21 Januari 1966. Hal ini akan saya singgung kembali dalam bagian berikut nanti.
Brigjen Latief Hendraningrat sebagai Delegasi resmi dari Indo- nesia hanya sempat menghadiri Resepsi Penyambutan Konperensi Tricontinental di rumah kediaman Duta Besar yang diselenggarakan oleh Sukendah bersama-sama Staf KBRI. Resepsi yang mendapat perhatian begitu besar dihadiri oleh semua corps diplomatik dan dihadiri oleh Menteri Perdagangan Kuba serta Senora Vilma Espin, isteri Menteri Pertahanan Commandante Raul Castro. Di situ juga digelarkan tari-tari kesenian Indonesia oleh pemuda dan pemudi Kuba yang dipimpin oleh anak-anak saya Nurdjaja dan Damayanti.
Sesudah itu, Brigjen Latief Hendraningrat pulang ke Indonesia tanpa sempat berpamitan dahulu kepada istri saya Sukendah (Latief sekeluarga adalah tetangga sebelah-menyebelah rumah kami di zaman Jepang). Dia yang mewakili saya sebagai Dubes membela posisi pemerintah R.I. di masa menghadapi sidang Tricontinental di Havana. Semuanya sudah jadi kacau, gara-gara sikap kekiri-kirian perseorangan tokoh-tokoh komunis yang datang dari Peking dan Mesir itu. Sehingga Kuba tanpa ragu-ragu (sebagai setiakawannya yang revolusioner?) menempatkan artikel di suratkabar Juventud Rebelde dan Granma, tulisan yang mau mendiskreditkan Presiden Sukarno. Apakah mereka tidak menginsafi bahwa tindak-tanduknya yang memusuhi Presiden Sukarno (sebab kecewa?) itu bisa ditarik garis-lurus dengan statement Dewan Revolusi Kolonel Untung?
Subyektivisme macam inilah yang menghancurkan PKI dan menjatuhkan Presiden Sukarno. Selama zaman Jepang dan di zaman revolusi 1945 yang melindungi tokoh-tokoh PKI (Amir Sjarifuddin, Wikana dan lain-lain) bukan Musso atau Alimin, apalagi bukan Aidit, mereka pada bergantungan pada ujung bajunya Sukarno. Tetapi sekarang, setelah PKl "kesandung batunya" sendiri, mereka "bangkit- nafsu" karena Sukarno tidak membantu lagi.
Kalau saya, saya akan tahu, di mana dan kapan harus menggunakan sikap "right or wrong - my country". Kalau negeri saya "brengsek" itu urusan saya ke dalam negeri dulu. Mengapa harus membnat "tanggung-rèntèng" setiakawan revolusioner atas sesuatu perbuatan yang tidak ada dalam kamus revolusi, yang mengharamkan putsch itu. Di atas ladang subyektivisme PKI itulah tumbuh benih diktator Soeharto. Para tokoh-tokoh bekas PKI bertanggung jawab harus membikin clear masalah bencana nasional ini, sehingga generasi muda tidak hanya tertarik dari jauh oleh cantiknya mawar merah, tapi tak tahu banyak durinya yang tajam dan berbisa!
Berbicara mengenai Konperensi Tricontinental, tak bisa terlepas dari masalah lingkaran pertentangan dua pola dunia: kapitalisme dan sosialisme, kubu USA versus kubu Uni Sovyet dan kubu RRC. Sudah sejak tahun 1960, Uni Sovyet dan RRC tidaklah merupakan satu kubu bersama-sama yang bersatu lagi. Kubu sosialisme Uni Sovyet di bawah pimpinan Khrushchev sejak lahirnya berorientasi baru yang disebut 'peaceful coexistence" di tengah-tengah situasi internasional yang sedang terlibat Perang Dingin. Khrushchev melansir politik peaceful coexistence dengan maksud mengcontain RRT yang menempuh garis "arm struggle" untuk menghadapi imperalisme dan membebaskan negeri-negeri yang masih terjajah. Oleh karena itulah perpecahan kubu sosialis itu, sejak dari situ sudah mengacu pada kebangkrutan strategi dalam menghadapi USA. Sovyet Uni ternyata di pihak yang kalah, walaupun sosialisme sebagai cita- cita sulit dihancurkan atau dimusnahkan dari bumi manusia ini. Namun realitas perkembangan dunia menyatakan USA mengungguli Uni Sovyet dan RRC, paling-paling sampai ke permukaan abad ke XXI ini.Tentang Uni Sovyet, saya meminjam istilah Fidel Castro: "ia telah mengadakan bunuh diri". RRC yang dulu mengutuk Khrushchev sebagai "penempah restorasi kapitalisme", tampaknya sekarang mengancik ke arah jalan itu juga.
Oleh sebab itu saya ingin bertanya, apakah pelajaran sejarah abad ke XX belum cukup keras, belum cukup jelas, belum cukup pedih bagi bangsa Indonesia untuk lebih kuat kembali tegak berdiri di atas kepribadiannya sendiri yang telah ditunjukkan oleh Bung Karno di dalam "Lahirnya Pancasila". Tentu saja bukan secara munafik ..à la Orde Baru diktator Soeharto! Tiga tungku yang prinsipal dari Pancasila dan tujuan R.I.: 1) Berketuhanan yang Maha Esa, 2) Sosio- Nasionalisme, 3) Sosio-demokrasi. Menghilangkan salah-satu dari ketiga tungkunya itu, berarti: mengkhianati Pancasila. Di dalam ilmu politik kontemporer, Pancasila itu disebutkan juga sama dengan Sosialisme Indonesia. Tentulah dipahami bahwa sosialisme itu bukan komunisme! Beberapa negara kapitalis di Eropa dengan sistem demokrasi liberal dan partai sosialisme bisa juga mencapai nilai- nilai sosialisme dalam taraf tertentu, yang spesifik, seperti Swedia, Prancis, Belanda dan lain-lain, walaupun tidaklah mungkin dalam arti "sama rata dan sama rasa", namun rakyat pekerjanya mendapatkan haknya, yaitu jaminan sosial.
Sosialisme adalah satu cita-cita, satu ideal. Tuntutan hati nurani rakyat, disingkat TUHANURA. Ini adalah Matahari Abadi, yang menghayati sejarah. Panggilan sejarah itu adalah progres. Progres atau kemajuan masyarakat berbangsa itu adalah panggilan atau suruhan Tuhan! Selama masih ada kekolotan, kemiskinan dan penindasan oleh manusia atas manusia dan oleh bangsa atas bangsa- bangsa, cita-cita akan sosialisme itu akan memancar bersinar terus, laksanan Matahari Abadi yang takkan bisa ditutupi oleh tangan manusia siapa pun juga.
KonperensiAsia-Afrika ke-I, 18April 1955 yang telah melahirkan Semangat Bandung itu tidak berhasil mencapai estafetnya yang ke II, oleh sebab tercegat atau disabot oleh kudeta Kolonel Boumedienne di Aljazair yang menumbangkan Presiden Ben Bella, Juli 1965. Kolonel Boumedienne berhasil menunggangi kontradiksi Uni Sovyet - RRC. Kabarnya D.N. Aidit menjadi tersengat fantasinya oleh keberhasilan Boumedienne. Tapi lupa bahwa posisi Aljazair lain dari posisi Indonesia. Boumedienne, Kolonel tentara dari FLNA, sedangkan Aidit hanya Ketua PKI yang dicurigai tentara. Maaf, ini tidak berarti saya setuju kudeta, kudeta dari kiri atau dari kanan akan saya tentang.
Dapatlah dipahami, bahwa yang dapat menarik keuntungan dari kudeta Boumedienne yang mencegat berlangsungnya Konperensi AA ke-lI itu, ialah Uni Sovyet dan USA. Ini bisa dimengerti kalau dihubungkan dengan analisa strategi global ketiga negara besar di duni itu.
Sebenarnya, saya sudah merasakan firasat akan adanya bahaya yang mengancam Setiakawan AA. Ini akibat tidak diikutsertakannya Sovyet Uni sejak dari Konperensi AA ke-l di Bandung. Sementara` berjalannya persiapan Konperensi AA ke-lI di Aljazair, dan KBRI Havana bersiap-siap pula untuk mengadakan perayaan penyambutan Konperensi AA ke-lI di Aljazair tersebut, Dubes Mongolia, Sr. Gundiin Baga, mengunjungi saya di KBRI tiga atau empat kali. Acaranya yang itu-itu juga, menanyakan apakah Jakarta sudah bersedia mengikutsertakan Uni Sovyet dalam Konperensi AA ke- II. Jelas, kudeta Boumedienne bukan hanya perebutan kekuasaan dalam negeri kontra Ben Bella semata-mata, tetapi juga karena akibat perebutan pengaruh antara Uni Sovyet dan RRC. Ketika saya jumpa Letkol Marsudi sebagaichargé d'affair R.I. di Beirut, Libanon, saya dikabari bahwa dia menjumpai Kolonel Boumedienne di Sahara, untuk mengabarkan sumbangan senjata R.I. kepada Aljazair sedang dilaksanakan melalui segi tiga R.I.- S.U.- Mesir. Untuk diketahui, memang sumbangan setiakawan Uni Sovyet dalam persenjataan yang dibutuhkan Indonesia, adalah yang terbesar, teristimewa dalam perjuangan untuk pembebasan Irian Barat. Tapi dalam Konperensi AA ke-lI yang akan diadakan bulan Juli 1965, Uni Sovyet tidak diikutsertakan dan Indonesia tetap lebih condong ke RRT.
Maka dapatlah kiranya dilihat kembali, bahwa puncak kejayaan era Sukarno adalah Konperensi AA ke-I yang melahirkan Dasa Sila Semangat Bandung, di mana RRC memperoleh kesempatan historis keluar dari isolasi dan menancapkan panji-panji setiakawan revolusioner, teristimewa terhadap negeri-negeri Asia-Afrika. Tetapi, tetapi peristiwa kudeta Kolonel Boumedienne itu berarti pula dipalunya genderang serangan offensif Nekolim terhadap Indone- sia, negeri-asalnya Setiakawan Asia-Afrika.
Kejadian itu sebenarnya adalah suatu prediksi atau lebih tepat peringatan yang harus ditanggapi oleh segenap elemen kubu sosialis, bahwa kubu kapitalis telah menancapkan panji-panji ofensifnya mulai dari kudeta Boumedienne di Aljazair itu.Tetapi nyatanya tidak terjadi, jalan dan caranya Sovyet Uni bertabrakan dengan jalan dan langgam kerjanya RRC. Menurut cerita D.N.Aidit pada saya, Mikoyan, tokoh Politbiro PKUS yang terpenting, ketika berkunjung ke Jakarta, datang ke kantor CC PKI di Kramat, dan mengancam bahwa PKI akan dihancurkan kalau terus-terusan menggandol ke Cina (RRC). Lalu saya bertanya:"Kau jawab apa?"
"Yah, orang bertamu kok, Mikoyan itu orang penting, kan". Saya tidak tahu selanjutnya, apakah hal itu didiskusikan oleh CC PKI atau tidak, bukan urusan saya. Tapi bukan hanya selentingan lagi bahwa CC PKI itu juga pecah di dalam. Ternyata dari pledooi Sudisman di depan Mahmilub: Sudisman dan Nyoto di satu pihak, D.N.Aidit dan Sjam Kamaruzzaman di pihak lain.
Saya mau simpulkan tanggapan saya akan arti penting bersejarah dari Konperensi Tricontinental (AAA) itu, sebagai pancaran cemerlang sinarnya Setiakawan Revolusioner dari Asia-Afrika- Amerika Latin yang terakhir dalam siklus sejarah sementara ini. Dan hal itu tidak terlepas dari putsch GESTAPU yang mengakibatkan jatuhnya Presiden Sukarno. Kemudian Kuba mercusuar Amerika Latin itu telah mengalami pukulan pula dari CIA /Amerika, dengan cemerlangnya keberhasilan CIA di Jakarta, ia menumbangkan pula Presiden Allende di Chili sampai mati dengan senjata A.K. di tangannya di istana Santiago.
Maka membahanalah tampik-sorak kemenangan kaum anti- komunis di seluruh benua, sampai-sampai di Jakarta kaum non- komunis pun, bahkan yang tidak bisa baca ABC politik, apalagi marxisme, diceburkan mati ke laut dan ke sungai-sungai, di"Pulau- Buru"kan dan dipenjarakan tanpa proses belasan tahun. Arthur Conte yang mempersunting Konperensi AA begitu indah dan menariknya, di dalam bukunya CeJour-là: 18 Avril 1955: Bandoung Tournant de l'Histoire ("Hari itu: 18 April 1955 Bandung,Titikbalik Sejarah") hanya meninggalkan mimpi yang indah pada bangsa In- donesia dan segenap bangsa-bangsa yang dijajah oleh kolonialisme, yang mengikat setiakawan revolusioner Koferensi AA yang telah menjelmakan Semangat Bandung.
Tetapi orang tidak bisa dan tidak boleh bermimpi terus-terusan. Satu pagi akan terbangun dan melihat kenyataan di hari terang- benderang, bahwa hidup manusia di zaman sekarang berasal dari stratagem (siasat perang) Perang Dingin segi tiga: Amerika Serikat, Uni Sovyet, RRC itu tadi.Tetapi jangan pula lupa, bahwa Konperensi AA, itu sendiri adalah manifestasi dari "produk" ketegangan segi tiga atau tiga pola kekuatan di dunia itu. Saling baku-hantam, kita terjepit.
Mau tidak mau saya teringat kepada Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB 1960, yang menawarkan filsafah Pancasila untuk Membangun Dunia Kembali. Pidato tersebut ingin saya lampirkan di dalam buku ini di dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), setidak-tidaknya untuk menjadi dokumentasi yang bagi saya seperti Bung Karno menganggap Pancasila itu adalah een hogere optrekking, satu pengangkatan yang lebih tinggi dan lestari dari Manifesto Komunis dan Kapitalisme. Untuk mencapai dunia baru tanpa perang dan berkeadilan sosial, sama-sama kerja, sama-sama makan. Apakah mungkin tercapai cita-cita itu? Mengapa tidak? Sebagai orang yang beragama Agama Islam, saya menjunjung Al Qur'an Ulkarim di dalam hatiku dengan keyakinanku dan tafsir yang dialektis. Bahwa Tuhan menjadikan ummatnya bergolong- golongan, berbangsa-bangsa agar saling-mengenal dengan baik, selanjutnya bahwa Tuhan tidak akan memperbaiki nasib sesuatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak mau memperbaiki nasib bangsanya. Titik beratnya tergantung pada ada tidaknya kemauan. Ada kemauan, pasti ada jalan. Barangkali seperti ungkapan yang mengatakan:"Bukan satu jalan menuju ke Roma". Barangkali ada tujuh jalannya menuju ke Roma itu, yang terpenting sampainya, bukan jalannya, dan tentu saja bukan jalan pintas seperti GESTAPU atau Gestok itu! Dan pasti: bukan jalan dan caranya D.N.Aidit, apalagi bukan jalan dan caranya kudeta atau kapital dari negeri-negeri Barat, Amerika dan Eropa untuk pembangunan dalam zaman apa yang disebut era globalisasi, namun pasti bukan jalan dengan caranya Presiden Soeharto yang akibatnya sudah lebih mempertegang kembali pandangan rakyat Indonesia terhadap negara-negara penegak demokrasi (sekalipun demokrasi Barat) yang liberal itu.
Bab XIII
Di dalam buku yang diberi judul 'Jejak Langkah Pak Harto 1 Oktober 1965 - 27 Maret 1968" oleh Team Dokumentasi Presiden RI, dengan editor: G. Dwipayana, Nazaruddin Sjamsuddin, dan penerbit PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1991, diuraikan sbb:
"Senin, 10 Januari. Pagi ini KAMI mengadakan rapat umum di halaman FK-UI, yang juga dihadiri oleh Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie dan beberapa stafnya. Pada rapat umum ini untuk pertama kalinya telah diperkenalkan'Tritura' atau TigaTuntutan Rakyat. Ketiga Tuntutan Rakyat itu adalah:
1) Bubarkan PKI;
2) Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI; dan
3). Turunkan harga. Selesai rapat umum, para mahasiswa dengan jaket kuningnya bergerak menuju Departemen PTIP, dan kemudian ke Sekretariat Negara untuk menyampaikan pernyataan mereka. Sepanjang perjalanan antara kedua tempat tersebut mereka meneriakkan slo- gan-slogan seperti 'Turunkan harga beras!', 'Turunkan harga bensin!', 'Singkirkan menteri goblok!', dan lain-lain."
Lalu, di sini saya mau bertanya kepadaTeam Dokumentasi Presiden RI tersebut:"Mengapa kok hanya dibilang para mahasiswa dengan jaket kuningnya bergerak menuju Departemen PTIP, dan kemudian ke Sekretariat Negara, tapi tidak mau mengatakan bahwa sebelum ke Sekretariat Negara mereka berbelok dulu, berdemonstrasi ke Deparlu, memberantaki segala meja dan lemari-lemari serta segala surat-surat penting dan kertas-kertas kantor Deparlu itu sehingga bertebaran di jalanan memenuhi Lapangan Pejambon, sebelum sampai bergerak ke Sekretariat Negara? Malu? Karena biasanya mahasiswa itu orang yang terpelajar? Malu? Apa karena buku itu mencatat 'Jejak Langkah Pak Harto dari 1 Otober 1965 - 27 Maret 1968"?
Sekarang saya kembali pada pembicaraan subjudul tersebut di atas. Setibanya di Jakarta kembali dari Tokyo, esok harinya saya langsung pergi ke Istana Merdeka. Hari itu tanggal l0 Januari 1966. Saya lihat Presiden Sukarno dengan para Deputies: Subandrio, Leimena, Chaerul Saleh, memberi isyarat kepada saya. Di situ ada juga Duta Besar Pakistan dan Duta Besar Filipina. Chaerul Saleh yang selalu atent pada saya, langsung berteriak:
"Fi, ayo ikut".
"Mobil mana?" tanyaku.
"Mobil mana saja", jawabnya.
"Ah", senang hatiku punya kawan seperti Chaerul Saleh.
Teringatlah saya, kalau tidak lantaran saudara Sidik Kertapati bertemu dengan saya, yang mengingatkan, kalau saya masih sayang sama Chaerul Saleh, jangan biarkan sampai malam ini di Penjara Gang Tengah itu, sebab kabarnya dia akan di"bon" oleh Tentara Siliwangi (Kolonel Kawilarang), dengan alasan akan dipindahkan ke Bandung, akan ditembak mati di tengah jalan. Saya lalu tidak jadi pergi ke Gang Tengah, semula mau ketemu saudara Setiati Surasto, agen distributor Mingguan Pancasila yang saya terbithan ketika masih diYogyakarta. Saya balik ke rumah, ambil mobil, terus saya larikan ke istana, bertemu dengan Presiden Presiden Sukarno, mendesak beliau agar menyelamatkan Chaerul Saleh. Itulah sebabnya mengapa Jaksa Agung Suprapto segera dipanggil mendadak ke Istana.
Selanjutnya kemudian Chaerul Saleh dikirim ke luar negeri untuk studi di Swiss. Ajudan Mayor Prihatin terheran-heran dengan kedatangan saya, dia diperintaLkan untuk membawa Jaksa Agung Suprapto ke Istana Negara dengan segera. Pikir-pikir, untunglah ada "jembatan" seperti saya ini, yang menghubungkan Bung Karno dengan Rakyat Pejuang. Peran "jembatan" ini kupegang sejak zaman Jepang, sampai ke jaman Revolusi, terus sampai sekarang. Lebih baik jadi "kacung" Revolusi ketimbang jadi jendral petak pengkhianat, murtad kepada cita-cita bangsaku.
Matahari di Jakarta sama panasnya dengan di Kuba.Tanpa pilih- pilih mobil mana yang akan kunaiki, saya lompat ke dalam sebuah mobil yang paling dekat. Saya tidak tabu mobil siapa, saya naiki saja. Tak disangka, mobil yang kunaiki adalah milik Duta Besar Philipina. Mobil Presiden bersama Menlu Subandrio di dalamnya, Leimena dan Chaerul Saleh, di belakangnya mobil Duta Besar Pa- kistan, dan saya dengan Duta Besar Filipina berada di paling belakang. Saya memperkenalkan diri, menyalaminya, sambil minta maaf akan kedatangan saya yang mengganggu itu. "No, no, not at all, we are in a situation of a revolution, isn't?", senyumnya simpatik. Ke mana kami semua pergi? Saya tidak diberi tahu tadi akan ke mana?
Ternyata segera kemudian semua mobil menuju ke Pejambon, ke Gedung Departemen Luar Negeri, yang ternyata telah diserbu, diserang oleh kaum demonstran yang menuntut "Gantung Subandrio, Haji Peking!", sebagaimana nampak pada poster yang tergeletak. Tetapi yang lebih mengenaskan hati saya, masya'allah, saya lihat isi gedung Deparlu itu diberantaki semoa, meja-meja, lemari-lemari, ada yang patah-patah dilemparkan di pelataran dan di jalan. Dokumen-dokumen, kertas-kertas berserakan, bertaburan di mana-mana, sampai di seberang jalan, sampai ke pinggir kali Ciliwung itu.
Kami semua turun dari mobil mengiringi Presiden Sukarno memasuki gedung itu. Tidak bisa lagi lincah menghindari kertas- kertas, surat-surat atau dokumen entah apa, terpaksa terinjak di bawah telapak kaki kami. Malu sekali rasanya, sebab drama itu disaksikan oleh wakil-wakil negeri sahabat, Pakistan dan Filipina dan tentu saja akan segera diketahui oleh wakil-wakil negeri lainnya. Artinya muka Kepala Negara Indonesia ditampar-tampar secara brutal mentah-mentah di muka dunia oleh pemuda-pemuda kesurupan yang tidak menyadari apa sebenarnya yang mereka lakukan itu.
Tiba-tiba Presiden Sukarno memanggil saya, mukanya geram berkata: "Hanafi, coba lihat ini, apa ini kalau bukan perbuatan kontra- revolusioner?"
Tentulah saya tidak bisa lain kecuali menjawab:"Ya, betul-betul kontra-revolusioner". Semua orang yang menyambut kedatangan kami, umumnya pejabat atau pegawai Deparlu, walaupun berjarak beberapa langkah, pasti melihat bagaimana wajah Presiden ketika itu, dan tentulah mendengar betul ucapan pertanyaan beliau serta jawaban penegasan saya tadi.
Peristiwa hari itu, ternyata membawa "buntut" yang panjang, yang melilit dari kaki sampai ke leher saya. Mulai dari sinilah bisa diketahui mengapa saya secara non-konstitusional dan dengan cara memperkosa aturan dicopot dari jabatan, dan kemudian, walaupun jelas ada pihak-pihak yang membolehkan saya pulang dari tempat pembuangan di Paris, ada pula pihak-pihak yang menghambat.
Persis di belakang saya berdiri Kapten Supardjo Rustam. Mataku melirik kepadanya, sesudah saya berkata "Ya", menyambut pertanyaan Presiden tadi. Tampak mukanya geram, mulutnya mengguman kata-kata"apa-apaan ini". Itu saya ingat sampai sekarang, tidak akan lupa.Tapi saya tidak menghiraukan itu. Memang saya tidak terlatih berjiwa "mata-mata" yang mencatat dan mencurigai segala sesuatu. Sifatku selalu terbuka dan bersangka baik hampir kepada semua orang. Saya tidak tahu apa tugasaya Supardjo Rustam di Deparlu. Dahulu, sebelum saya berangkat ke Kuba, setiap kali saya datang ke istana, saya selalu melihat ada dua orang, walaupun saya tidak tahu apa tugas resminya di sana itu. Orang itu Kapten Supardjo Rustam itu, yang kalau menegur, menyapa saya membayangkan sikap samar-samar simpatisan Partai Murba, sebab setahu saya dia berteman dekat sekali dengan Chaerul Saleh, Sukarni dan Pandu. Yang seorang lagi adalah Letnan AURI Moerdiono (sekarang Sekretaris Negara). Kata orang, masih ada tali hubungan famili dengan Bung Karno, yaitu kata Pak Hardjowardojo, walaupun saya tahu sifat Bung Karno tentang urusan famili itu "sekunder". Baginya yang terpenting kebaktian pada Negara dan Revolusi. Jelas bedanya dengan Presiden yang sekarang ini, yang nespotik. Keluarga nomor satu, negara nomor dua. Terhadap saudara Moerdiono ini saya punya "sangka-baik" saja, ketika itu dia masih mahasiswa.
Di sini saya ingin meminjam gurau satirik dari Duta Besar Filipina tadi,"kita berada dalam suasana revolusi". Maaf, saya lupa namanya ketika menyalami saya. Dipikir-pikir lagi, memang sungguh tepat ucapannya itu.Walaupun ada saja orang-orang tidak menginsafi tipe apa dan apakah karakter "revolusi" yang sedang kita alami itu. Sejak dari masa mudaku, saya hidup dalam masa revolusi sampai ke puncaknya, Revolusi Nasional Angkatan 45 sampai meningkat lagi ke Persitiwa 65 dan dari kontra-revolusi 1966 sampai ke 1997, sampai sekarang.Yang dulu ku alami yalah revolusi dari bawah, meruntuhkan gunung kolonialisme yang menindas rakyat dan bangsa Indonesia tiga setengah abad. Tapi sejak Oktober 1965 sampai sekarang - kontra-revolusinya GESTAPU dan kita berada dalam likunya arus sejarah, yaitu: kontra-revolusi dari atas yang nilai-nilai serta cita- cita bertolak-belakang, langsung bertabrakan dengan nilai-nilai dan cita-cita Revolusi Angkatan 45 yang telah tersimpul dalam Pancasila.
Secara politik di atas pentas sejarah kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, telah datang kembali kolonialisme lama dengan pakaian baru, yang disebut oleh Bung Karno sebagai neo-kolonialisme, yang arti kongkritnya adalah penjajahan Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri.
Sebab kolonialisme tidak mengenal kebangsaan! Itulah feno- mena yang paling hakiki dari naiknya Soeharto di balik kata "pem- bangunan" yang gemerlapan selama 30 tahun itu. Tidak usahlah saya mencupliki lagi satu per satu bulu-bulu raksasanya "moneter" pembangunan itu yang laksana Raksasa-Dasamuka kelaparan meng- hentak-hentakkan kakinya dan mengkibas-kibaskan tangannya di seluruh aspek kehidupan dan kekayaan tanah air Indonesia. Semna struktur kepribadian nasional yang punya kesaktian hidup tak akan mati, tak akan hancur-lebur selama ada bangsa Indonesia di dunia ini.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, itu adalah hasil puncak yang terpuncak daripada jeritan manusia selama berabad- abad dalam mencari keadilan dan kemakmuran hidup berperi- kemanusian di dunia kita ini. Sejak dari Tiongkok, Mesir dan Babylonia, 50 abad sebelumJesus Christus (B.C.), sampai ke zaman Yunani (Griek) di abad ke 8 (B.C.), di mana lahir Republik yang pertama-tama di dunia dengan pujangga-pujangganya seperti Herodotus dan Thucydides, Socrates, Plato dan Aristoteles, sampai ke Roma pada zaman Agustinus yang melahirkan corpus juris civilis (lembaga hukum civil) 527-565 B.C., hal mana adalah sumbangan yang terpenting dari zaman Romawi Raya itu. Kemudian langkah sejarah berderap terus sampai ke zaman Magna Carta yang menentang despotisme Inggris di mana King John (1275) yang mencantumkan "no freeman might be arrested, imprisoned or punished in any way, except after a trial by his equals and in accordance with the Law of the Land" (Tidak boleh ada orang (rakyat) bebas dipenjarakan atau dihukum dalam keadaan bagaimanapun juga, kecuali sesudah melalui Pengadilan yang dilakukan oleh orang-orang setingkat dengannya dan sesuai dengan Perundang-undangan Negeri). Sejarah kemudian menggenggam terus di tangannya Magna Carta itu sampai ke dalam Parlemen yang pertama di dunia, di zamannya Dinasti Tudor, sekalipun namannya Absolutisme (1603 - 1714). Parlemen Inggris dengan Magna Carta itu kemudian menjadi lebih maju lagi di zamannya Revolusi Besar King Charles II (1660 - 1685), di mana "rakyat Inggris menghendaki tetap adanya Raja, tetapi menghendaki Rajanya itu memerintah di bawah advisnya Parlemen", lahirlah Habeas Corpus pada tahun 1679. Para ahli hukam kita tentulah tidak bisa mengesampingkan makna Magna Carta dan Habeas Cor- pus Act itu, yang intisarinya juga tertuang di dalam UUD '45 kita. Sebelumnya Pembukaan Declaration of Independence Amerika 4 Juli 1776 menyatakan bahwa gabungan koloni-koloni berhak bebas dan menjadi negara berdaulat. Jiwa Magna Carta dan Habeas Corpus Act itu kemudian tertampung pula di dalam Parole-nya Revolusi Prancis: Liberté, Egalité, Fraternité. Sejarah maju terus, tetapi di Indonesia dibikin munduuuur!
Tuan-tuan ahli hukum di Indonesia, mengapakah semua orang, semua elemen yang tersangkut langsung atau tidak langsung dengan Peristiwa G30S (GESTAPU/PKI) tidak diusut dan dibawa ke Sidang Pengadilan, hanya Presiden Sukarno saja yang dicecer, sedangkan LetnanJendral Soeharto yang tersangkut langsung dan tidak langsung tidak diutik-utik. Dan satu juta jiwa rakyat yang tidak bersalah dijadikan korban pembantaian tanpa diusut dan dibawa ke Pengadilan? Siapa sutradara siapa aktor peran utamanya yang pertama- tama dari drama holocaust itu? Akh, wahai, alma mater.... Itukah nasibmu di Indonesia? Saya khawatir harimaunya arwah Montesqieu dengan Trias Politicanya akan mengerekah kepala-kepala ahli hukum kita di Indonesia. Mudah-mudahan tidak, Insya Allah.
Sebab, ilmu dasar negara sejak zaman Renaissance (abad XIV) mengajarkan: Politik adalah Panglima. Mulai dari zaman Renais- sance feodalisme diruntuhkan, kepalanya Demokrasi mulai muncul, lahir dari dalam perut gendut penindasan feodalisme, dan bayi Demokrasi itu dibuai-buai dan disayang-ditimang oleh rakyat-rakyat yang tertindas di bawah kaum feodal: Milan, Pisa, Genoa, Florence, Venesia dan lain-lain bergerak memberontak mencampakkan penindasan feodalisme yang bertengger di atas bahunya. Ya, itulah yang menandai kelahirannya kembali Demokrasi, seperti pertam kali ia pernah mahir di zaman Yunani Kuno.
Tetapi, di Indonesia, tanahairku, sejak 1965 panglima-panglimalah, dalam kenyataan dan secara harfiah menguasai politik, bukan lagi kaum ilmuwan dan kaum pergerakan. Kalau kaum militer yang berkuasa, senjatanya bukan lagi logika dan dialog, tapi bedil dan bayonet. Lembaga-lembaga kenegaraan dari suatu Republik, lembaga-lembaga eksekutif, legistatif, yudikatif ditundukkan kepada bedil dan bayonet. Itulah dia pemerintahan "Republik" Indonesia sejak tahun 1965 sampai sekarang. Kepada kawan-kawanku pejuang Angkatan 45 yang telah memberikan pengorbanan penuh pada Republik Proklamasi 17-8-45 dan Angkatan Muda penerusnya (bukan apa yang disebut "Angkatan 66" yang telah kesasar, sesat di jalan itu!), baiklah merenungkan kembali semuanya itu.
Peristiwa disebut dan dikacau-balaukannya seluruh isi Deparlu (Kementerian Luar Negeri) yang diceritakan di atas tadi, yang dikatakan oleh Bung Karno sebagai suatu perbuatan "kontra- revolusioner", merupakan "tembakan salvo" bagi demonstrasi- demonstrasi brutal yang menyusul beberapa hari kemudian oleh organisasi pemuda KAMI dan KAPPI.
"Sialan banget" saya, sebab yang membentuk KAMI/KAPPI itu adalah Brigjen Dr. Sjarif Thayeb, Menteri PTIP yang saya kenal baik sejak di sekitar hari-hari Proklamasi 17 Agustus 1945. Saya turut mengusulkan dia menjadi anggota KNIP bersama Adam Malik, dan isteri saya Sukendah, bekas Ketua Lembaga PUTRI, sebagai wakil-wakil dari Pemuda Menteng 31. Ketika itu dia belum menjadi dokter, masih mahasiswa di Ika Daigaku (sekarang kedokteran U.l.). Saya mengusulkan Sjarif Thayeb, karena saya merasa berhutang- budi pada ayahnya, Bapak Tengku Thayeb (Kepala Penjara Bukit Duri) yang membantu kami keluar dari penjara tersebut. Hal ini saya uraikan dalam buku "Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan".
Saya lanjutkan sedikit cerita "kesialan" saya tadi. Ketika saya akan kembali ke Kuba pada akhir bulan Januari 1966, saya singgah di rumah Dr. Sjarif Thayeb guna berpamitan dan mau menanyakan kalau-kalau ada sesuatu yang bisa saya bawakan untuk abangnya, Mr. Ismail Thayeb, Duta Besar di Mexico. Apalagi mengingat Sjarif itu dokter keluarga saya. Tapi Sjarif tidak berani keluar menerima saya. Sesudah agak lama saya menunggu, isterinyalah yang datang menjumpai saya, sambil minta maaf, mengatakan bahwa suaminya masih tidur, sebab tadi malam sampai laat, di rumah itu ramai sekali dengan pemuda-pemuda, membentuk organisasi KAMI dan KAPPI. Jadi setahu saya, organisasi KAMI dan KAPPI resminya baru dibentuk di bulan Januari 1966, sedangkan demonstrasi-demonstrasi yang berlangsung setelah terjadinya demonstrasi ke Kementerian Luar Negeri itu baru di atas-namakan pemuda-pemuda dan mahasiswa saja. Demikian, kalau saya tidak salah.
Di dalam buku "Bayang-bayang PKI" yang disusun secara baik dan rinci oleh Goenawan Mohamad dkk (1995), disebutkan bahwa KAMI dibentuk akhir Oktober 1965. Mungkin juga itulah yang betul. Tapi ketika itu saya belum datang dari Kuba.
Dr. Sjarif Thayeb dan Kemal Idris memang bersahabat, keduanya saya kenal. Mereka sama-sama TNI dari Divisi Siliwangi. Kemal Idris memang boleh dikata beroepsmiliter, seorang tentara profesional. Dia berasal dari PETA. Sedangkan Dokter Sjarif Thayeb seorang dokter Tentara, di samping itu buka praktek partikelir di Jalan Kwitang, sesudah saya kembali dari Yogya. Andaikata saya seorang Panglima, tanpa ragu-ragu saya anggap patut Kemal ini diangkat menjadi Kepala Staf karena rasa disiplinnya kuat, bukan saja pada anak-buahnya, juga terhadap dirinya sendiri. Dan dia memiliki watak pemberani. Saya kenal saudara Kemal Idris ketika saya dan Pak Haji Agus Salim bekerja sebagai Penasihat di kantor Gunseikanbu Shidobu, di Jalan Budi Kemuliaan. Di situ bekerja juga para Shodanco Zulkifli Lubis, Kemal Idris, Daantje Mogot, dan Otto Djajasuntara. Tapi ketika itu (sebelum Proklamasi) sudah tampak sifat dan watak militernya memang, dari Kemal Idris dan Daantje Mogot. Mogot korban pertempuran pertama, betul-betul bertempur waktu melucuti Jepang di Tangerang, di sekitar hari-hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Pada Hari Proklamasi 17 Agustus 1945, saya teringat kepada Kemal Idris, saya lari ke kantornya dan menyerahkan padanya satu lembar stensilan Proklamasi kepadanya untuk memberitahukan bahwa kita sudah Merdeka. Kertas itu diterima dengan terkejut. "Ah, ini mesti dilaporkan pada Chudancho", katanya bergegas masuk ke dalam. Tentu saja saya segera "hengkang" dari tempat itu. Kalau itu bukan tandanya kuat berdisiplin pada bossnya, apalagi itu namanya. Padahal situasi sudah berganti rupa.
Sesudah itu saya tidak bertemu lagi dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris. Baru ketika terjadi apa yang disebut"percobaan kudeta Nasution pada tanggal 17 Oktober 1952" saya lihat dan saya bertemu dengan mereka berdua itu di Istana Merdeka. Langsung saya menanyakan pada Sjarif: "Sjarif; ini apa-apaan ini?"
Dia nyengir-nyengir tertawa: "Mau menegakkan demokrasi, bung".
Tukasku:"Apa itu tank-tank dengan mulut meriam mengarah ke istana itu maunya demokrasi?".
Tetapi untuk tahu hal yang sebenarnya bacalah buku Manai Sophian. Setahu saya, Sjarif Thayeb dan Kemal Idris pada dasarnya tidak anti-Sukarno, tapi anti PKI memang. Abang Sjarif, komunis, sejak dari zaman CPN di negeri Belanda, Ir. Tahir Thayeb. Lainnya tidak. Saya kenal semua, sampai ke adiknya Muchtar Thayeb. Sekarang, sesudah meledaknya pemberontakan GESTAPU, mereka berdua (Sjarif Thayeb dan Kemal Idris) itu muncul lagi untuk bekerjasama.Yang satu dulu sebagai Mayor, sekarang sebagai Brigjen, yang satu lagi mengendalikan pemuda dan mahasiswa sebagai tombak perjuangan. Satu mengendalikan RPKAD sebagai stoot-troop perjuangan Orde Baru yang ternyata sekarang melemparkan Demokrasi ke tanah mencium debu, walaupun di make-up dengan nama Demokrasi Pancasila, yang lebih koprot (rotte kop!) dari Demokrasi Terpimpin yang diejeknya dahulu itu.
Tetapi kalau kita singgung istilah politik Demokrasi itu, maka hukum dialektika berlaku terhadapnya. Demokrasi dari siapa dan untuk siapa? "Demokrasi Terpimpin" adalah demokrasi dari Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi untuk cita-cita Revolusi Agustus 1945. Sedangkan"Demokrasi Pancasila" adalah demokrasi untuk menjamin investasi- kapital asing demi kelangsungan metode pembangunan ..à la Orde Baru, yang punya dampak membuat semua jadi serba semu pura-pura. Kenakanlah pada UUD'45, pada Pancasila, pada DPR, pada MPR dan pada apalagi dan pada apa saja. Ketika saudara Hasjim Ning (sekarang almarhum) menjumpai saya di Paris dengan seakan-akan minta maaf, menumpahkan segala penyesalan dan kekecewaannya karena atas desakanJendral Soeharto, telah ambil bagian dalam menjatuhkan Bung Karno, ia berkata: "Ya, Bung Hanafi, sekarang jadinya sudah begini, seperti ORFAL yang mengongkosi perjalanan saya ini, semuanya semu, kelir Orfal, pura- pura hitam bukan hitam, pura-pura putih bukan putih. Fiat dan General Motor, hasil ambil-alih kita dulu, nasionalisasi kita dulu, bukan punya saya lagi, semuanya jatuh ke Cina."
Kasihan Hasyim Ning itu, semoga arwahnya diterima baik oleh Tuhan. Hasyim Ning dan Dasaad, pengusaha nasional kita, apalagi Dasaad, memang pengusaha yang ulet. Ditemani oleh Dasaad itulah, Hasjim Ning menghadap kepada Bung Karno beberapa jam sebelum kedatangan tiga Brigjen:Amir Mahmud, Jusuf dan Basuki Rachmat. Mereka datang untuk mendesak Bung Karno agar memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada Jendral Soeharto. Hasjim Ning dan Dasaad telah "dibujuk-bujuk" oleh Brigjen Alamsjah Ratu Prawira Negara, asal sedaerah dengan saya, Sumatra Selatan Jemo Baturaje) supaya pergi ke Bogor ngelesin Bung Karno supaya menyerahkan kekuasaan yang lebih besar kepada Letnan Jendral Soeharto. Alamsjah ketika itu menjaba tAsisten Keuangan Angkatan Darat, sejak semula sudah anti-Sukarno karena terbawa arus Dewan Garuda sampai terbawa-bawa ke PRRI/Permesta. Ketika pada tabun 1957, saya menjadi Menteri Kabinet Karya Djuanda, Kang Djuanda sebagai Perdana Menteri, menyarankan agar saya pergi ke Palembang guna memperingatkan Kolonel Barlian (masih kemenakan saya, karena kawin dengan kemenakan saya puteri Demang Bachsir dari Manna - Bengkulu) supaya jangan terpancing ikut-ikutan Dewan Banteng di Sumatra Barat yang mau menentang Pemerintah Pusat.
Saya peringatkan:"Jangan terpancing oleh siasat Kolonel Zulkifli Lubis itu. Zulkifli Lubis itu orang berdosa, dulu dia kami tangkap, sekap di Menteng 31 karena dia menjadi anggota Kipas Hitam (intel Jepang). Untuk menyelamatkannya saya serahkan pada Bung Karno di PengangsaanTimur 56, dan oleh Bung Karno diserahlc~n kepada Amir Sjarifudin, Menteri Penerangan yang menyelamatkannya pula dengan mengirimkarmya keYogya untuk mendirikan P.M.C. (Polisi Militer Chusus). Kok sekarang dia menentang Bung Karno, ini 'kan berdosa namanya! Dan Pemerintah Pusat pasti akan meng- hancurkan setiap gerakan separatis, walaupun menggunakan nama segala macam binatang!" Saya nasihati demikian juga saudara saya Major Marzaki, yang menjadi Komandan CPM.
Uraian di atas adalah percakapan saya dengan saudara Hasjim Ning tatkala dia datang mengunjungi saya ke Paris. Sebenarnya kedatangan Hasjim Ning itu menyatakan penyesalannya yang tak terhingga kepada saya atas perbuatannya pergi ke Bogor membujuk- bujuk Bung Karno itu. Dia teman saya, saya tahu, ketika Bung Karno di Bengkulu, saya kenal dengan ayahaya, Pak Ning, yang datang ke rumah Bung Karno menghadiahkan sebuah sepeda Fongers kepada Bung Karno. Kemudian Hasjim Ning diam-diam mengeluarkan dua check blok yang masing-masing berisi 10 lembar, sesudah ditekennya, dia menyuruh saya meneken pula.
"Apa ini, dan untuk apa ini?" tanyaku.
"Teken saja. Masa' sudah lupa meneken check?" Seluruhnya 10.000 US dollar.
"Ini untuk bikin selamatan mendoakan pemimpin kita Bung Karno", kata Hasjim. Itulah pertemnan saya dengan Hasjim Ning selama saya dalam pembuangan di Paris yang pertama kali, tapi juga yang terakhir. Dia meninggal lebih dulu. Inna lillahi wa Inna Ilaihi Roji'un!
Dibanding dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris, lain lagi Kapten Murtono, yang di awal Orde Baru menjabat Ketua DPR. Hebat! Kapten, asal PESINDO Madinn ini, turut duduk bersama kami dalam Dewan Harian Angkatan 45, mewakiliJendral A.H. Nasution. Sekali kami mengadakan rapat Dewan Harian Angkatan 45 di rumah saya, Jalan Madura No. 5, dalam rangka mempersiapkan Musyawarah Besar Angkatan 45 (Mubes ke-II), 19 Desember 1953. Hadir di antara lainnya Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, Harjoto Judoatmodjo, Bambang Suprapto, Sudisman, Pandu Kartawiguna, Moh. Imamsjafi'ie (Bang Piti) dan Amir Murtono. Dia datang lebih dulu dari saya. Dalam omong-omong dengan saya, tiba-tiba nyeletuk: "Jangan Bung kira tidak ada orang lain bisa jadi Presiden". Sekarang saya~terpikir kembali, mestinya saya tanggapi baik-baik ucapan yang loncat dari mulutnya itu, tetapi ketika itu saya terlalu yakin tidak mungkin ada orang yang bisa menggantikan Bung Karno dengan segala kwalitasnya sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Ucapan tadi saya anggap angin lalu saja, atau sinting.
Ternyata dia itu adalah salah satu "kapal selam" di bawah lautan era Sukarno. Itulah bedanya dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris, yang kupandang dalam perumpamaan sebagai kapal penjelajah yang penting, hebat, membukakan pintu gerbang bagi Orde Baru.
Sebenarnya nama "Orde Baru" itu tidak orisinil Indonesia, tapi jiplakan dari "O Estado Novo" dari Getulio Vargas, Presiden/Diktator fasis Brazilia, yang dengan licik dan licin telah menegakkan Orde Baru pada tahun 1937. Dia membubarkan Partai Fasis Brazilia, tapi mengangkat dirinya sendiri menjadi Presiden yang fasistis, Presiden yang tidak mau terikat oleh partai politik. Carilah sendiri di mana persamaannya dalam segala metode dan taktiknya pada Presiden Soeharto dengan Orde Baru Indonesia.
Tetapi orang tidak bisa dan tidak boleh bermimpi terus-terusan. Satu pagi akan terbangun dan melihat kenyataan di hari terang- benderang, bahwa hidup manusia di zaman sekarang berasal dari stratagem (siasat perang) Perang Dingin segi tiga: Amerika Serikat, Uni Sovyet, RRC itu tadi.Tetapi jangan pula lupa, bahwa Konperensi AA, itu sendiri adalah manifestasi dari "produk" ketegangan segi tiga atau tiga pola kekuatan di dunia itu. Saling baku-hantam, kita terjepit.
Mau tidak mau saya teringat kepada Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB 1960, yang menawarkan filsafah Pancasila untuk Membangun Dunia Kembali. Pidato tersebut ingin saya lampirkan di dalam buku ini di dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), setidak-tidaknya untuk menjadi dokumentasi yang bagi saya seperti Bung Karno menganggap Pancasila itu adalah een hogere optrekking, satu pengangkatan yang lebih tinggi dan lestari dari Manifesto Komunis dan Kapitalisme. Untuk mencapai dunia baru tanpa perang dan berkeadilan sosial, sama-sama kerja, sama-sama makan. Apakah mungkin tercapai cita-cita itu? Mengapa tidak? Sebagai orang yang beragama Agama Islam, saya menjunjung Al Qur'an Ulkarim di dalam hatiku dengan keyakinanku dan tafsir yang dialektis. Bahwa Tuhan menjadikan ummatnya bergolong- golongan, berbangsa-bangsa agar saling-mengenal dengan baik, selanjutnya bahwa Tuhan tidak akan memperbaiki nasib sesuatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak mau memperbaiki nasib bangsanya. Titik beratnya tergantung pada ada tidaknya kemauan. Ada kemauan, pasti ada jalan. Barangkali seperti ungkapan yang mengatakan:"Bukan satu jalan menuju ke Roma". Barangkali ada tujuh jalannya menuju ke Roma itu, yang terpenting sampainya, bukan jalannya, dan tentu saja bukan jalan pintas seperti GESTAPU atau Gestok itu! Dan pasti: bukan jalan dan caranya D.N.Aidit, apalagi bukan jalan dan caranya kudeta atau kapital dari negeri-negeri Barat, Amerika dan Eropa untuk pembangunan dalam zaman apa yang disebut era globalisasi, namun pasti bukan jalan dengan caranya Presiden Soeharto yang akibatnya sudah lebih mempertegang kembali pandangan rakyat Indonesia terhadap negara-negara penegak demokrasi (sekalipun demokrasi Barat) yang liberal itu.
Bab XIII
10 Januari 1966 Demonstrasi Pemuda Kontra Revolusioner Menyerbu Deparlu
Di bagian di muka telah saya ceritakan bagaimana kesubukan saya, pergi ke Tokyo mendadak, untuk mengirimkan surat penting dari Presiden Sukarno yang harus secepatnya disampaikan ke tangan Fidel Castro di Havana, lalu saya mengirimkan anak saya sendiri, mahasiswa perkapalan di Tokyo (kemudian Osaka), Dias Hanggayudha, ke Havana untuk menyerahkan surat tersebut kepada ibunya, Sukendah Hanafi, agar dengan pertolongan Señora Silya Sanchez, disampaikan langsung ke tangan Fidel Castro. Señora Silya Sanchez adalah kawan seperjuangan Fidel sejak zaman puncak gunung Pico Turcuino dan sekarang menjabat Sekretarisnya yang terpercaya. Saya tidak mau menggunakan saluran Deparlu untuk kepentingan surat tersebut. Ada cerita sampingan yang perlu lebih dahulu diketahui oleh para pembaca yang terhormat.
Di dalam buku yang diberi judul 'Jejak Langkah Pak Harto 1 Oktober 1965 - 27 Maret 1968" oleh Team Dokumentasi Presiden RI, dengan editor: G. Dwipayana, Nazaruddin Sjamsuddin, dan penerbit PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1991, diuraikan sbb:
"Senin, 10 Januari. Pagi ini KAMI mengadakan rapat umum di halaman FK-UI, yang juga dihadiri oleh Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie dan beberapa stafnya. Pada rapat umum ini untuk pertama kalinya telah diperkenalkan'Tritura' atau TigaTuntutan Rakyat. Ketiga Tuntutan Rakyat itu adalah:
1) Bubarkan PKI;
2) Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI; dan
3). Turunkan harga. Selesai rapat umum, para mahasiswa dengan jaket kuningnya bergerak menuju Departemen PTIP, dan kemudian ke Sekretariat Negara untuk menyampaikan pernyataan mereka. Sepanjang perjalanan antara kedua tempat tersebut mereka meneriakkan slo- gan-slogan seperti 'Turunkan harga beras!', 'Turunkan harga bensin!', 'Singkirkan menteri goblok!', dan lain-lain."
Lalu, di sini saya mau bertanya kepadaTeam Dokumentasi Presiden RI tersebut:"Mengapa kok hanya dibilang para mahasiswa dengan jaket kuningnya bergerak menuju Departemen PTIP, dan kemudian ke Sekretariat Negara, tapi tidak mau mengatakan bahwa sebelum ke Sekretariat Negara mereka berbelok dulu, berdemonstrasi ke Deparlu, memberantaki segala meja dan lemari-lemari serta segala surat-surat penting dan kertas-kertas kantor Deparlu itu sehingga bertebaran di jalanan memenuhi Lapangan Pejambon, sebelum sampai bergerak ke Sekretariat Negara? Malu? Karena biasanya mahasiswa itu orang yang terpelajar? Malu? Apa karena buku itu mencatat 'Jejak Langkah Pak Harto dari 1 Otober 1965 - 27 Maret 1968"?
Sekarang saya kembali pada pembicaraan subjudul tersebut di atas. Setibanya di Jakarta kembali dari Tokyo, esok harinya saya langsung pergi ke Istana Merdeka. Hari itu tanggal l0 Januari 1966. Saya lihat Presiden Sukarno dengan para Deputies: Subandrio, Leimena, Chaerul Saleh, memberi isyarat kepada saya. Di situ ada juga Duta Besar Pakistan dan Duta Besar Filipina. Chaerul Saleh yang selalu atent pada saya, langsung berteriak:
"Fi, ayo ikut".
"Mobil mana?" tanyaku.
"Mobil mana saja", jawabnya.
"Ah", senang hatiku punya kawan seperti Chaerul Saleh.
Teringatlah saya, kalau tidak lantaran saudara Sidik Kertapati bertemu dengan saya, yang mengingatkan, kalau saya masih sayang sama Chaerul Saleh, jangan biarkan sampai malam ini di Penjara Gang Tengah itu, sebab kabarnya dia akan di"bon" oleh Tentara Siliwangi (Kolonel Kawilarang), dengan alasan akan dipindahkan ke Bandung, akan ditembak mati di tengah jalan. Saya lalu tidak jadi pergi ke Gang Tengah, semula mau ketemu saudara Setiati Surasto, agen distributor Mingguan Pancasila yang saya terbithan ketika masih diYogyakarta. Saya balik ke rumah, ambil mobil, terus saya larikan ke istana, bertemu dengan Presiden Presiden Sukarno, mendesak beliau agar menyelamatkan Chaerul Saleh. Itulah sebabnya mengapa Jaksa Agung Suprapto segera dipanggil mendadak ke Istana.
Selanjutnya kemudian Chaerul Saleh dikirim ke luar negeri untuk studi di Swiss. Ajudan Mayor Prihatin terheran-heran dengan kedatangan saya, dia diperintaLkan untuk membawa Jaksa Agung Suprapto ke Istana Negara dengan segera. Pikir-pikir, untunglah ada "jembatan" seperti saya ini, yang menghubungkan Bung Karno dengan Rakyat Pejuang. Peran "jembatan" ini kupegang sejak zaman Jepang, sampai ke jaman Revolusi, terus sampai sekarang. Lebih baik jadi "kacung" Revolusi ketimbang jadi jendral petak pengkhianat, murtad kepada cita-cita bangsaku.
Matahari di Jakarta sama panasnya dengan di Kuba.Tanpa pilih- pilih mobil mana yang akan kunaiki, saya lompat ke dalam sebuah mobil yang paling dekat. Saya tidak tabu mobil siapa, saya naiki saja. Tak disangka, mobil yang kunaiki adalah milik Duta Besar Philipina. Mobil Presiden bersama Menlu Subandrio di dalamnya, Leimena dan Chaerul Saleh, di belakangnya mobil Duta Besar Pa- kistan, dan saya dengan Duta Besar Filipina berada di paling belakang. Saya memperkenalkan diri, menyalaminya, sambil minta maaf akan kedatangan saya yang mengganggu itu. "No, no, not at all, we are in a situation of a revolution, isn't?", senyumnya simpatik. Ke mana kami semua pergi? Saya tidak diberi tahu tadi akan ke mana?
Ternyata segera kemudian semua mobil menuju ke Pejambon, ke Gedung Departemen Luar Negeri, yang ternyata telah diserbu, diserang oleh kaum demonstran yang menuntut "Gantung Subandrio, Haji Peking!", sebagaimana nampak pada poster yang tergeletak. Tetapi yang lebih mengenaskan hati saya, masya'allah, saya lihat isi gedung Deparlu itu diberantaki semoa, meja-meja, lemari-lemari, ada yang patah-patah dilemparkan di pelataran dan di jalan. Dokumen-dokumen, kertas-kertas berserakan, bertaburan di mana-mana, sampai di seberang jalan, sampai ke pinggir kali Ciliwung itu.
Kami semua turun dari mobil mengiringi Presiden Sukarno memasuki gedung itu. Tidak bisa lagi lincah menghindari kertas- kertas, surat-surat atau dokumen entah apa, terpaksa terinjak di bawah telapak kaki kami. Malu sekali rasanya, sebab drama itu disaksikan oleh wakil-wakil negeri sahabat, Pakistan dan Filipina dan tentu saja akan segera diketahui oleh wakil-wakil negeri lainnya. Artinya muka Kepala Negara Indonesia ditampar-tampar secara brutal mentah-mentah di muka dunia oleh pemuda-pemuda kesurupan yang tidak menyadari apa sebenarnya yang mereka lakukan itu.
Tiba-tiba Presiden Sukarno memanggil saya, mukanya geram berkata: "Hanafi, coba lihat ini, apa ini kalau bukan perbuatan kontra- revolusioner?"
Tentulah saya tidak bisa lain kecuali menjawab:"Ya, betul-betul kontra-revolusioner". Semua orang yang menyambut kedatangan kami, umumnya pejabat atau pegawai Deparlu, walaupun berjarak beberapa langkah, pasti melihat bagaimana wajah Presiden ketika itu, dan tentulah mendengar betul ucapan pertanyaan beliau serta jawaban penegasan saya tadi.
Peristiwa hari itu, ternyata membawa "buntut" yang panjang, yang melilit dari kaki sampai ke leher saya. Mulai dari sinilah bisa diketahui mengapa saya secara non-konstitusional dan dengan cara memperkosa aturan dicopot dari jabatan, dan kemudian, walaupun jelas ada pihak-pihak yang membolehkan saya pulang dari tempat pembuangan di Paris, ada pula pihak-pihak yang menghambat.
Persis di belakang saya berdiri Kapten Supardjo Rustam. Mataku melirik kepadanya, sesudah saya berkata "Ya", menyambut pertanyaan Presiden tadi. Tampak mukanya geram, mulutnya mengguman kata-kata"apa-apaan ini". Itu saya ingat sampai sekarang, tidak akan lupa.Tapi saya tidak menghiraukan itu. Memang saya tidak terlatih berjiwa "mata-mata" yang mencatat dan mencurigai segala sesuatu. Sifatku selalu terbuka dan bersangka baik hampir kepada semua orang. Saya tidak tahu apa tugasaya Supardjo Rustam di Deparlu. Dahulu, sebelum saya berangkat ke Kuba, setiap kali saya datang ke istana, saya selalu melihat ada dua orang, walaupun saya tidak tahu apa tugas resminya di sana itu. Orang itu Kapten Supardjo Rustam itu, yang kalau menegur, menyapa saya membayangkan sikap samar-samar simpatisan Partai Murba, sebab setahu saya dia berteman dekat sekali dengan Chaerul Saleh, Sukarni dan Pandu. Yang seorang lagi adalah Letnan AURI Moerdiono (sekarang Sekretaris Negara). Kata orang, masih ada tali hubungan famili dengan Bung Karno, yaitu kata Pak Hardjowardojo, walaupun saya tahu sifat Bung Karno tentang urusan famili itu "sekunder". Baginya yang terpenting kebaktian pada Negara dan Revolusi. Jelas bedanya dengan Presiden yang sekarang ini, yang nespotik. Keluarga nomor satu, negara nomor dua. Terhadap saudara Moerdiono ini saya punya "sangka-baik" saja, ketika itu dia masih mahasiswa.
Di sini saya ingin meminjam gurau satirik dari Duta Besar Filipina tadi,"kita berada dalam suasana revolusi". Maaf, saya lupa namanya ketika menyalami saya. Dipikir-pikir lagi, memang sungguh tepat ucapannya itu.Walaupun ada saja orang-orang tidak menginsafi tipe apa dan apakah karakter "revolusi" yang sedang kita alami itu. Sejak dari masa mudaku, saya hidup dalam masa revolusi sampai ke puncaknya, Revolusi Nasional Angkatan 45 sampai meningkat lagi ke Persitiwa 65 dan dari kontra-revolusi 1966 sampai ke 1997, sampai sekarang.Yang dulu ku alami yalah revolusi dari bawah, meruntuhkan gunung kolonialisme yang menindas rakyat dan bangsa Indonesia tiga setengah abad. Tapi sejak Oktober 1965 sampai sekarang - kontra-revolusinya GESTAPU dan kita berada dalam likunya arus sejarah, yaitu: kontra-revolusi dari atas yang nilai-nilai serta cita- cita bertolak-belakang, langsung bertabrakan dengan nilai-nilai dan cita-cita Revolusi Angkatan 45 yang telah tersimpul dalam Pancasila.
Secara politik di atas pentas sejarah kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, telah datang kembali kolonialisme lama dengan pakaian baru, yang disebut oleh Bung Karno sebagai neo-kolonialisme, yang arti kongkritnya adalah penjajahan Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri.
Sebab kolonialisme tidak mengenal kebangsaan! Itulah feno- mena yang paling hakiki dari naiknya Soeharto di balik kata "pem- bangunan" yang gemerlapan selama 30 tahun itu. Tidak usahlah saya mencupliki lagi satu per satu bulu-bulu raksasanya "moneter" pembangunan itu yang laksana Raksasa-Dasamuka kelaparan meng- hentak-hentakkan kakinya dan mengkibas-kibaskan tangannya di seluruh aspek kehidupan dan kekayaan tanah air Indonesia. Semna struktur kepribadian nasional yang punya kesaktian hidup tak akan mati, tak akan hancur-lebur selama ada bangsa Indonesia di dunia ini.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, itu adalah hasil puncak yang terpuncak daripada jeritan manusia selama berabad- abad dalam mencari keadilan dan kemakmuran hidup berperi- kemanusian di dunia kita ini. Sejak dari Tiongkok, Mesir dan Babylonia, 50 abad sebelumJesus Christus (B.C.), sampai ke zaman Yunani (Griek) di abad ke 8 (B.C.), di mana lahir Republik yang pertama-tama di dunia dengan pujangga-pujangganya seperti Herodotus dan Thucydides, Socrates, Plato dan Aristoteles, sampai ke Roma pada zaman Agustinus yang melahirkan corpus juris civilis (lembaga hukum civil) 527-565 B.C., hal mana adalah sumbangan yang terpenting dari zaman Romawi Raya itu. Kemudian langkah sejarah berderap terus sampai ke zaman Magna Carta yang menentang despotisme Inggris di mana King John (1275) yang mencantumkan "no freeman might be arrested, imprisoned or punished in any way, except after a trial by his equals and in accordance with the Law of the Land" (Tidak boleh ada orang (rakyat) bebas dipenjarakan atau dihukum dalam keadaan bagaimanapun juga, kecuali sesudah melalui Pengadilan yang dilakukan oleh orang-orang setingkat dengannya dan sesuai dengan Perundang-undangan Negeri). Sejarah kemudian menggenggam terus di tangannya Magna Carta itu sampai ke dalam Parlemen yang pertama di dunia, di zamannya Dinasti Tudor, sekalipun namannya Absolutisme (1603 - 1714). Parlemen Inggris dengan Magna Carta itu kemudian menjadi lebih maju lagi di zamannya Revolusi Besar King Charles II (1660 - 1685), di mana "rakyat Inggris menghendaki tetap adanya Raja, tetapi menghendaki Rajanya itu memerintah di bawah advisnya Parlemen", lahirlah Habeas Corpus pada tahun 1679. Para ahli hukam kita tentulah tidak bisa mengesampingkan makna Magna Carta dan Habeas Cor- pus Act itu, yang intisarinya juga tertuang di dalam UUD '45 kita. Sebelumnya Pembukaan Declaration of Independence Amerika 4 Juli 1776 menyatakan bahwa gabungan koloni-koloni berhak bebas dan menjadi negara berdaulat. Jiwa Magna Carta dan Habeas Corpus Act itu kemudian tertampung pula di dalam Parole-nya Revolusi Prancis: Liberté, Egalité, Fraternité. Sejarah maju terus, tetapi di Indonesia dibikin munduuuur!
Tuan-tuan ahli hukum di Indonesia, mengapakah semua orang, semua elemen yang tersangkut langsung atau tidak langsung dengan Peristiwa G30S (GESTAPU/PKI) tidak diusut dan dibawa ke Sidang Pengadilan, hanya Presiden Sukarno saja yang dicecer, sedangkan LetnanJendral Soeharto yang tersangkut langsung dan tidak langsung tidak diutik-utik. Dan satu juta jiwa rakyat yang tidak bersalah dijadikan korban pembantaian tanpa diusut dan dibawa ke Pengadilan? Siapa sutradara siapa aktor peran utamanya yang pertama- tama dari drama holocaust itu? Akh, wahai, alma mater.... Itukah nasibmu di Indonesia? Saya khawatir harimaunya arwah Montesqieu dengan Trias Politicanya akan mengerekah kepala-kepala ahli hukum kita di Indonesia. Mudah-mudahan tidak, Insya Allah.
Sebab, ilmu dasar negara sejak zaman Renaissance (abad XIV) mengajarkan: Politik adalah Panglima. Mulai dari zaman Renais- sance feodalisme diruntuhkan, kepalanya Demokrasi mulai muncul, lahir dari dalam perut gendut penindasan feodalisme, dan bayi Demokrasi itu dibuai-buai dan disayang-ditimang oleh rakyat-rakyat yang tertindas di bawah kaum feodal: Milan, Pisa, Genoa, Florence, Venesia dan lain-lain bergerak memberontak mencampakkan penindasan feodalisme yang bertengger di atas bahunya. Ya, itulah yang menandai kelahirannya kembali Demokrasi, seperti pertam kali ia pernah mahir di zaman Yunani Kuno.
Tetapi, di Indonesia, tanahairku, sejak 1965 panglima-panglimalah, dalam kenyataan dan secara harfiah menguasai politik, bukan lagi kaum ilmuwan dan kaum pergerakan. Kalau kaum militer yang berkuasa, senjatanya bukan lagi logika dan dialog, tapi bedil dan bayonet. Lembaga-lembaga kenegaraan dari suatu Republik, lembaga-lembaga eksekutif, legistatif, yudikatif ditundukkan kepada bedil dan bayonet. Itulah dia pemerintahan "Republik" Indonesia sejak tahun 1965 sampai sekarang. Kepada kawan-kawanku pejuang Angkatan 45 yang telah memberikan pengorbanan penuh pada Republik Proklamasi 17-8-45 dan Angkatan Muda penerusnya (bukan apa yang disebut "Angkatan 66" yang telah kesasar, sesat di jalan itu!), baiklah merenungkan kembali semuanya itu.
Peristiwa disebut dan dikacau-balaukannya seluruh isi Deparlu (Kementerian Luar Negeri) yang diceritakan di atas tadi, yang dikatakan oleh Bung Karno sebagai suatu perbuatan "kontra- revolusioner", merupakan "tembakan salvo" bagi demonstrasi- demonstrasi brutal yang menyusul beberapa hari kemudian oleh organisasi pemuda KAMI dan KAPPI.
"Sialan banget" saya, sebab yang membentuk KAMI/KAPPI itu adalah Brigjen Dr. Sjarif Thayeb, Menteri PTIP yang saya kenal baik sejak di sekitar hari-hari Proklamasi 17 Agustus 1945. Saya turut mengusulkan dia menjadi anggota KNIP bersama Adam Malik, dan isteri saya Sukendah, bekas Ketua Lembaga PUTRI, sebagai wakil-wakil dari Pemuda Menteng 31. Ketika itu dia belum menjadi dokter, masih mahasiswa di Ika Daigaku (sekarang kedokteran U.l.). Saya mengusulkan Sjarif Thayeb, karena saya merasa berhutang- budi pada ayahnya, Bapak Tengku Thayeb (Kepala Penjara Bukit Duri) yang membantu kami keluar dari penjara tersebut. Hal ini saya uraikan dalam buku "Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan".
Saya lanjutkan sedikit cerita "kesialan" saya tadi. Ketika saya akan kembali ke Kuba pada akhir bulan Januari 1966, saya singgah di rumah Dr. Sjarif Thayeb guna berpamitan dan mau menanyakan kalau-kalau ada sesuatu yang bisa saya bawakan untuk abangnya, Mr. Ismail Thayeb, Duta Besar di Mexico. Apalagi mengingat Sjarif itu dokter keluarga saya. Tapi Sjarif tidak berani keluar menerima saya. Sesudah agak lama saya menunggu, isterinyalah yang datang menjumpai saya, sambil minta maaf, mengatakan bahwa suaminya masih tidur, sebab tadi malam sampai laat, di rumah itu ramai sekali dengan pemuda-pemuda, membentuk organisasi KAMI dan KAPPI. Jadi setahu saya, organisasi KAMI dan KAPPI resminya baru dibentuk di bulan Januari 1966, sedangkan demonstrasi-demonstrasi yang berlangsung setelah terjadinya demonstrasi ke Kementerian Luar Negeri itu baru di atas-namakan pemuda-pemuda dan mahasiswa saja. Demikian, kalau saya tidak salah.
Di dalam buku "Bayang-bayang PKI" yang disusun secara baik dan rinci oleh Goenawan Mohamad dkk (1995), disebutkan bahwa KAMI dibentuk akhir Oktober 1965. Mungkin juga itulah yang betul. Tapi ketika itu saya belum datang dari Kuba.
Dr. Sjarif Thayeb dan Kemal Idris memang bersahabat, keduanya saya kenal. Mereka sama-sama TNI dari Divisi Siliwangi. Kemal Idris memang boleh dikata beroepsmiliter, seorang tentara profesional. Dia berasal dari PETA. Sedangkan Dokter Sjarif Thayeb seorang dokter Tentara, di samping itu buka praktek partikelir di Jalan Kwitang, sesudah saya kembali dari Yogya. Andaikata saya seorang Panglima, tanpa ragu-ragu saya anggap patut Kemal ini diangkat menjadi Kepala Staf karena rasa disiplinnya kuat, bukan saja pada anak-buahnya, juga terhadap dirinya sendiri. Dan dia memiliki watak pemberani. Saya kenal saudara Kemal Idris ketika saya dan Pak Haji Agus Salim bekerja sebagai Penasihat di kantor Gunseikanbu Shidobu, di Jalan Budi Kemuliaan. Di situ bekerja juga para Shodanco Zulkifli Lubis, Kemal Idris, Daantje Mogot, dan Otto Djajasuntara. Tapi ketika itu (sebelum Proklamasi) sudah tampak sifat dan watak militernya memang, dari Kemal Idris dan Daantje Mogot. Mogot korban pertempuran pertama, betul-betul bertempur waktu melucuti Jepang di Tangerang, di sekitar hari-hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Pada Hari Proklamasi 17 Agustus 1945, saya teringat kepada Kemal Idris, saya lari ke kantornya dan menyerahkan padanya satu lembar stensilan Proklamasi kepadanya untuk memberitahukan bahwa kita sudah Merdeka. Kertas itu diterima dengan terkejut. "Ah, ini mesti dilaporkan pada Chudancho", katanya bergegas masuk ke dalam. Tentu saja saya segera "hengkang" dari tempat itu. Kalau itu bukan tandanya kuat berdisiplin pada bossnya, apalagi itu namanya. Padahal situasi sudah berganti rupa.
Sesudah itu saya tidak bertemu lagi dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris. Baru ketika terjadi apa yang disebut"percobaan kudeta Nasution pada tanggal 17 Oktober 1952" saya lihat dan saya bertemu dengan mereka berdua itu di Istana Merdeka. Langsung saya menanyakan pada Sjarif: "Sjarif; ini apa-apaan ini?"
Dia nyengir-nyengir tertawa: "Mau menegakkan demokrasi, bung".
Tukasku:"Apa itu tank-tank dengan mulut meriam mengarah ke istana itu maunya demokrasi?".
Tetapi untuk tahu hal yang sebenarnya bacalah buku Manai Sophian. Setahu saya, Sjarif Thayeb dan Kemal Idris pada dasarnya tidak anti-Sukarno, tapi anti PKI memang. Abang Sjarif, komunis, sejak dari zaman CPN di negeri Belanda, Ir. Tahir Thayeb. Lainnya tidak. Saya kenal semua, sampai ke adiknya Muchtar Thayeb. Sekarang, sesudah meledaknya pemberontakan GESTAPU, mereka berdua (Sjarif Thayeb dan Kemal Idris) itu muncul lagi untuk bekerjasama.Yang satu dulu sebagai Mayor, sekarang sebagai Brigjen, yang satu lagi mengendalikan pemuda dan mahasiswa sebagai tombak perjuangan. Satu mengendalikan RPKAD sebagai stoot-troop perjuangan Orde Baru yang ternyata sekarang melemparkan Demokrasi ke tanah mencium debu, walaupun di make-up dengan nama Demokrasi Pancasila, yang lebih koprot (rotte kop!) dari Demokrasi Terpimpin yang diejeknya dahulu itu.
Tetapi kalau kita singgung istilah politik Demokrasi itu, maka hukum dialektika berlaku terhadapnya. Demokrasi dari siapa dan untuk siapa? "Demokrasi Terpimpin" adalah demokrasi dari Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi untuk cita-cita Revolusi Agustus 1945. Sedangkan"Demokrasi Pancasila" adalah demokrasi untuk menjamin investasi- kapital asing demi kelangsungan metode pembangunan ..à la Orde Baru, yang punya dampak membuat semua jadi serba semu pura-pura. Kenakanlah pada UUD'45, pada Pancasila, pada DPR, pada MPR dan pada apalagi dan pada apa saja. Ketika saudara Hasjim Ning (sekarang almarhum) menjumpai saya di Paris dengan seakan-akan minta maaf, menumpahkan segala penyesalan dan kekecewaannya karena atas desakanJendral Soeharto, telah ambil bagian dalam menjatuhkan Bung Karno, ia berkata: "Ya, Bung Hanafi, sekarang jadinya sudah begini, seperti ORFAL yang mengongkosi perjalanan saya ini, semuanya semu, kelir Orfal, pura- pura hitam bukan hitam, pura-pura putih bukan putih. Fiat dan General Motor, hasil ambil-alih kita dulu, nasionalisasi kita dulu, bukan punya saya lagi, semuanya jatuh ke Cina."
Kasihan Hasyim Ning itu, semoga arwahnya diterima baik oleh Tuhan. Hasyim Ning dan Dasaad, pengusaha nasional kita, apalagi Dasaad, memang pengusaha yang ulet. Ditemani oleh Dasaad itulah, Hasjim Ning menghadap kepada Bung Karno beberapa jam sebelum kedatangan tiga Brigjen:Amir Mahmud, Jusuf dan Basuki Rachmat. Mereka datang untuk mendesak Bung Karno agar memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada Jendral Soeharto. Hasjim Ning dan Dasaad telah "dibujuk-bujuk" oleh Brigjen Alamsjah Ratu Prawira Negara, asal sedaerah dengan saya, Sumatra Selatan Jemo Baturaje) supaya pergi ke Bogor ngelesin Bung Karno supaya menyerahkan kekuasaan yang lebih besar kepada Letnan Jendral Soeharto. Alamsjah ketika itu menjaba tAsisten Keuangan Angkatan Darat, sejak semula sudah anti-Sukarno karena terbawa arus Dewan Garuda sampai terbawa-bawa ke PRRI/Permesta. Ketika pada tabun 1957, saya menjadi Menteri Kabinet Karya Djuanda, Kang Djuanda sebagai Perdana Menteri, menyarankan agar saya pergi ke Palembang guna memperingatkan Kolonel Barlian (masih kemenakan saya, karena kawin dengan kemenakan saya puteri Demang Bachsir dari Manna - Bengkulu) supaya jangan terpancing ikut-ikutan Dewan Banteng di Sumatra Barat yang mau menentang Pemerintah Pusat.
Saya peringatkan:"Jangan terpancing oleh siasat Kolonel Zulkifli Lubis itu. Zulkifli Lubis itu orang berdosa, dulu dia kami tangkap, sekap di Menteng 31 karena dia menjadi anggota Kipas Hitam (intel Jepang). Untuk menyelamatkannya saya serahkan pada Bung Karno di PengangsaanTimur 56, dan oleh Bung Karno diserahlc~n kepada Amir Sjarifudin, Menteri Penerangan yang menyelamatkannya pula dengan mengirimkarmya keYogya untuk mendirikan P.M.C. (Polisi Militer Chusus). Kok sekarang dia menentang Bung Karno, ini 'kan berdosa namanya! Dan Pemerintah Pusat pasti akan meng- hancurkan setiap gerakan separatis, walaupun menggunakan nama segala macam binatang!" Saya nasihati demikian juga saudara saya Major Marzaki, yang menjadi Komandan CPM.
Uraian di atas adalah percakapan saya dengan saudara Hasjim Ning tatkala dia datang mengunjungi saya ke Paris. Sebenarnya kedatangan Hasjim Ning itu menyatakan penyesalannya yang tak terhingga kepada saya atas perbuatannya pergi ke Bogor membujuk- bujuk Bung Karno itu. Dia teman saya, saya tahu, ketika Bung Karno di Bengkulu, saya kenal dengan ayahaya, Pak Ning, yang datang ke rumah Bung Karno menghadiahkan sebuah sepeda Fongers kepada Bung Karno. Kemudian Hasjim Ning diam-diam mengeluarkan dua check blok yang masing-masing berisi 10 lembar, sesudah ditekennya, dia menyuruh saya meneken pula.
"Apa ini, dan untuk apa ini?" tanyaku.
"Teken saja. Masa' sudah lupa meneken check?" Seluruhnya 10.000 US dollar.
"Ini untuk bikin selamatan mendoakan pemimpin kita Bung Karno", kata Hasjim. Itulah pertemnan saya dengan Hasjim Ning selama saya dalam pembuangan di Paris yang pertama kali, tapi juga yang terakhir. Dia meninggal lebih dulu. Inna lillahi wa Inna Ilaihi Roji'un!
Dibanding dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris, lain lagi Kapten Murtono, yang di awal Orde Baru menjabat Ketua DPR. Hebat! Kapten, asal PESINDO Madinn ini, turut duduk bersama kami dalam Dewan Harian Angkatan 45, mewakiliJendral A.H. Nasution. Sekali kami mengadakan rapat Dewan Harian Angkatan 45 di rumah saya, Jalan Madura No. 5, dalam rangka mempersiapkan Musyawarah Besar Angkatan 45 (Mubes ke-II), 19 Desember 1953. Hadir di antara lainnya Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, Harjoto Judoatmodjo, Bambang Suprapto, Sudisman, Pandu Kartawiguna, Moh. Imamsjafi'ie (Bang Piti) dan Amir Murtono. Dia datang lebih dulu dari saya. Dalam omong-omong dengan saya, tiba-tiba nyeletuk: "Jangan Bung kira tidak ada orang lain bisa jadi Presiden". Sekarang saya~terpikir kembali, mestinya saya tanggapi baik-baik ucapan yang loncat dari mulutnya itu, tetapi ketika itu saya terlalu yakin tidak mungkin ada orang yang bisa menggantikan Bung Karno dengan segala kwalitasnya sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Ucapan tadi saya anggap angin lalu saja, atau sinting.
Ternyata dia itu adalah salah satu "kapal selam" di bawah lautan era Sukarno. Itulah bedanya dengan Sjarif Thayeb dan Kemal Idris, yang kupandang dalam perumpamaan sebagai kapal penjelajah yang penting, hebat, membukakan pintu gerbang bagi Orde Baru.
Sebenarnya nama "Orde Baru" itu tidak orisinil Indonesia, tapi jiplakan dari "O Estado Novo" dari Getulio Vargas, Presiden/Diktator fasis Brazilia, yang dengan licik dan licin telah menegakkan Orde Baru pada tahun 1937. Dia membubarkan Partai Fasis Brazilia, tapi mengangkat dirinya sendiri menjadi Presiden yang fasistis, Presiden yang tidak mau terikat oleh partai politik. Carilah sendiri di mana persamaannya dalam segala metode dan taktiknya pada Presiden Soeharto dengan Orde Baru Indonesia.
Saya mau tutup bagian ini dengan pernyataan bahwa saya tidak punya rasa dendam pada mereka itu, karena dipimpin oleh kesadaran bahwa di dalam perjalanan hidupnya, manusia bisa kadang-kadang tersesat di jalan tanpa diinsafinya, sebagai akibat bertabrakannya secara immanent dua pola pandangan hidup yang antagonis antara kerakyatan dan non-kerakyatan di ladang kerezekian hidup masyarakat.
Bab XIV
Teringat saya akan masa saya masih bocah, belum masuk ke sekolah dasar, di desa kelahiran saya di Marga Ulu Talo. Di atas sebuah anak-sungai, tergantung sebuah jembatan gantung yang dibuat oleh penduduk dari tali ijuk dan potongan bambu yang tersusun-susun, yang dapat digunakan orang untuk menyeberangi jurang kecil itu, kalau tanpa membawa barang yang berat-berat. Tapi pernah beberapa kali, di kala hujan lebat beberapa hari tak berhenti, jembatan itu menjadi terputus dan hanyut oleh air kali kecil yang berubah menjadi air sungai yang besar dan membanjir. Namun karena itu merupakan kebutuhan hidup bersama, orang dusun pun bergotong-royong membuat lagi jembatan gantung yang baru dan lebih diperkuat, walaupun tidak akan sekuat jembatan model Bailey yang betul-betul. Kalau orang berjalan di atas jembatan gantung itu, mesti berjalan pelahan-lahan, mengikuti ritme ayunan jembatan agar tidak terjatuh. Saya dengan anak-anak sekampung suka juga bermain-main dengan ayunan jembatan itu.
Sesudah terjadi peristiwa demonstrasi pemuda-mahasiswa yang merangsek ke dalam pekarangan Istana Bogor pada l5 Januari 1966, ketika sedang berlangsung Sidang Kabinet yang diperluas, saya jadi sentimental, terkenang akan jembatan gantung di kampungku di masa kanak-kanak. Keadaan di Jakarta tambah kacau, demonstrasi hampir terjadi setiap hari dan bertambah galak. Aksi-aksi penggembosan mobil yang dilakukan di jalanan menghambat lalu- lintas. Polisi penjaga keamanan lalu-lintas menjadi kewalahan, juga menjadi takut, takut dicap GESTAPU, dan GESTAPU itu di- identikkan dengan komunis. Sebuah kabar tersiar, yang mengatakan "sudah ada empat orang Pemuda Rakyat di Tanah Abang yang ditemukan orang tergantung mati di pohon". Sudah ada poster yang menuntut "Gantung D.N.Aidit dan konco-konconya!", "Bubarkan PKI!" dan lain sebagainya.
Mewaspadai keadaan situasi yang tambah meningkat hangat dan kacau itu, saya terkenang kembali pada jembatan gantung dari bambu dan tali ijuk atau tali akar-rambat di kampungku tersebut di atas. Saya sudah waspada akan ada bencana banjir datang mengamuk. Saya, Bung Karno dan Chaerul Saleh dan semua kaum Sukarnois akan dihanyutkannya ke lautan sejarah, apabila tidak cepat berlalu ke seberang dari "jembatan gantung" itu. Jembatan gantung itu dalam fantasiku adakan political solution yang telah saya usulkan: "Redress semua partai politik, kemudian bangunkan kembali, tanpa PKI".Tegasnya ialah pembubaran PEtI. PKI sudah menjadi "kartu mati". Dua sayap dari Rajawali Nasakom sudah patah, kebrangesan di kuali subversi Nekolim:
golongan A dan Kom.Ternyata A.Yani benar, mestinya jangan nasakom, tapi nasasos! Sedangkan golongan "nas" terjangkit penyakit anemia, kekurangan darah.
Saya mewaspadai, bahwa situasi yang kacau itu tidak mungkin terjadi tanpa dihasut dan dibacking oleh tentara yang de facto sudah kuasai oleh Letjen Soeharto. Sedangkan Menko Menpangad Jendral A.H. Nasution olehnya sudah dikepinggirkan sejak kejadian 1 Oktober 1965, een brutale overrompeling, tindakan dadakan yang kurang ajar.
Dalam ilmu strategi peperangan modern, sebelum serangan umum dilancarkan, serangan psywar (perang urat-syaraf) digerakkan terlebih dahulu. Psywar itu sudah bertambah luas sejak 1 Oktober 1965, meningkat ke demonstrasi Depadu, meningkat lagi ke demonstrasi di Istana Bogor dan dikembangkan, diperluas dengan berbagai isu yang serem-serem. Sedangkan di daerah-daerah diJawa Tengah, di Jawa Timur, di Bali dan di Sumatra Utara dan lain-lain di luar Ibu KotaJakarta berlangsung pembunuhan kejam dan bengis terhadap satu juta rakyat yang dituduh komunis yang dituduh berinindikasi PKI dan lain sebagainya. Semua itu mengingatkan kita pada kejadian dan cara-cara Nazi Hitler ketika melaksanakan pembunuhan kaum Yahudi di masa Perang Dunia ke-lI. Tetapi ternyata cara mereka yang kena hasut "anti-komunis dan GESTAPU" itu lebih biadab dalam melampiaskan dendam-kesumatnya. Offensif psywar menggasak otak dan pikiran orang, oer-instinct orang yang bersifat kebinatangan itu dihidup-hidupkan dan diarahkan ke tujuannya, balas-dendam kepada GESTAPU/PKI yang membunuh jendral-jendral DewanJendral, tanpa ada kecurigaan .... Mengapa masih ada satu jendral yang direservir tidak dibunuh juga?
Pertanyaan inilah yang akan saya berikan jawaban dan penjelasannya di dalam buku ini.
Sementara itu di dalam beberapa pasal atau bagian saya sudah mulai singgung ke arah maksud tersebut. Begitu juga selanjutnya.
Tidak ada sesuatu apapun yang ampuh, yang kebal, yang invul- nerable terhadap serangan, aksi dan kampanye psywar dari politik kaum neo-kolonialisme. Baik partai-partai, organisasi-organisasi sosial, organisasi keagamaan, atau pun kebudayaan, sekalipun Angkatan Bersenjata yang solid hierarkinya, juga tidak bisa tidak ditembus oleh serangan psywar yang beraksi laksana virus yang tidak kelihatan.Yang hanya bisa bertahan dan kebal menahan serangan itu hanya senjata ideologi nasional yang tajam dan setiap waktu diasah oleh pemimpin partainya atau organisasinya yang cakap, arif dan bijaksana. Dus, jadinya ideologi nasional kontra ideologi kolonial, kolonial baru atau Nekolim. Dus, soal politik! Persoalan tetap berada di situ, bergerak tapi tidak berubah, itulah fenomena dialektika sejarah sejak dahulu kala, sojak masyarakat mengenal kebangsaan etc. etc.
Bangsa Indonesia beruntung memiliki Pemimpin Nasional seperti Bung Karno. Tapi sayangnya tidak semua, tidak banyak yang bisa menginsafi arti penting beliau itu di dalam perkembangan hidup kebangsaan kita. Sebabnya kembali pada kurang mendalamnya kesadaran nasional yang larrgsung bersangkut-paut pula dengan keadaan perkembangan internasional. Masing-masing partai politik di negeri kita punya kelemahan sendiri-sendiri, masing-masing punya kelemahan yang berakar jauh di dalam bumi masyarakat kita sendiri, yang langsung menyangkut masalah pokok: ideologi dan Organisasi.
Hal-hal tersebut di atas merupakan problem-problem yang dimintakan dengan sangat, diharapkan dengan sangat supaya menjadi perhatian bagi generasi penerus perjuangan cita-cita Proklamasi!
Dua hari sesudah terjadi Sidang Kabinet di Istana Bogor, yang dikepung oleh demonstrasi pemuda KAMI dan KAPPI seperti telah diuraikan di atas, saya menghadapi dua persoalan penting yang mendesak saya agar kembali ke pos saya di Kuba.
Pertama, kawat sandi dari Sekretaris KBRI Mohamad Hatta, yang meminta saya segera pulang oleh karena Sekretaris II Keuangan, saudara Rustamadji, tidak bisa mengambil uang dari Bank di Mexico, sebab memerlukan contra-sign dari saya sebagai Duta Besar. Peraturan bahwa Duta Besar sendiri, atau Sekretaris Keuangan tidak boleh mengambil dan mengeluarkan keuangan sendiri-sendiri itu mulai dikeluarkan di masa Kabinet KaryaJuanda ke-I, ketika saya menjadi Menteri. Keputusan itu diambil berdasar pengalaman di masa Pemberontakan PRRI/Permesta, ketika Mr. Rasjid sebagai Duta Besar R.I. di Roma membawa lari uang untuk pembelian kapal- kapal dari Yugoslavia.
Kedua, saya menerima tilpon dari isteri saya di Havana, mendesak agar saya segera pulang, karena telah terjadi pencemaran nama Bung Karno di sekitar hari-hari bersidangnya Konferensi Tricontinental, mengenai adanya tulisan berupa artikel yang dimuat di surat kabar Juventud Rebelde dan Granma. Mengingat bahwa kedua surat kabar tersebut berhubungan langsung dengan Pemerintah Kuba, hal mana berarti telah merusak keserasian hubungan diplomatik antara R.l. dengan Republik Kuba yang telah kita bina dengan segala usaha persahabatan dari kedua belah pihak selama ini. Hal itu disebabkan oleh adanya keterangan yang tidak benar, tidak obyektif mengenai Persitiwa GESTAPU dari orang-orang Indonesia yang datang dari Mesir dan Peking yang menyebut dirinya "Delegasi Indonesia" untuk Konferensi Tricontinental. Sedangkan Delegasi yang dikirim oleh Bung Karno langsung dari Jakarta, yang diketuai oleh Brigjen Latief Hendraningrat, sampai tidak diterima. Hal tersebut telah saya uraikan jelas di bagian yang terdahulu.
Maka pergilah saya menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka untuk menjelaskan apa yang telah terjadi di Havana sementara saya berada di Jakarta. Saya minta agar Bung Karno memperkenankan saya pulang dulu ke Kuba guna memperbaiki salah-pengertian di pihak Kuba atas situasi yang terjadi,yaitu bahwa Presiden Sukarno, sesuai dengan harapan pribadi Fidel Castro di dalam suratnya, telah dan sedang terus berusaha sedapat-dapatnya menegakkan kembali wibawanya, mengatasi kemelut hebat yang sedang menimpa negara R.T. dan bangsa Indonesia. Dan bahwa Bung Karno tidaklah berpangku tangan atas pembantaian satu juta rakyat, seperti berita palsu yang sampai di Havana. Bung Karno mengizinkan, karena beliau memaklumi akan tugas kewajiban yang saya pikul, akan tetapi minta dengan sangat agar saya segera kembali ke Jakarta lagi untuk menerima pengangkatan sebagai MayorJendral Tituler, sesuai dengan Amanat Panglima AchmadYani sebelum wafat menjadi korban GESTAPU.Maka pergilah saya menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka untuk menjelaskan apa yang telah terjadi di Havana sementara saya berada di Jakarta. Saya minta agar Bung Karno memperkenankan saya pulang dulu ke Kuba guna memperbaiki salah-pengertian di pihak Kuba atas situasi yang terjadi,yaitu bahwa Presiden Sukarno, sesuai dengan harapan pribadi Fidel Castro di dalam suratnya, telah dan sedang terus berusaha sedapat-dapatnya menegakkan kembali wibawanya, mengatasi kemelut hebat yang sedang menimpa negara R.T. dan bangsa Indonesia. Dan bahwa Bung Karno tidaklah berpangku tangan atas pembantaian satu juta rakyat, seperti berita palsu yang sampai di Havana. Bung Karno mengizinkan, karena beliau memaklumi akan tugas kewajiban yang saya pikul, akan tetapi minta dengan sangat agar saya segera kembali ke Jakarta lagi untuk menerima pengangkatan sebagai MayorJendral Tituler, sesuai dengan Amanat Panglima Achmad Yani sebelum wafat menjadi korban GESTAPU.
Mendengar keputusan Bung Karno sebagai Presiden/Panglima Tertinggi ABRI itu, hati saya menjadi sangat terharu.Terasa benar padaku di dalam hati, bahwa beliau itu kehilangan kawan untuk dijadikan teman dalam menghadapi situasi yang begitu gawat dan kehilangan Panglima A.Yani, di mana sebetulnya saya bisa menjadi kawannya dalam keadaan dan situasi seperti itu. Apalagi kemarin, hari Minggu 16 Januari, atas desakan Letjen Soeharto tentu saja, ABRI telah melarang pembentukan Barisan Sukarno. Lihatlah, apakah itu bukan tantangan brutal, creeping coup d'etat dari Soeharto?! Sebelum Bung Karno memberikan keputusannya seperti di atas tersebut, saya telah menggunakan kesempatan mengemakakan kemasygulan saya (kalau tidak bisa dikatakan penyesalan atau kejengkelan hati saya) mengapa beliau di dalam Sidang Kabinet di Istana Bogor pada tanggal 15 Januari, yaitu dua hari yang lalu, tidak juga mengumumkan political solution beliau sendiri, baik memodulir usul saya itu atau tidak, tapi pokoknya, mengumumkan pemecahan yang bersangkutan dengan pembubaran PKI? Sebab bagi saya, sebagai seorang Marhaenis revolusioner yang tumbuh dari pemuda pejuang radikal, melihat pada PKI sebagai satu partai pelopor yang telah melakukan kesalahan politik yang amat besar, yang tidak mungkin diperbaiki oleh dirinya sendiri lagi, kalau tidak ada sejarah baru dan angkatan pemuda yang baru pula. Dengan tidak melupakan GESTAPU sebagai akibat provokasi Nekolim, PKI itu prakteknya sudah mati bunuh-diri, oleh karenanya secara formal harus dibubarkan. Bagi saya, efek pembubarannya itu yang penting, penting bagi Bung Karno sebagai Kepala Negara, sebagai Presiden agar bisa melangkah maju ke depan, ke seberang sana, daripada kita mandek, umpama-kata, kita terayun-ayun di sebuah jembatan gantung yang tidak sekuat bailey bridge yang Bung Karno sendiri pernah ajarkan pada saya dulu.
"Ya, saya mengerti", kata Bung Karno, "pandangan politik dan siasatmu, Hanafi.
Tapi sebagaimana sudah saya katakan saya memerlukan keadaan tenang, stop dulu rongrongan demonstrasi- demonstrasi itu, supaya tindakan kebijaksanaan bisa keluar dari Presidennya sendiri, tidak karena terdesak oleh demonstrasi".
"Bung ...", saya berkata,"kalau tergantung sama saya, sekarang juga akan saya stop. Tapi yang menggerakkan demonstrasi- demonstrasi itu ialah KOSTRAD, antara lain buktinya demonstrasi yang mau menerjang Sidang Kabinet di Istana Bogor tanggal 15 Januari, beberapa hari yang lalu. Dan ,KOSTRAD itu ialah Soeharto."
Siapa itu Letjen Soeharto? Dia sebenarnya adalah orang dari GESTAPU itu sendiri, yang memberi greenlight kepada Abdul Latief untuk bergerak di malam hari 30 September untuk membunuh Jendral Yani dan jendral-jendral lainnya, anggota apa yang disebutnya 'Dewan-Jendral' itu. Dan yang kemutlian segera dia 'berlagak' seperti tidak tahu apa-apa, seperti tidak campur tangan sama sekali, lalu pagi-pagi sekali tanggal 1 Oktober berbalik menggasak orang-orang GESTAPU itu, padahal yang sebenarnya dia kenali semua dan mengetahui semua rencananya.Teman-temannya orang GESTAPU, lalu berteriak 'maling teriak maling' siapa lagi yang dimaksudkannya kalau bukan Letjen Soeharto itu? Mereka itu belum berani atau tidak berani berterus-terang menunjuk hidung Soeharto, karena mengira dan mengharap bahwa Letjen Soeharto akan masih punya moral dan setiakawan terhadap kawan-komplotannya GESTAPU itu. Itulah kegoblokan mereka itu.Tentu saja sia-sia. Nanti apabila Latief di-Mahmilubkan, saya ingin tahu, apakah dia masih punya 'nyali', keberanian untuk bicara terus-terang tentang persekongkolan Letjen Soeharto dengan mereka GESTAPU itu? Saya kira sekarang cukup jelas bagi Bung Karno sementara ini. Ataukah Bung akan masih mengira Soeharto akan tetap setia pada Bung? Kalau Soeharto akan tetap menjunjung Presiden dan Panglima Tertingginya, saya akan bantu dia sepenuhnya. Sikap saya selanjutnya bagaimana sikap Soeharto terhadap Presiden Sukarno! Bersetia kepada Bung Karno adalah sikap seorang Republiken.
Kembali pada soal pembubaran PKI, saya berpendapat sebaiknyalah Bung Karno melalui rapat-mufakat dengan semua Partai Politik dan ABRI bersama-sama, mempositifkan keputusan itu yang memang adalah wewenang Kepala Negara, sesuai dengan UUD'45. Semua partai-partai politik dibubarkan atau lebih tepat dibenahi (redress) untuk beberapa bulan saja, kemudian dibangun kembali, kecuali PKI. Situasi Nasional dan internasional pada umumnya tidak memperkenankan lagi adanya PKI. Adanya PKI di masa ini, oleh sebab Peristiwa GESTAPUnya itu, membuat Bung Karno sudah langsung berhadapan (berkonfrontasi) dengan ABRI. Untuk bisa keluar dari tragedi yang gawat ini, tidak ada jalan lain keculi melalui PEMBUBARAN PKI.
Bung Karno berpendapat: "Tapi kita akan mengadakan CONEFO pada bulan Oktober 1966 yang akan datang ini. Kamu sudah mendengar laporan Brigjen Suprayogi, bahwa Gedung CONEFO itu akan segera selesai memerlukan biaya hanya dua ratus ribu dol- lar lagi. Pembubaran PKI sekarang akan membuat effek politically tidak menguntungkan bagi Republik Indonesia sebagai tuan rumah".
Bung Karno tampak masygul. Saya pun terdiam. Pikiran di kepalaku cepat berputar. Dalam hatiku, biar pun Bung Karno akan menjadi marah pada saya, tapi apa yang terfikir pada saya, harus saya katakan kepadanya sekarang.
"Bung Karno, saya mohon maaf, kalau saya ini 'kurang-ajar', sebab saya terfikir bahwa keadaan situasi gawat sekarang ini, sebab pokokuya ialah subversi Nekolim, yang membuat PKI terjerumus ke dalam provokasinya, yaitu GESTAPU. Sudah pasti salah satu di antara lain-lain tujuan Nekolim itu mencogah berlangsungnya CONEFO. Oleh karena itu saya heran betul, kok Aidit, kalau ia masih waras, mengapa menjadi keblinger beravontur dengan Biro Khusus-GESTAPUnya Syam Kamaruzaman. Resikonya begitu besar! Sebab CONEFO itu berarti bersatunya seluruh dunia progressif menentang dunia kapitalis, sebelum berlangsung harus dicegah dengan bom yang bernama GESTAPU. CONEFO di bulan Oktober 1966?
Maafkan lagi, Bung! Bung Karno masih ingat sejarah di tahun 1948? Musso mau mengadakan Kongres ke-V PKI di bulan Oktober 1948, untuk mengoreksi PKI yang tidak menyadari bahwa Revolusi kita itu adalah Revolusi Nasional di tanah bekas jajahan yang menuntut persatuan nasional, bukan perpecahan nasional guna menghadapi perang kolonial Belanda dengan sekutunya. Kongres ke-V PKI itu dihambat oleh Peristiwa Madiun. Saya yakin, Bung Karno masih ingat, bahwa Peristiwa Madiun itu adalah suatu Red Drive (usul membasmi golongan merah/komunis) dari Gerard Hopkins dan Merle Cochran,Amerika, dalam Konferensi Sarangan. Sekarang? CONEFO di bulan Oktober yang akan datang itu sudah dihambat oleh GESTAPU. Dulu Kongres ke-V PKI direncanakan oleh Musso pada bulan Oktober juga untuk menyatukan kokuatan Persatuan Nasional, dihambat oleh Peristiwa Madiun. Image PKI itu sudah rusak, dirusak oleh diri mereka sendiri dengan terpe- rangkapnya mereka ke dalam provokasi Nekolim. Hanya mereka yang dogmatik tidak menyadari hal itu. Image serta wibawa Bung Karno juga dirusak oleh GESTAPU lewat cara dan dengan piranti: lagi-lagi provokasi Nekolim. Ini diprofitir oleh Letjen Soeharto untuk mewujudkan ambisi pribadi berkoasa, selanjutnya dia berpraktek sebagai 'centeng' Nekolim. Saya tidak percaya kata-kata manisnya yang memuji Bung Karno sebagai 'Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi yang kita cintai'. Kalau betul, mengapa demonstrasi kontra-revolusioner itu tidak distopnya?"
Saya sudah uraikan fikiran saya kepada Bung Karno seperti di atas, sampai disitu saja. Saya pandang wajahnya yang kesal, barangkali mau marah, matanya besar mendelik pada saya, tapi dia diam tidak berkata apa-apa. Syukur, fikirku, ini kali dia tak memarahi saya "kurang-ajar". Bagiku sudah to be or not to be! Saya senang, saya hormat, tapi ini kali saya tidak boleh takut-takut kepadanya. Saya puas.Apa yang harus kukatakan sudah kuucapkan, sebagai kadernya yang setia, terus-terang, tanpa dédéng aling-aling. Terserahlah. Begitulah, sebagaimana telah kukatakan di muka, . . . Bung Karno tidak memberikan komentar atas uraian saya itu. Malah mengizinkan saya untuk pergi pulang ke Kuba guna menyelesaikan urusan tanggungjawab saya sebagai Duta Besar, yaitu urusan keuangan KBRI Havana, dan mengoreksi soal pencemaran nama Bung Karno, yang termuat di dalam Juventud Rebelde dan Granma.
Dan Bung Karno memerintahkan agar begitu selesai urusan yang itu, saya kembali secepat-cepatnya keJakarta untuk dilantik menjadi Mayor Jendral Tituler, sesuai dengan Amanat Panglima Ahmad Yani, sebelum beliau wafat sebagai Pahlawan akibat korban G 30 S/PKI. Mengenai pengangkatan tersebut, saya terima kawat sandi di KBRI Havana dari Panglima A.Yani kira-kira tiga hari sebelum 1 Oktober 1965, yaitu berhubung dengan kesibukan persiapan HUT ABRI, pengangkatan akan dilaksanakan sebelum 5 Oktober 1965). Oleh karena itu, sesuai dengan pendapat Bung Karno, pengangkatan tersebut akan saya junjung, mengingat penting arti peristiwa arahnya
Mengenai persoalan-persoalan di Havana yang harus saya selesaikan itu, telah saya jelaskan di dalam bagian terdahulu daripada buku ini.
Setelah saya berpisah dengan Bung Karno, pada tanggal 19 Januari 1966, di mana saya telah mengemukakan pendapat dan pandangan saya, seperti knuraikan tersebut di atas, saya menyadari kemudian bahwa saya telan secara spontan, secara tak kusengaja, memancangkan tese-politik, sebagai pendirian dan pandangan politikku yang begitu positif dan terus-terang. Tapi di samping itu timbul pula rasa iba dalam hatiku terhadap Mahaguru dan Pemimpin Besar saya itu. Saya merasakan bahwa dia kehilangan seorang kawan seperti saya di dalam keadaan dan situasi yang mencengkam. Kalau saya sebagai seorang kader politik saja sudah merasakan bagaimana beratnya situasi yang mencengkam itu, apalagi beliau yang begitu besar tanggungjawab dan cita-citanya terhadap negara dan bangsanya yang dicintainya dengan seluruh jiwa raganya.
"Alleen eenden zwemmen bijéén, de adelaar vliegt alleen ", hanya bebek yang berenang bergerombol, rajawali terbang sendirian di angkasa! Itu dincapkan oleh Bung Karno di masa jayanya. Dalam daya fantasiku, Rajawali atau Garuda Wisnu itu adalah NASAKOM yang tak bisa terbang ke angkasa lagi, telah patah kedua sayapnya oleh panah subversi Nekolim: satu di Peristiwa PRRI/Permesta, dan satu lagi di Peristiwa GESTAPU. Hanya jiwa yang kekeringan fantasi yang tidak melihat tragedi sejarah itu!
Tetapi, tahukah pembaca bagaimana nasibnya Barisan Sukarno? Langsung esok harinya: Minggu 16 Januari 1966, Menpangad Letjen. Suharto mengajak Menko Hankam/Kasad Jendral Nasution, Menpangal Laksdya (L) Martadinata, Menpangau (U) Mulyono Herlambang, dan Menpangak Komjen (P) Sucipto Judodihardjo, - membuat sebuah pernyataan ABRIÄmelarang pembentukan Barisan Sukarno (dengan èmbèl-èmbèl: "dalam arti fisik, karena membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa"). Baiklah sampai di sini. Saya sekarang kembali meneruskan cerita kejadian dalam sidang Kabinet di hari Sabtu 15 Januari 1966 tadi yang tersela oleh selingan tersebut di atas.
Bab XV
Sebelum saya ke Tokyo tersebut, saya telah menasihatkan abang saya Asmara Hadi, sebagai Ketua PARTINDO, agar bersikap low profile terhadap kekuasaan tentara dalam situasi di masa itu. Sebab hujan bencana sedang menimpa kita semua, kita kaum Sukarnois, kita kaum Marhaen. Kalau hujan bencana ini terus-menerus saja tidak berhenti, maka Waduk Jatiluhur itu akan bobol, kita semua akan kebanjiran, umpama kata! Bendung persatuan Nasional yang disebut NASAKOM itu sudah retak dan akan pecah, gara-gara aksi pseudo-revolusioner GESTAPU yang keterlaluan seperti ayam dipotong tanpa kepala.
Maka demikianlah terjadi sementara saya masih diTokyo, Delegasi PARTINDO terdiri dari Ketua Umum Asmara Hadi,Wakil Ketua K.Werdoyo dan Sekjen. Ismuil, menghadap kepada Letjen Soeharto, yaitu pada tanggal 5 Januari 1966.Tujuannya untuk menjalin saling- pengertian dan untuk memupuk kerjasama yang baik.
Saya menyesal sekali, hatiku gemes sekali, tapi apa mau dikata, barangkali seperti kata orang"sudah suratan nasib".Andai kata saya tidak pergi jauh ke Kuba, jauh dari Bung Karno, jauh dari Tanah Air, barangkali bencana GESTAPU ini tidak akan bisa terjadi. Sebab D.N.Aidit (Ketua PKI) itu, saya kenal sojak dari masa mudanya, sebelum dia tahu arti pergerakan nasional yang sesungguhnya. Janganlah ada orang yang tergesa-gesa menimpa dengan kata-kata, sok politik internasional:"Jangan lupa bahwa kita ini adalah korban saja dari konflik dunia yang tumpang-tindih, antara tiga pola kekuatan USA-Uni Sovyet-RRC. Seakan-akan seseorang individu tak punya arti apa-apa.Walaupun saya bukan dan tidak mau menjadi anggota PKI, namun hubungan pribadi kami selalu erat, barangkali lebih daripada seperti saudara kandung. Saya tahu benar kelebihan dan kelemahan sifat-sifat pribadinya. Saya punya wibawa, berani tegas-tegas mencela kekeliruannya dan menasihatinya. Misalnya, sejak Affair Madiun (Peristiwa Madiun), hampir semua tokoh PKI sinis, marah, benci kepada Bung Karno. Kalau Peringatan Proklamasi 17 Agustus 45, sikap mereka ekslusif, menyendiri. Sekali Aidit berpidato dalam rapat umum di Semarang. Untuk menarik massa, lukisan gambar besar Bung Karno dipasang di atas podium, ketika Aidit naik ke podium untuk berpidato, gambar lukisan yang besar itu dikesampingkan ke pinggir. Kemudian Aidit sendiri dengan bangga hati menunjukkan kepada saya foto di mana dia berpidato itu dan tampak lukisan itu di belakangnya, dikesampingkan. Saya bilang: "Lu goblok,jangan jadi 'Si Maling Kundang, Anak Durhaka, nanti lu jadi batu etc.etc...." Sejak dari sana sikap mereka mulai berubah, Aidit tidak mau berlagak-lagak lagi pada saya. Mereka mulai sadar, kembali ke pangkuan nasional.
Ada satu peribahasa, peribahasa Sumatra:"Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna". Peribahasa ini telah berlaku atas diri saya.
Tetapi oleh karena itu, di dalam buku ini saya terpaksa membuka cerita apa yang saya ketahui dan saya alami, maka sampai terjadi "hujan bencana nasional", akibat bobolnya bendungan waduk persatuan nasional yang bermuara ke lautan kudeta .... Letnan Jendral Soeharto. Pada umumnya bagian terbesar rakyat Indonesia dengan menggunakan segala pancainderanya sudah bisa meraba dan merasakan mengapa GESTAPU/PKI mereservir Letjen Soeharto tidak dibunuh mati seperti Panglima AYani dan 5 Jendral lainnya. Hanya saja bukanlah mereka itu tidak berani, bukan, tapi karena tidak ada jaminan demokrasi, keadilan dan HAM berdasarkan UUD '45 dan Pancasila. Hal demikian itu akan berakibat ledakan-ledakan terhadap Orde Baru, tidak bisa tidak, sekali pun Presiden Soeharto menggunakan atau menyalah-gunakan 450.000 ABRI di belakangnya itu. Dengan bermaksud baik saya telah memberikan peringatan prodeo dengan buku saya Menteng 31, tetapi ternyata seperti bicara dengan orang tuli-pekak, budeg! Saya telah melemparkan "pelampung" baginya dengan buku itu, supaya bertobat kepada Tuhan, kepada Bangsanya, kepada tumpukan dolarnya, dan keluarganya. Tapi dia sendiri yang mau kelebu, tenggelam. Dan bersama dia pasti kelebu pula Orde Baru!
Untuk sampai pada kesimpulan eksak, bahwa Letjen Soeharto itulah yang punya ambisi mengadakan kudeta dengan menggunakan GESTAPU, tidak usah dulu dicari hal-hal yang terlalu jauh ke belakang (sejarah kontaknya dengan kaum kiri) seperti perjum- paannya dengan Pak Musso dan saudara Sumarsono waktu sebermula terjadinya Affair Madian di kota Madiun. Teliti sajalah dulu baik- baik segala sikap dan langkah-langkahnya sekitar hari-hari 1 Oktober '65, waktu terjadi Peristiwa GESTAPU, hingga 11 Maret 1966 yang dimulai dengan "SUPERSEMAR" (Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966). Periksa dan telitilah pula baik-baik bagaimana terjadinya proses kelicikan Letjen Soeharto untuk mendapatkan SUPER- SEMAR itu. Itulah puncak insubordinasi seorang jendral kepada PanglimaTertinggi, satu kudeta! Sesuai tata-tertib dan doktrin militer dia sudah harus dieksekusi. Tegen de muur dengan duabelas peluru!
Para pembaca yang terhormat.
Sebelum kita sampai kepada puncaknya sejarah, kudeta Soeharto yang menyalah-gunakan SUPERSEMAR secara licin dan licik, izinkanlah saya mengajak, menuntut para pembaca menaiki tingkat- tingkat serta liku-likunya siasat yang dipakai Letjen Soeharto yang bukan saja punya naEsu, ambisi yang tak terbatas, tetapi juga sebagai seorang Indonesia asal Jawa, tak punya rasa tepo seliro samasekali terhadap Presiden/Panglima Tertingginya, begitu juga terhadap atasannya yang langsung:Jendral A.H. Nasution, apalagi! Dikibulin mentah-mentah! Balas-dendam Peristiwa"barter Semarang" di mana dia Soeharto, Panglima Jawa Tengah (Divisi Diponegoro), sebagai hukumannya dicopot sebagai Panglima Diponegoro, dimutasi, kemudian dimasukkan ke SESKOAD di Bandung.
Mari kita ikuti Jejak Langkah Pak Harto, buku yang disusun oleh G. Dwipayana dan Nazaruddin Sjamsuddin. Di mana perlu akan saya beri komentar, sebab saya masih ada di Jakarta di hari-hari itu.
Senin, 10 Januari 1966. Peristiwa hari tersebut, sudah saya beri komentar di halaman terdahulu, sehubungan dengan "Demonstrasi Pemuda Kontra-Revolusioner Menyerbu Deparlu
Selasa, 1l Januari 1966. Ketika melantik Laksda (U) H. Mohammad Soejono sebagai Duta Besar RI untuk Syria, hari ini, Presiden Sukarno telah memerintahkanWaperdam I/ Menlu Dr. Subandrio untuk mengusir semua wartawan AS dari Indonesia.Alasan pengu- siran itu adalah karena tulisan-tulisan mereka selalu menyakitkan hati kita. Kemudian Subandrio1) menjelaskan bahwa wartawan- wartawan yang diusir itu adalah dari UPI,AP, dan NewYorkTimes, selanjutnya semua kantor mereka akan ditutup pula.
Rabu, 12Januari 1966. Menko/Ketua DPR-GR Arudji Kartawinata telah menyampaikan sebuah Resolusi KAMI kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka, malam ini. Resolusi mahasiswa tersebut menuntut dibubarkannya PKI yang menjadi dalang dan pelaksana G30S, dan mencabut keputusan pemerintah tentang kenaikan harga."
Komentar saya. Seyogyanyalah Pak Arudji sebagai Ketua DPR-GR memanggil Sidang DPR-GR lebih dahulu untuk menilai dan mempertimbangkan resolusi mahasiswa itu. Tidaklah seharusnya menempatkan dirinya sebagai "kacung" mahasiswa KAMI tersebut.
Kamis, 13 Januari 1966. Menpangad Letjen Soeharto mengatakan bakwa masalah ekonomi yang multi-kompleks ini tidak mungkin diselesaikan secara ekonomis-teknis saja, melainkan juga dengan mendengarkan suara hati rakyat dan kenyatoan obyektf kehidupan rakyat.2) Hal ini dikemukakannya dalam amanat tertulisnya pada pekan ceramah di UI hari ini. Pada kesempatan ini pulaJendral Soeharto menilai demonstrasi mahasiswa sebagai spontanitas dan kontrol sosial para mahasiswa atas penderitaan rakyat.
Bab XIV
Di Atas Jembatan Gantung
Kalau badan dan umur sudah menjadi tua, bagaikan matahari yang dari pantai kelihatan pada sore hari akan terbenam ke lautan, banyaklah kenangan di masa silam muncul kembali dari dalam ingatan.
Teringat saya akan masa saya masih bocah, belum masuk ke sekolah dasar, di desa kelahiran saya di Marga Ulu Talo. Di atas sebuah anak-sungai, tergantung sebuah jembatan gantung yang dibuat oleh penduduk dari tali ijuk dan potongan bambu yang tersusun-susun, yang dapat digunakan orang untuk menyeberangi jurang kecil itu, kalau tanpa membawa barang yang berat-berat. Tapi pernah beberapa kali, di kala hujan lebat beberapa hari tak berhenti, jembatan itu menjadi terputus dan hanyut oleh air kali kecil yang berubah menjadi air sungai yang besar dan membanjir. Namun karena itu merupakan kebutuhan hidup bersama, orang dusun pun bergotong-royong membuat lagi jembatan gantung yang baru dan lebih diperkuat, walaupun tidak akan sekuat jembatan model Bailey yang betul-betul. Kalau orang berjalan di atas jembatan gantung itu, mesti berjalan pelahan-lahan, mengikuti ritme ayunan jembatan agar tidak terjatuh. Saya dengan anak-anak sekampung suka juga bermain-main dengan ayunan jembatan itu.
Sesudah terjadi peristiwa demonstrasi pemuda-mahasiswa yang merangsek ke dalam pekarangan Istana Bogor pada l5 Januari 1966, ketika sedang berlangsung Sidang Kabinet yang diperluas, saya jadi sentimental, terkenang akan jembatan gantung di kampungku di masa kanak-kanak. Keadaan di Jakarta tambah kacau, demonstrasi hampir terjadi setiap hari dan bertambah galak. Aksi-aksi penggembosan mobil yang dilakukan di jalanan menghambat lalu- lintas. Polisi penjaga keamanan lalu-lintas menjadi kewalahan, juga menjadi takut, takut dicap GESTAPU, dan GESTAPU itu di- identikkan dengan komunis. Sebuah kabar tersiar, yang mengatakan "sudah ada empat orang Pemuda Rakyat di Tanah Abang yang ditemukan orang tergantung mati di pohon". Sudah ada poster yang menuntut "Gantung D.N.Aidit dan konco-konconya!", "Bubarkan PKI!" dan lain sebagainya.
Mewaspadai keadaan situasi yang tambah meningkat hangat dan kacau itu, saya terkenang kembali pada jembatan gantung dari bambu dan tali ijuk atau tali akar-rambat di kampungku tersebut di atas. Saya sudah waspada akan ada bencana banjir datang mengamuk. Saya, Bung Karno dan Chaerul Saleh dan semua kaum Sukarnois akan dihanyutkannya ke lautan sejarah, apabila tidak cepat berlalu ke seberang dari "jembatan gantung" itu. Jembatan gantung itu dalam fantasiku adakan political solution yang telah saya usulkan: "Redress semua partai politik, kemudian bangunkan kembali, tanpa PKI".Tegasnya ialah pembubaran PEtI. PKI sudah menjadi "kartu mati". Dua sayap dari Rajawali Nasakom sudah patah, kebrangesan di kuali subversi Nekolim:
golongan A dan Kom.Ternyata A.Yani benar, mestinya jangan nasakom, tapi nasasos! Sedangkan golongan "nas" terjangkit penyakit anemia, kekurangan darah.
Saya mewaspadai, bahwa situasi yang kacau itu tidak mungkin terjadi tanpa dihasut dan dibacking oleh tentara yang de facto sudah kuasai oleh Letjen Soeharto. Sedangkan Menko Menpangad Jendral A.H. Nasution olehnya sudah dikepinggirkan sejak kejadian 1 Oktober 1965, een brutale overrompeling, tindakan dadakan yang kurang ajar.
Dalam ilmu strategi peperangan modern, sebelum serangan umum dilancarkan, serangan psywar (perang urat-syaraf) digerakkan terlebih dahulu. Psywar itu sudah bertambah luas sejak 1 Oktober 1965, meningkat ke demonstrasi Depadu, meningkat lagi ke demonstrasi di Istana Bogor dan dikembangkan, diperluas dengan berbagai isu yang serem-serem. Sedangkan di daerah-daerah diJawa Tengah, di Jawa Timur, di Bali dan di Sumatra Utara dan lain-lain di luar Ibu KotaJakarta berlangsung pembunuhan kejam dan bengis terhadap satu juta rakyat yang dituduh komunis yang dituduh berinindikasi PKI dan lain sebagainya. Semua itu mengingatkan kita pada kejadian dan cara-cara Nazi Hitler ketika melaksanakan pembunuhan kaum Yahudi di masa Perang Dunia ke-lI. Tetapi ternyata cara mereka yang kena hasut "anti-komunis dan GESTAPU" itu lebih biadab dalam melampiaskan dendam-kesumatnya. Offensif psywar menggasak otak dan pikiran orang, oer-instinct orang yang bersifat kebinatangan itu dihidup-hidupkan dan diarahkan ke tujuannya, balas-dendam kepada GESTAPU/PKI yang membunuh jendral-jendral DewanJendral, tanpa ada kecurigaan .... Mengapa masih ada satu jendral yang direservir tidak dibunuh juga?
Pertanyaan inilah yang akan saya berikan jawaban dan penjelasannya di dalam buku ini.
Sementara itu di dalam beberapa pasal atau bagian saya sudah mulai singgung ke arah maksud tersebut. Begitu juga selanjutnya.
Tidak ada sesuatu apapun yang ampuh, yang kebal, yang invul- nerable terhadap serangan, aksi dan kampanye psywar dari politik kaum neo-kolonialisme. Baik partai-partai, organisasi-organisasi sosial, organisasi keagamaan, atau pun kebudayaan, sekalipun Angkatan Bersenjata yang solid hierarkinya, juga tidak bisa tidak ditembus oleh serangan psywar yang beraksi laksana virus yang tidak kelihatan.Yang hanya bisa bertahan dan kebal menahan serangan itu hanya senjata ideologi nasional yang tajam dan setiap waktu diasah oleh pemimpin partainya atau organisasinya yang cakap, arif dan bijaksana. Dus, jadinya ideologi nasional kontra ideologi kolonial, kolonial baru atau Nekolim. Dus, soal politik! Persoalan tetap berada di situ, bergerak tapi tidak berubah, itulah fenomena dialektika sejarah sejak dahulu kala, sojak masyarakat mengenal kebangsaan etc. etc.
Bangsa Indonesia beruntung memiliki Pemimpin Nasional seperti Bung Karno. Tapi sayangnya tidak semua, tidak banyak yang bisa menginsafi arti penting beliau itu di dalam perkembangan hidup kebangsaan kita. Sebabnya kembali pada kurang mendalamnya kesadaran nasional yang larrgsung bersangkut-paut pula dengan keadaan perkembangan internasional. Masing-masing partai politik di negeri kita punya kelemahan sendiri-sendiri, masing-masing punya kelemahan yang berakar jauh di dalam bumi masyarakat kita sendiri, yang langsung menyangkut masalah pokok: ideologi dan Organisasi.
Hal-hal tersebut di atas merupakan problem-problem yang dimintakan dengan sangat, diharapkan dengan sangat supaya menjadi perhatian bagi generasi penerus perjuangan cita-cita Proklamasi!
Dua hari sesudah terjadi Sidang Kabinet di Istana Bogor, yang dikepung oleh demonstrasi pemuda KAMI dan KAPPI seperti telah diuraikan di atas, saya menghadapi dua persoalan penting yang mendesak saya agar kembali ke pos saya di Kuba.
Pertama, kawat sandi dari Sekretaris KBRI Mohamad Hatta, yang meminta saya segera pulang oleh karena Sekretaris II Keuangan, saudara Rustamadji, tidak bisa mengambil uang dari Bank di Mexico, sebab memerlukan contra-sign dari saya sebagai Duta Besar. Peraturan bahwa Duta Besar sendiri, atau Sekretaris Keuangan tidak boleh mengambil dan mengeluarkan keuangan sendiri-sendiri itu mulai dikeluarkan di masa Kabinet KaryaJuanda ke-I, ketika saya menjadi Menteri. Keputusan itu diambil berdasar pengalaman di masa Pemberontakan PRRI/Permesta, ketika Mr. Rasjid sebagai Duta Besar R.I. di Roma membawa lari uang untuk pembelian kapal- kapal dari Yugoslavia.
Kedua, saya menerima tilpon dari isteri saya di Havana, mendesak agar saya segera pulang, karena telah terjadi pencemaran nama Bung Karno di sekitar hari-hari bersidangnya Konferensi Tricontinental, mengenai adanya tulisan berupa artikel yang dimuat di surat kabar Juventud Rebelde dan Granma. Mengingat bahwa kedua surat kabar tersebut berhubungan langsung dengan Pemerintah Kuba, hal mana berarti telah merusak keserasian hubungan diplomatik antara R.l. dengan Republik Kuba yang telah kita bina dengan segala usaha persahabatan dari kedua belah pihak selama ini. Hal itu disebabkan oleh adanya keterangan yang tidak benar, tidak obyektif mengenai Persitiwa GESTAPU dari orang-orang Indonesia yang datang dari Mesir dan Peking yang menyebut dirinya "Delegasi Indonesia" untuk Konferensi Tricontinental. Sedangkan Delegasi yang dikirim oleh Bung Karno langsung dari Jakarta, yang diketuai oleh Brigjen Latief Hendraningrat, sampai tidak diterima. Hal tersebut telah saya uraikan jelas di bagian yang terdahulu.
Maka pergilah saya menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka untuk menjelaskan apa yang telah terjadi di Havana sementara saya berada di Jakarta. Saya minta agar Bung Karno memperkenankan saya pulang dulu ke Kuba guna memperbaiki salah-pengertian di pihak Kuba atas situasi yang terjadi,yaitu bahwa Presiden Sukarno, sesuai dengan harapan pribadi Fidel Castro di dalam suratnya, telah dan sedang terus berusaha sedapat-dapatnya menegakkan kembali wibawanya, mengatasi kemelut hebat yang sedang menimpa negara R.T. dan bangsa Indonesia. Dan bahwa Bung Karno tidaklah berpangku tangan atas pembantaian satu juta rakyat, seperti berita palsu yang sampai di Havana. Bung Karno mengizinkan, karena beliau memaklumi akan tugas kewajiban yang saya pikul, akan tetapi minta dengan sangat agar saya segera kembali ke Jakarta lagi untuk menerima pengangkatan sebagai MayorJendral Tituler, sesuai dengan Amanat Panglima AchmadYani sebelum wafat menjadi korban GESTAPU.Maka pergilah saya menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka untuk menjelaskan apa yang telah terjadi di Havana sementara saya berada di Jakarta. Saya minta agar Bung Karno memperkenankan saya pulang dulu ke Kuba guna memperbaiki salah-pengertian di pihak Kuba atas situasi yang terjadi,yaitu bahwa Presiden Sukarno, sesuai dengan harapan pribadi Fidel Castro di dalam suratnya, telah dan sedang terus berusaha sedapat-dapatnya menegakkan kembali wibawanya, mengatasi kemelut hebat yang sedang menimpa negara R.T. dan bangsa Indonesia. Dan bahwa Bung Karno tidaklah berpangku tangan atas pembantaian satu juta rakyat, seperti berita palsu yang sampai di Havana. Bung Karno mengizinkan, karena beliau memaklumi akan tugas kewajiban yang saya pikul, akan tetapi minta dengan sangat agar saya segera kembali ke Jakarta lagi untuk menerima pengangkatan sebagai MayorJendral Tituler, sesuai dengan Amanat Panglima Achmad Yani sebelum wafat menjadi korban GESTAPU.
Mendengar keputusan Bung Karno sebagai Presiden/Panglima Tertinggi ABRI itu, hati saya menjadi sangat terharu.Terasa benar padaku di dalam hati, bahwa beliau itu kehilangan kawan untuk dijadikan teman dalam menghadapi situasi yang begitu gawat dan kehilangan Panglima A.Yani, di mana sebetulnya saya bisa menjadi kawannya dalam keadaan dan situasi seperti itu. Apalagi kemarin, hari Minggu 16 Januari, atas desakan Letjen Soeharto tentu saja, ABRI telah melarang pembentukan Barisan Sukarno. Lihatlah, apakah itu bukan tantangan brutal, creeping coup d'etat dari Soeharto?! Sebelum Bung Karno memberikan keputusannya seperti di atas tersebut, saya telah menggunakan kesempatan mengemakakan kemasygulan saya (kalau tidak bisa dikatakan penyesalan atau kejengkelan hati saya) mengapa beliau di dalam Sidang Kabinet di Istana Bogor pada tanggal 15 Januari, yaitu dua hari yang lalu, tidak juga mengumumkan political solution beliau sendiri, baik memodulir usul saya itu atau tidak, tapi pokoknya, mengumumkan pemecahan yang bersangkutan dengan pembubaran PKI? Sebab bagi saya, sebagai seorang Marhaenis revolusioner yang tumbuh dari pemuda pejuang radikal, melihat pada PKI sebagai satu partai pelopor yang telah melakukan kesalahan politik yang amat besar, yang tidak mungkin diperbaiki oleh dirinya sendiri lagi, kalau tidak ada sejarah baru dan angkatan pemuda yang baru pula. Dengan tidak melupakan GESTAPU sebagai akibat provokasi Nekolim, PKI itu prakteknya sudah mati bunuh-diri, oleh karenanya secara formal harus dibubarkan. Bagi saya, efek pembubarannya itu yang penting, penting bagi Bung Karno sebagai Kepala Negara, sebagai Presiden agar bisa melangkah maju ke depan, ke seberang sana, daripada kita mandek, umpama-kata, kita terayun-ayun di sebuah jembatan gantung yang tidak sekuat bailey bridge yang Bung Karno sendiri pernah ajarkan pada saya dulu.
"Ya, saya mengerti", kata Bung Karno, "pandangan politik dan siasatmu, Hanafi.
Tapi sebagaimana sudah saya katakan saya memerlukan keadaan tenang, stop dulu rongrongan demonstrasi- demonstrasi itu, supaya tindakan kebijaksanaan bisa keluar dari Presidennya sendiri, tidak karena terdesak oleh demonstrasi".
"Bung ...", saya berkata,"kalau tergantung sama saya, sekarang juga akan saya stop. Tapi yang menggerakkan demonstrasi- demonstrasi itu ialah KOSTRAD, antara lain buktinya demonstrasi yang mau menerjang Sidang Kabinet di Istana Bogor tanggal 15 Januari, beberapa hari yang lalu. Dan ,KOSTRAD itu ialah Soeharto."
Siapa itu Letjen Soeharto? Dia sebenarnya adalah orang dari GESTAPU itu sendiri, yang memberi greenlight kepada Abdul Latief untuk bergerak di malam hari 30 September untuk membunuh Jendral Yani dan jendral-jendral lainnya, anggota apa yang disebutnya 'Dewan-Jendral' itu. Dan yang kemutlian segera dia 'berlagak' seperti tidak tahu apa-apa, seperti tidak campur tangan sama sekali, lalu pagi-pagi sekali tanggal 1 Oktober berbalik menggasak orang-orang GESTAPU itu, padahal yang sebenarnya dia kenali semua dan mengetahui semua rencananya.Teman-temannya orang GESTAPU, lalu berteriak 'maling teriak maling' siapa lagi yang dimaksudkannya kalau bukan Letjen Soeharto itu? Mereka itu belum berani atau tidak berani berterus-terang menunjuk hidung Soeharto, karena mengira dan mengharap bahwa Letjen Soeharto akan masih punya moral dan setiakawan terhadap kawan-komplotannya GESTAPU itu. Itulah kegoblokan mereka itu.Tentu saja sia-sia. Nanti apabila Latief di-Mahmilubkan, saya ingin tahu, apakah dia masih punya 'nyali', keberanian untuk bicara terus-terang tentang persekongkolan Letjen Soeharto dengan mereka GESTAPU itu? Saya kira sekarang cukup jelas bagi Bung Karno sementara ini. Ataukah Bung akan masih mengira Soeharto akan tetap setia pada Bung? Kalau Soeharto akan tetap menjunjung Presiden dan Panglima Tertingginya, saya akan bantu dia sepenuhnya. Sikap saya selanjutnya bagaimana sikap Soeharto terhadap Presiden Sukarno! Bersetia kepada Bung Karno adalah sikap seorang Republiken.
Kembali pada soal pembubaran PKI, saya berpendapat sebaiknyalah Bung Karno melalui rapat-mufakat dengan semua Partai Politik dan ABRI bersama-sama, mempositifkan keputusan itu yang memang adalah wewenang Kepala Negara, sesuai dengan UUD'45. Semua partai-partai politik dibubarkan atau lebih tepat dibenahi (redress) untuk beberapa bulan saja, kemudian dibangun kembali, kecuali PKI. Situasi Nasional dan internasional pada umumnya tidak memperkenankan lagi adanya PKI. Adanya PKI di masa ini, oleh sebab Peristiwa GESTAPUnya itu, membuat Bung Karno sudah langsung berhadapan (berkonfrontasi) dengan ABRI. Untuk bisa keluar dari tragedi yang gawat ini, tidak ada jalan lain keculi melalui PEMBUBARAN PKI.
Bung Karno berpendapat: "Tapi kita akan mengadakan CONEFO pada bulan Oktober 1966 yang akan datang ini. Kamu sudah mendengar laporan Brigjen Suprayogi, bahwa Gedung CONEFO itu akan segera selesai memerlukan biaya hanya dua ratus ribu dol- lar lagi. Pembubaran PKI sekarang akan membuat effek politically tidak menguntungkan bagi Republik Indonesia sebagai tuan rumah".
Bung Karno tampak masygul. Saya pun terdiam. Pikiran di kepalaku cepat berputar. Dalam hatiku, biar pun Bung Karno akan menjadi marah pada saya, tapi apa yang terfikir pada saya, harus saya katakan kepadanya sekarang.
"Bung Karno, saya mohon maaf, kalau saya ini 'kurang-ajar', sebab saya terfikir bahwa keadaan situasi gawat sekarang ini, sebab pokokuya ialah subversi Nekolim, yang membuat PKI terjerumus ke dalam provokasinya, yaitu GESTAPU. Sudah pasti salah satu di antara lain-lain tujuan Nekolim itu mencogah berlangsungnya CONEFO. Oleh karena itu saya heran betul, kok Aidit, kalau ia masih waras, mengapa menjadi keblinger beravontur dengan Biro Khusus-GESTAPUnya Syam Kamaruzaman. Resikonya begitu besar! Sebab CONEFO itu berarti bersatunya seluruh dunia progressif menentang dunia kapitalis, sebelum berlangsung harus dicegah dengan bom yang bernama GESTAPU. CONEFO di bulan Oktober 1966?
Maafkan lagi, Bung! Bung Karno masih ingat sejarah di tahun 1948? Musso mau mengadakan Kongres ke-V PKI di bulan Oktober 1948, untuk mengoreksi PKI yang tidak menyadari bahwa Revolusi kita itu adalah Revolusi Nasional di tanah bekas jajahan yang menuntut persatuan nasional, bukan perpecahan nasional guna menghadapi perang kolonial Belanda dengan sekutunya. Kongres ke-V PKI itu dihambat oleh Peristiwa Madiun. Saya yakin, Bung Karno masih ingat, bahwa Peristiwa Madiun itu adalah suatu Red Drive (usul membasmi golongan merah/komunis) dari Gerard Hopkins dan Merle Cochran,Amerika, dalam Konferensi Sarangan. Sekarang? CONEFO di bulan Oktober yang akan datang itu sudah dihambat oleh GESTAPU. Dulu Kongres ke-V PKI direncanakan oleh Musso pada bulan Oktober juga untuk menyatukan kokuatan Persatuan Nasional, dihambat oleh Peristiwa Madiun. Image PKI itu sudah rusak, dirusak oleh diri mereka sendiri dengan terpe- rangkapnya mereka ke dalam provokasi Nekolim. Hanya mereka yang dogmatik tidak menyadari hal itu. Image serta wibawa Bung Karno juga dirusak oleh GESTAPU lewat cara dan dengan piranti: lagi-lagi provokasi Nekolim. Ini diprofitir oleh Letjen Soeharto untuk mewujudkan ambisi pribadi berkoasa, selanjutnya dia berpraktek sebagai 'centeng' Nekolim. Saya tidak percaya kata-kata manisnya yang memuji Bung Karno sebagai 'Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi yang kita cintai'. Kalau betul, mengapa demonstrasi kontra-revolusioner itu tidak distopnya?"
Saya sudah uraikan fikiran saya kepada Bung Karno seperti di atas, sampai disitu saja. Saya pandang wajahnya yang kesal, barangkali mau marah, matanya besar mendelik pada saya, tapi dia diam tidak berkata apa-apa. Syukur, fikirku, ini kali dia tak memarahi saya "kurang-ajar". Bagiku sudah to be or not to be! Saya senang, saya hormat, tapi ini kali saya tidak boleh takut-takut kepadanya. Saya puas.Apa yang harus kukatakan sudah kuucapkan, sebagai kadernya yang setia, terus-terang, tanpa dédéng aling-aling. Terserahlah. Begitulah, sebagaimana telah kukatakan di muka, . . . Bung Karno tidak memberikan komentar atas uraian saya itu. Malah mengizinkan saya untuk pergi pulang ke Kuba guna menyelesaikan urusan tanggungjawab saya sebagai Duta Besar, yaitu urusan keuangan KBRI Havana, dan mengoreksi soal pencemaran nama Bung Karno, yang termuat di dalam Juventud Rebelde dan Granma.
Dan Bung Karno memerintahkan agar begitu selesai urusan yang itu, saya kembali secepat-cepatnya keJakarta untuk dilantik menjadi Mayor Jendral Tituler, sesuai dengan Amanat Panglima Ahmad Yani, sebelum beliau wafat sebagai Pahlawan akibat korban G 30 S/PKI. Mengenai pengangkatan tersebut, saya terima kawat sandi di KBRI Havana dari Panglima A.Yani kira-kira tiga hari sebelum 1 Oktober 1965, yaitu berhubung dengan kesibukan persiapan HUT ABRI, pengangkatan akan dilaksanakan sebelum 5 Oktober 1965). Oleh karena itu, sesuai dengan pendapat Bung Karno, pengangkatan tersebut akan saya junjung, mengingat penting arti peristiwa arahnya
Mengenai persoalan-persoalan di Havana yang harus saya selesaikan itu, telah saya jelaskan di dalam bagian terdahulu daripada buku ini.
Setelah saya berpisah dengan Bung Karno, pada tanggal 19 Januari 1966, di mana saya telah mengemukakan pendapat dan pandangan saya, seperti knuraikan tersebut di atas, saya menyadari kemudian bahwa saya telan secara spontan, secara tak kusengaja, memancangkan tese-politik, sebagai pendirian dan pandangan politikku yang begitu positif dan terus-terang. Tapi di samping itu timbul pula rasa iba dalam hatiku terhadap Mahaguru dan Pemimpin Besar saya itu. Saya merasakan bahwa dia kehilangan seorang kawan seperti saya di dalam keadaan dan situasi yang mencengkam. Kalau saya sebagai seorang kader politik saja sudah merasakan bagaimana beratnya situasi yang mencengkam itu, apalagi beliau yang begitu besar tanggungjawab dan cita-citanya terhadap negara dan bangsanya yang dicintainya dengan seluruh jiwa raganya.
"Alleen eenden zwemmen bijéén, de adelaar vliegt alleen ", hanya bebek yang berenang bergerombol, rajawali terbang sendirian di angkasa! Itu dincapkan oleh Bung Karno di masa jayanya. Dalam daya fantasiku, Rajawali atau Garuda Wisnu itu adalah NASAKOM yang tak bisa terbang ke angkasa lagi, telah patah kedua sayapnya oleh panah subversi Nekolim: satu di Peristiwa PRRI/Permesta, dan satu lagi di Peristiwa GESTAPU. Hanya jiwa yang kekeringan fantasi yang tidak melihat tragedi sejarah itu!
Tetapi, tahukah pembaca bagaimana nasibnya Barisan Sukarno? Langsung esok harinya: Minggu 16 Januari 1966, Menpangad Letjen. Suharto mengajak Menko Hankam/Kasad Jendral Nasution, Menpangal Laksdya (L) Martadinata, Menpangau (U) Mulyono Herlambang, dan Menpangak Komjen (P) Sucipto Judodihardjo, - membuat sebuah pernyataan ABRIÄmelarang pembentukan Barisan Sukarno (dengan èmbèl-èmbèl: "dalam arti fisik, karena membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa"). Baiklah sampai di sini. Saya sekarang kembali meneruskan cerita kejadian dalam sidang Kabinet di hari Sabtu 15 Januari 1966 tadi yang tersela oleh selingan tersebut di atas.
Bab XV
15 Januari 1966 Sidang Kabinet Dikepung Demonstran Letjen Soeharto Kasih Unjuk Siapa Dia
Sebelum kita sampai ke Hari yang penting bersejarah ini, 15Januari 1966, saya ingin mengajak pembaca meninjau kembali kejadian- kejadian sebelumnya, misalnya di antara lain, demonstrasi yang dinamakan Bung Karno demonstrasi pemuda"kontra-revolusioner" yang menyerbu Deparlu pada tanggal l0 Januari 1966,yaitu sehari sesudah saya kembali ke Jakarta lagi dari Tokyo.
Sebelum saya ke Tokyo tersebut, saya telah menasihatkan abang saya Asmara Hadi, sebagai Ketua PARTINDO, agar bersikap low profile terhadap kekuasaan tentara dalam situasi di masa itu. Sebab hujan bencana sedang menimpa kita semua, kita kaum Sukarnois, kita kaum Marhaen. Kalau hujan bencana ini terus-menerus saja tidak berhenti, maka Waduk Jatiluhur itu akan bobol, kita semua akan kebanjiran, umpama kata! Bendung persatuan Nasional yang disebut NASAKOM itu sudah retak dan akan pecah, gara-gara aksi pseudo-revolusioner GESTAPU yang keterlaluan seperti ayam dipotong tanpa kepala.
Maka demikianlah terjadi sementara saya masih diTokyo, Delegasi PARTINDO terdiri dari Ketua Umum Asmara Hadi,Wakil Ketua K.Werdoyo dan Sekjen. Ismuil, menghadap kepada Letjen Soeharto, yaitu pada tanggal 5 Januari 1966.Tujuannya untuk menjalin saling- pengertian dan untuk memupuk kerjasama yang baik.
Saya menyesal sekali, hatiku gemes sekali, tapi apa mau dikata, barangkali seperti kata orang"sudah suratan nasib".Andai kata saya tidak pergi jauh ke Kuba, jauh dari Bung Karno, jauh dari Tanah Air, barangkali bencana GESTAPU ini tidak akan bisa terjadi. Sebab D.N.Aidit (Ketua PKI) itu, saya kenal sojak dari masa mudanya, sebelum dia tahu arti pergerakan nasional yang sesungguhnya. Janganlah ada orang yang tergesa-gesa menimpa dengan kata-kata, sok politik internasional:"Jangan lupa bahwa kita ini adalah korban saja dari konflik dunia yang tumpang-tindih, antara tiga pola kekuatan USA-Uni Sovyet-RRC. Seakan-akan seseorang individu tak punya arti apa-apa.Walaupun saya bukan dan tidak mau menjadi anggota PKI, namun hubungan pribadi kami selalu erat, barangkali lebih daripada seperti saudara kandung. Saya tahu benar kelebihan dan kelemahan sifat-sifat pribadinya. Saya punya wibawa, berani tegas-tegas mencela kekeliruannya dan menasihatinya. Misalnya, sejak Affair Madiun (Peristiwa Madiun), hampir semua tokoh PKI sinis, marah, benci kepada Bung Karno. Kalau Peringatan Proklamasi 17 Agustus 45, sikap mereka ekslusif, menyendiri. Sekali Aidit berpidato dalam rapat umum di Semarang. Untuk menarik massa, lukisan gambar besar Bung Karno dipasang di atas podium, ketika Aidit naik ke podium untuk berpidato, gambar lukisan yang besar itu dikesampingkan ke pinggir. Kemudian Aidit sendiri dengan bangga hati menunjukkan kepada saya foto di mana dia berpidato itu dan tampak lukisan itu di belakangnya, dikesampingkan. Saya bilang: "Lu goblok,jangan jadi 'Si Maling Kundang, Anak Durhaka, nanti lu jadi batu etc.etc...." Sejak dari sana sikap mereka mulai berubah, Aidit tidak mau berlagak-lagak lagi pada saya. Mereka mulai sadar, kembali ke pangkuan nasional.
Ada satu peribahasa, peribahasa Sumatra:"Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna". Peribahasa ini telah berlaku atas diri saya.
Tetapi oleh karena itu, di dalam buku ini saya terpaksa membuka cerita apa yang saya ketahui dan saya alami, maka sampai terjadi "hujan bencana nasional", akibat bobolnya bendungan waduk persatuan nasional yang bermuara ke lautan kudeta .... Letnan Jendral Soeharto. Pada umumnya bagian terbesar rakyat Indonesia dengan menggunakan segala pancainderanya sudah bisa meraba dan merasakan mengapa GESTAPU/PKI mereservir Letjen Soeharto tidak dibunuh mati seperti Panglima AYani dan 5 Jendral lainnya. Hanya saja bukanlah mereka itu tidak berani, bukan, tapi karena tidak ada jaminan demokrasi, keadilan dan HAM berdasarkan UUD '45 dan Pancasila. Hal demikian itu akan berakibat ledakan-ledakan terhadap Orde Baru, tidak bisa tidak, sekali pun Presiden Soeharto menggunakan atau menyalah-gunakan 450.000 ABRI di belakangnya itu. Dengan bermaksud baik saya telah memberikan peringatan prodeo dengan buku saya Menteng 31, tetapi ternyata seperti bicara dengan orang tuli-pekak, budeg! Saya telah melemparkan "pelampung" baginya dengan buku itu, supaya bertobat kepada Tuhan, kepada Bangsanya, kepada tumpukan dolarnya, dan keluarganya. Tapi dia sendiri yang mau kelebu, tenggelam. Dan bersama dia pasti kelebu pula Orde Baru!
Untuk sampai pada kesimpulan eksak, bahwa Letjen Soeharto itulah yang punya ambisi mengadakan kudeta dengan menggunakan GESTAPU, tidak usah dulu dicari hal-hal yang terlalu jauh ke belakang (sejarah kontaknya dengan kaum kiri) seperti perjum- paannya dengan Pak Musso dan saudara Sumarsono waktu sebermula terjadinya Affair Madian di kota Madiun. Teliti sajalah dulu baik- baik segala sikap dan langkah-langkahnya sekitar hari-hari 1 Oktober '65, waktu terjadi Peristiwa GESTAPU, hingga 11 Maret 1966 yang dimulai dengan "SUPERSEMAR" (Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966). Periksa dan telitilah pula baik-baik bagaimana terjadinya proses kelicikan Letjen Soeharto untuk mendapatkan SUPER- SEMAR itu. Itulah puncak insubordinasi seorang jendral kepada PanglimaTertinggi, satu kudeta! Sesuai tata-tertib dan doktrin militer dia sudah harus dieksekusi. Tegen de muur dengan duabelas peluru!
Para pembaca yang terhormat.
Sebelum kita sampai kepada puncaknya sejarah, kudeta Soeharto yang menyalah-gunakan SUPERSEMAR secara licin dan licik, izinkanlah saya mengajak, menuntut para pembaca menaiki tingkat- tingkat serta liku-likunya siasat yang dipakai Letjen Soeharto yang bukan saja punya naEsu, ambisi yang tak terbatas, tetapi juga sebagai seorang Indonesia asal Jawa, tak punya rasa tepo seliro samasekali terhadap Presiden/Panglima Tertingginya, begitu juga terhadap atasannya yang langsung:Jendral A.H. Nasution, apalagi! Dikibulin mentah-mentah! Balas-dendam Peristiwa"barter Semarang" di mana dia Soeharto, Panglima Jawa Tengah (Divisi Diponegoro), sebagai hukumannya dicopot sebagai Panglima Diponegoro, dimutasi, kemudian dimasukkan ke SESKOAD di Bandung.
Mari kita ikuti Jejak Langkah Pak Harto, buku yang disusun oleh G. Dwipayana dan Nazaruddin Sjamsuddin. Di mana perlu akan saya beri komentar, sebab saya masih ada di Jakarta di hari-hari itu.
Senin, 10 Januari 1966. Peristiwa hari tersebut, sudah saya beri komentar di halaman terdahulu, sehubungan dengan "Demonstrasi Pemuda Kontra-Revolusioner Menyerbu Deparlu
Selasa, 1l Januari 1966. Ketika melantik Laksda (U) H. Mohammad Soejono sebagai Duta Besar RI untuk Syria, hari ini, Presiden Sukarno telah memerintahkanWaperdam I/ Menlu Dr. Subandrio untuk mengusir semua wartawan AS dari Indonesia.Alasan pengu- siran itu adalah karena tulisan-tulisan mereka selalu menyakitkan hati kita. Kemudian Subandrio1) menjelaskan bahwa wartawan- wartawan yang diusir itu adalah dari UPI,AP, dan NewYorkTimes, selanjutnya semua kantor mereka akan ditutup pula.
Rabu, 12Januari 1966. Menko/Ketua DPR-GR Arudji Kartawinata telah menyampaikan sebuah Resolusi KAMI kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka, malam ini. Resolusi mahasiswa tersebut menuntut dibubarkannya PKI yang menjadi dalang dan pelaksana G30S, dan mencabut keputusan pemerintah tentang kenaikan harga."
Komentar saya. Seyogyanyalah Pak Arudji sebagai Ketua DPR-GR memanggil Sidang DPR-GR lebih dahulu untuk menilai dan mempertimbangkan resolusi mahasiswa itu. Tidaklah seharusnya menempatkan dirinya sebagai "kacung" mahasiswa KAMI tersebut.
Kamis, 13 Januari 1966. Menpangad Letjen Soeharto mengatakan bakwa masalah ekonomi yang multi-kompleks ini tidak mungkin diselesaikan secara ekonomis-teknis saja, melainkan juga dengan mendengarkan suara hati rakyat dan kenyatoan obyektf kehidupan rakyat.2) Hal ini dikemukakannya dalam amanat tertulisnya pada pekan ceramah di UI hari ini. Pada kesempatan ini pulaJendral Soeharto menilai demonstrasi mahasiswa sebagai spontanitas dan kontrol sosial para mahasiswa atas penderitaan rakyat.
1) Waperdam l/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio hari ini membantah berita-berita tentang adanya pengiriman missi perdamaian ke Malay- sia, baik oleh pihak militer maupun sipil.
2) Perhatikan: itu ucapan Soeharto tahun 1966. Pada saat menghadapi krisis ekonomi paling gawat dalam sejarah tahun 1997/1998 yang masih berjalan sampai sekarang, dia ingkari ucapannya sendiri. Suara hati rakyat tak perlu didengar! Hanya suara dan pendapatnya yang harus didengar dan dilaksanakan! Krisis sekarang dianggap masalah moneter semata- mata, tidak ada kaitan sama sekali dengan politiknya untuk memuaskan keserakahannya di bidang ekonomi. Heil, Führer Soeharto!
Menko/Ketua DPR-GR Arudji Kartawinata menjelaskan kepada pers hari ini, bahwa Presiden Sukarno mengetahui dan mengerti sepenuhnya isi hati daripada tuntutan para mahasiswa. Dikatakannya pula bahwa Presiden sangat menyesalkan (kursif-AMH) "cara para mahasiswa berdemonstrasi yang mengejek dan melontarkan tuduhan kepada para menteri yang telah bekerja keras untuk mengatasi kesulitan ekonomi dewasa ini." Sebagaimana diketahui, Ketua DPR- GR menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka kemarin.
Komentar saya. Tentang ucapan Soeharto bahwa demonstrasi mahasis- wa "sebagai spontanitas dan kontrol sosial" (kursif dari saya). Kata "spontan" dalam ilmu-hayat (biologi) dipakai untuk menerangkan ucapan atau tindakan yang timbul dari diri-pribadi individu itu sendiri, lepas dari pengaruh pihak luar individu tersebut. Dalam ilmu sosial-politik, yang membagi masyarakat atas dua bagian: bagian atas (pemerintah) yang memerintah dan bagian bawah (rakyat) yang diperintah- kata spontanitas dikenakan pada aksi atau gerakan rakyat, lepas dari hubungan dengan pihak yang memerintah (Pemerintah).
Tetapi di Indonesia sejak 1 Oktober 1965, semua demonstrasi Pemuda dan Mahasiswa yang terorganisasi di dalam KAMI dan KAPPI, adalah digerakkan langsung olehTentara di bawah perintah Letjen Soeharto, yang oleh Presiden Sukarno disebutnya GESTOK. GERAKAN SATU OKTOBER! GESTAPU menjelma menjadi GESTOK. Brigjen Supardjo, Kolonel Untung, Kolonel (U) Sujono mati, mati, mati, semua sudah mati. Tetapi brainnya, dalang di belakang layarnya hidup: Letjen Soeharto.Amanat tertulisnya dalam pekan ceramah di UI, salah satu contohnya menggerakkan demonstrasi pemuda-pemuda itu yang sejak semula sama sekali bukan spontanitas! Perkataan "spontanitas" dipakainya untok mengesankan tidak ada campur-tangan olehnya pada demonstrasi-demonstrasi kontra-revolusioner itu. Kalau mau dibawa kepada soal "kontrol sosial", saluran untuk itu ialah Parlemen (DPR-GR) yang punya legitimasi. Sedangkan suatu demonstrasi sebagai salah satu bentuk kemerdekaan menyatakan pendapat, seharusnya yang berkewajiban menanggapinya di dalam negara-hakum adalah partai atau organisasinya masing-masing yang punya perwakilan di dalam DPR GR (Parlemen) itu. BukanTentara! Sebabnya jelas, Republik Indo- nesia bukan negara militer. Begitu, bukan?!
Selanjutnya, sampailah kita sekarang kepada tanggal 15 Januari 1966. Hari Sabtu. Sidang Kabinet yang diperluas di Istana Bogor, yang juga dikepung oleh demonstrasi pemuda-pemuda dan mahasiswa yang datang diorganisasi bukan saja dari Ibukota, tapi juga dari berbagai kota di Jawa Barat.
Saya hadir pada Sidang Kabinet itu, ikut menyaksikan apa yang terjadi. Beginilah ceritanya: Hari itu (15 Januari 1966) pagi-pagi sekali saya ditilpon oleh saudara Chaerul Saleh,Waperdam /Deputy III, supaya datang ke Istana Bogor berhubung akan ada Sidang Kabinet diperluas hari itu. Dikatakan "diperluas" sebab hadir juga wakil pemuda dan mahasiswa dalam sidang Kabinet itu, katanya. Chaerul pesan kepada saya supaya naik helikopter bersama-sama dengan Dr. J. Leimena (Oom Jo) dari Markas Besar Polisi Jakarta Raya (KAPOLDA) di J1. Jendral Sudirman. Chaerul Saleh dan Subandrio sudah di Bogor sejak kemarin sore.
Ketika akan naik ke` helikopter saya bertanya pada Oom Jo: "Apa belum selesai juga Revolusi kita ini?" OomJo dengan senyum yang spesifik itu menjawab: "Ohoo, nog lang niet, nog lang niet" (Ohooi, belum, masih jauh, masih lama).
Mestinya saya menanyakan atau dia menanyakan kepada saya, mengenai sikap Bung Karno yang meragakan political solution yang pernah saya usulkan kepadanya.Tetapi saya merasakan tak ada suasana untuk menyinggung hal tersebut di saat itu. Namun saya terpancang pada harapan yang dikemukakan Bung Karno dengan mengumumkan sesuatu langkah untuk mencegah atau untok membelokkan banjir bencana yang akan menimpa, mungkin di dalam sidang kabinet "diperluas" hari ini. Nah, kalau tidak juga, apa gunanya saya ditahan, tunggu dulu jangan pulang ke Kuba dulu, sampai saya tidak sempat menghadiri Sidang Tricontinental, sampai tersiar tulisan di koran Juventud Rebelde dan Granma, tulisan yang mencemarkan nama Bung Karno. Demikianlah fikiran yang merasuk ke dalam otakku sementara helikopter melayang di udara menuju Bogor. Saya berdua dengan Oom Jo saja dengan pilotnya di heli itu. Indah sekali letaknya geografis kota Bogor ini tampak dari Udara. Coba, kalau dulu jadi dilaksanakan ide Bung Karno untuk memindahkan Ibu kota ke Bogor ini, dan Jakarta hanya dijadikan kota pelabuhan samudra saja! Saya terkenang ketika saya diikutkan dalam flying tour di masa ide tersebut sedang difikirkan.
Waktu helikopter turun mendarat, sebuah jeep sudah menunggu kedatangan kami. Saya melihat di dalam ruang-sidang semua Menteri dan Kepala Staf ABRI sudah lengkap hadir:Jendral A.H. Nasution Letjen Soeharto dari Angkatan Darat; Laksamana Martadinata Laksamana Ali Sadikin dari Angkatan Laut; Komjen Sutjipto Yudodihardjo dari Kepolisian dan dari AURI saya belum kenal. Juga yang dikatakan Chaerul" wakil pemuda dan mahasiswa" itu saya belum kenal. Sebagai biasa, saya selalu mengambil tempat menghadapi Bung Karno. Di kiri dan di kanannya duduk semua Waperdam dan semua Kepala Staf ABRI. Saya terharu melihat wajahnya Jendral A.H. Nasution yang mengalami musibah cedera kakinya, ketika lari menyelamatkan diri, juga karena kehilangan putrinya, si bocah Ida Suryani. Haru kemanusiaan mengimbau rasa kasihan di dalam hatiku.
Ketika saya menuliskan baris-baris ini dengan mesin ketikku yang sudah tua pula, kenanganku kembali pada jendral saya A.H. Nasution ini yang secara amikal saya panggil Pak Nas (jangan lupa, saya pernah di bawah komandonya langsung ketika saya Letkol PEPOLIT di Jawa Barat, 1946-1947, sebelum saya ditarik ke Kementerian Perta- hanan di Yogyakarta). Terbayang kembali ketika kita sama-sama bergerilya. Sekarang ini, bulan Mei 1997, di Indonesia di sana sedang bergolak udara panas permainan sandiwara "Pemilihan Umum" Presiden Soeharto, tentara kontra pemuda dan rakyat pendukung Megawati Sukarnoputri.Walaupun saya tahu, dulu, pada waktu 1967 di Bandung, skenario sandiwara "Pemilihan Umum" itu adalah kreasi MPR yang diketuai oleh Jendral Nas, sehingga saya menyebut di dalam brosur saya yang diterbitkan oleh YAWF (Youth Against War and Fascisme) di NewYork yang berjudul "Dikmilfas Nasuh & Co." (Diktatur Militer Fasis Nasution Soeharto & Co.) - namun sekarang, setelah 30 tahun berlalu, dengan ini saya sampaikan kontrak perdamaian yang tulus dari lubuk hatiku kepada beliau, Pak Nas Sebab saya telah menginsafi, bahwa beliau itu, sejak 1 Oktober 1965 hanya dijadikan korban manipulasi Letjen Soeharto yang amat licik dan licin.
Sebelum saya berangkat ke Kuba, saya dibawa mutar oleh Ketua PARTINDO Sumatra Utara oleh Pak Jacob Siregar (Paman Amir Sjarifuddin) ke daerah Sumatra Utara dan Tapanuli. Saya sempat menyinggahi rumah ayah Pak Nas itu, sebuah rumah yang amat sederhana, seperti kebanyakan rumah kami di Sumatra pada umumnya, di Pematang Siantar, yang amat terkenal dengan buah salak yang manis, Tapi "kontrak damai" seperti itu tidak akan aku buat untuk Soeharto. Never and never! Pembunuhan satu juta manusia yang tidak berdosa dan ngekup Presiden Sukarno, sebagaimana dilakukan oleh Soeharto itu - tidak ada pintu-maaf baginya, kecuali Pintu Gerbang Revolusi Massa Pemuda dan Rakyat Total. Hatiku selalu di pihak mereka yang didera derita ketidakadilan. Lagi sebuah peribahasa kami di Sumatra:"Raja adil raja disembah - Raja murka raja disanggah". Ini dia prinsip keadilan dan demokrasi di zaman purbakala! Sekarang Indonesia dibuat oleh Soeharto seperti zaman Jahiliah Kafir Raja Fir'aun di Mesir sebelum dunia kita bertarich! Apakah manusia yang bisa berfikir harus diam saja? No!
Sedangkan Amerika yang dijuluki jagonya dunia kapitalis itu, sudah begitu panas dan benci melihat praktek-praktek kediktatoran Presiden Soeharto. Buktinya, bacalah Laporan "INDONESIA HUMAN RIGHTS PRACTICES, 1995-1997" yang dibuat oleh U.S. Depart- ment of State mengenai Indonesia.
Selanjutnya, marilah kita saksikan apa yang terjadi di dalam Sidang Kabinet di Istana Bogor di hari itu.
Saya hidangkan terlebih dahulu apa yang telah dicatat oleh Dwipayana dan Sjamsuddin di dalam buku Jejak Langkah Pak Harto: Sabtu, 15 Januari 1966. Pagi ini Presiden Sukarno memimpin sidang paripuna Kabinet Dwikora di Istana Bogor, dan mengundang tokoh- tokoh mahasiswa untuk menghadirinya. Oleh sebab itu, hari ini kota Bogor tidak hanya didatangi oleh sebuah delegasi mahasiswa, melainkan ribuan mahasiswa yang bergabung dalam KAMI. Mereka ingin mengikuti dari dekat sidang Kabinet Dwikora tersebut, karena menurut rencana, Presiden Sukarno akan memberikan keterangan dan jawabannya secara langsung kepada rakyat.
Sementara sidang berlangsung, di luar istana telah terjadi keributan antara massa KAMI dengan anggota-anggota Cakrabirawa pengawal Istana Bogor sehingga yang terakhir ini melepaskan tembakan. Situasi baru dapat ditenangkan setelah Letjen Soeharto, yang didampingi oleh Pangal Laksdya (L) Martadinata dan Pangak Komjen (P) Sutjipto Judodihardjo, datang melerai.
Sementara itu di dalam sidang, Presiden Sukarno mengatakan bahwa siapa yang sanggup menurunkan harga-harga dalam waktu 3 bulan, akan diangkatnya menjadi menteri, akan tetapi jikalau gagal, maka orang tersebut akan ditembak mati. Presiden juga mengatakan bahwa persoalan harga ini sangat sulit, sehingga ia tidak menyetujui cara-cara mahasiswa mengemukakan tuntutan mereka dengan men- caci-maki dan malah mengatakan bahwa menteri-menteri itu goblok.
Selanjutnya Presiden Sukarno menyerukan kepada para pengikutaya agar menyusun barisan, dan berdirilah di belakang Sukarno. Sehubungan dengan itu Mayjen (Tituler) Achmadi diperintahkan untuk membentak barisan itu. Komando inilah yang kemudian diistilahkan oleh Subandrio sebagai 'Barisan Soekarno"'.
Sekianlah kutipan, catatan yang sesungguhnya terjadi di hari itu adalah: Sidang Kabinet Dwikora kali ini bukanlah untuk bertukar pikiran, bukan pula untuk menyusun suatu konsepsi dan kesimpulan mengenai situasi politik yang sedang berlangsung melainkan untuk mendengarkan sikap Bung Karno yang tegas tidak mau menyerah dan mundur terhadap intimidasi kaum demonstran pemuda, mahasiswa KAMI yang dihasut dan digerakkan oleh Tentara yang direstui oleh Letjen Soeharto.
Bung Karno telah melihat dan menyadari,bahwa persatuan nasio- nal yang telah disemangatinya dengan seluruh jiwanya yang anti- kolonialis sejak usianya yang muda-belia di tahun 1926, persatuan nasional itu kini telah pecah-berderai oleh hantaman Peristiwa GESTAPU. Di tahun 1926 itu, dengan keberaniannya sebagai Demosthenes orator, Plato, bersama Socrates dan Aristoteles, para ahli filsafat dari zaman republik pertama-tama diYunani Kuno, dan dengan kepandaian seninya yang bernilai tinggi keindahannya, sepan- dai Praxiteles dan Phidias dizamanYunani tersebut - Bung Karno di tahun 1926 itu telah membangun berdirinya sebuah "Tugu Persatuan Nasional" dari batu padas penderitaan bangsanya sejak berabad-abad,yang terdiri dari elemen-elemen, zat-zat nasionalisme- agama-marxisme. Maka dengan keberanian jiwa persatuan nasional tersebut, Angkatan 45 berhasil memutuskan rantai belenggu penja- jahan Belanda tiga setengah abad, dan mendirikan Republik Indo- nesia dari Sabang hingga ke Merauke, teguh-tegap di atas UUD '45 dan Pancasila.
Begitulah mata-khayalku melihat Bung Karno di dalam Sidang Kabinet di hari itu. Hatiku bangga dan terharu, tetapi juga gemes (kesal) mendengarkan pidatonya itu. Mengapa? Sebab, Bung Karno tidak juga mau mengambil keputusan tentang political solution yang saya telah usulkan kepadanya. Saya kira tadi di Sidang Kabinet hari inilah kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengeluarkan"dia punya solution" untuk mencegah atau membelokkan banjir intimidasi politik neo-kolonialisme yang saban hari kian meningkat mau menenggelamkannya.
Ternyata kemasygulan saya itu dibenarkan oleh kenyataan. Selang dua bulan berikut, yaitu pada tanggal 11 Maret 1966, membrojol itu SUPERSEMAR yang oleh Letjen Soeharto secara licin dan licik dibuatnya menjadi "linggis konsitusional" untuk secara anti- konstitusional mendongkel Bung Karno dari kekuasaannya yang sah sebagai Presiden R.l. untuk mencari dasar legitimasi bagi tindakan-tindakannya yang non-konstitusional itu. DPR-GR dan MPRS dibubarkannya dan diganti dengan DPR dan MPR yang baru tanpa pemilihan umum demokratis. Katanya, berdasarkan "konsensus nasional" yang dicabutnya dari kantong celananya sendiri, tidak melalui pemilihan umum, sebagaimana seharusnya menurut UUD '45. Konsensus Nasional yang betul, yaitu yang dengan lain perkataan adalah kerukunan atau kemufakatan nasional yang betul, haruslah dicapai secara demokratis, dan bukan "konsensus nasional" yang palsu yang dicapai di bawah todongan bayonet tentara dan demonstrasi pemuda KAMI yang diperalatnya. Di dalam hal inilah saya melihat dan saya sayangkan Jendral A.H. Nasution dibuat menjadi figur tragis, dibuat korban manipulasi politik oleh Letjen Soeharto di dalam rencana kudetanya untok memperoleh stempel "konstitusional" dari MPR yang diketuai oleh Jendral Nas itu.Tragis, kukatakan, sebab saya tahu betul dan semna orang tahu, bahwa Pak Nas itu lebih politics conscious, lebih sadar politik. Pak Nas adalah seorang jendral yang correct dalam sikap, tidak sekotor Soeharto dalam sejarah kemiliteran Republik kita ini, secara politik, sosial maupun material dan finansial.
"Saudara-saudara, kita semua sekarang sedang berada di dalam situasi yang amat sulit, sebagai akibat perbuatan subversi kaum Nekolim yang tidak berhenti sejak kita mendirikan Negara Republik Indo- nesia kita ini. Kita menghadapi persoalan-persoalan di bidang politik, ekonomi; kouangan, keamanan dalam negeri, akibat perbuatan subversi kaum Nekolim yang telah meningkatkan serangan- serangannya sampai terjadilah apa yang disebut GESTAPU atau GESTOK. Karena itu Saudara-saudara, kita semua di dalam situasi sedemikian itu, hendaknyalah, seharusnya bersikap tenang. Bung Karno mohon, minta, kepada Saudara-saudara bersikap tenang jangan kehilangan kepala, saya memerlukan keadaan tenang untuk bisa mengambil dan melaksanakan keputusan politik, political solution. Sekah lagi, saya minta supaya jangan sampai terjadi 'menguber tikus sampai rengkiang padi jadi terbakar'. Berdirilah semua bangsa dan rakyat kita di belakang Bung Karno, sebagai satu Barisan Sukarno. Saya t~dak akan mundur selangkah pun, saya tidak akan mundur setapak pun menghadapi perbuatan subversi Nekolim itu. Insya Allah."
Demikianlah uraian isi pidato Bung Karno di dalam Sidang Kabinet pada hari Sabtu, 15 Januari 1966 yang dapat saya ingat- ingat sampai sekarang.
Setelah Bung Karno selesai menguraikan pidatonya itu, beliau mempersilahkan Ketua MPRS/Waperdam III Chaerul Saleh untuk berbicara. Bagaimana uraian Chaerul Saleh? Dengan bersemangat Angkatan 45 beliau memperkoat sokongannya terhadap pidato Bung Karno, dengan kata penutup semna bersatu ke dalam Barisan Sukarno. Soeharto kasih unjuk siapa Dia...
Selanjutnya, sampailah kita sekarang kepada tanggal 15 Januari 1966. Hari Sabtu. Sidang Kabinet yang diperluas di Istana Bogor, yang juga dikepung oleh demonstrasi pemuda-pemuda dan mahasiswa yang datang diorganisasi bukan saja dari Ibukota, tapi juga dari berbagai kota di Jawa Barat.
Saya hadir pada Sidang Kabinet itu, ikut menyaksikan apa yang terjadi. Beginilah ceritanya: Hari itu (15 Januari 1966) pagi-pagi sekali saya ditilpon oleh saudara Chaerul Saleh,Waperdam /Deputy III, supaya datang ke Istana Bogor berhubung akan ada Sidang Kabinet diperluas hari itu. Dikatakan "diperluas" sebab hadir juga wakil pemuda dan mahasiswa dalam sidang Kabinet itu, katanya. Chaerul pesan kepada saya supaya naik helikopter bersama-sama dengan Dr. J. Leimena (Oom Jo) dari Markas Besar Polisi Jakarta Raya (KAPOLDA) di J1. Jendral Sudirman. Chaerul Saleh dan Subandrio sudah di Bogor sejak kemarin sore.
Ketika akan naik ke` helikopter saya bertanya pada Oom Jo: "Apa belum selesai juga Revolusi kita ini?" OomJo dengan senyum yang spesifik itu menjawab: "Ohoo, nog lang niet, nog lang niet" (Ohooi, belum, masih jauh, masih lama).
Mestinya saya menanyakan atau dia menanyakan kepada saya, mengenai sikap Bung Karno yang meragakan political solution yang pernah saya usulkan kepadanya.Tetapi saya merasakan tak ada suasana untuk menyinggung hal tersebut di saat itu. Namun saya terpancang pada harapan yang dikemukakan Bung Karno dengan mengumumkan sesuatu langkah untuk mencegah atau untok membelokkan banjir bencana yang akan menimpa, mungkin di dalam sidang kabinet "diperluas" hari ini. Nah, kalau tidak juga, apa gunanya saya ditahan, tunggu dulu jangan pulang ke Kuba dulu, sampai saya tidak sempat menghadiri Sidang Tricontinental, sampai tersiar tulisan di koran Juventud Rebelde dan Granma, tulisan yang mencemarkan nama Bung Karno. Demikianlah fikiran yang merasuk ke dalam otakku sementara helikopter melayang di udara menuju Bogor. Saya berdua dengan Oom Jo saja dengan pilotnya di heli itu. Indah sekali letaknya geografis kota Bogor ini tampak dari Udara. Coba, kalau dulu jadi dilaksanakan ide Bung Karno untuk memindahkan Ibu kota ke Bogor ini, dan Jakarta hanya dijadikan kota pelabuhan samudra saja! Saya terkenang ketika saya diikutkan dalam flying tour di masa ide tersebut sedang difikirkan.
Waktu helikopter turun mendarat, sebuah jeep sudah menunggu kedatangan kami. Saya melihat di dalam ruang-sidang semua Menteri dan Kepala Staf ABRI sudah lengkap hadir:Jendral A.H. Nasution Letjen Soeharto dari Angkatan Darat; Laksamana Martadinata Laksamana Ali Sadikin dari Angkatan Laut; Komjen Sutjipto Yudodihardjo dari Kepolisian dan dari AURI saya belum kenal. Juga yang dikatakan Chaerul" wakil pemuda dan mahasiswa" itu saya belum kenal. Sebagai biasa, saya selalu mengambil tempat menghadapi Bung Karno. Di kiri dan di kanannya duduk semua Waperdam dan semua Kepala Staf ABRI. Saya terharu melihat wajahnya Jendral A.H. Nasution yang mengalami musibah cedera kakinya, ketika lari menyelamatkan diri, juga karena kehilangan putrinya, si bocah Ida Suryani. Haru kemanusiaan mengimbau rasa kasihan di dalam hatiku.
Ketika saya menuliskan baris-baris ini dengan mesin ketikku yang sudah tua pula, kenanganku kembali pada jendral saya A.H. Nasution ini yang secara amikal saya panggil Pak Nas (jangan lupa, saya pernah di bawah komandonya langsung ketika saya Letkol PEPOLIT di Jawa Barat, 1946-1947, sebelum saya ditarik ke Kementerian Perta- hanan di Yogyakarta). Terbayang kembali ketika kita sama-sama bergerilya. Sekarang ini, bulan Mei 1997, di Indonesia di sana sedang bergolak udara panas permainan sandiwara "Pemilihan Umum" Presiden Soeharto, tentara kontra pemuda dan rakyat pendukung Megawati Sukarnoputri.Walaupun saya tahu, dulu, pada waktu 1967 di Bandung, skenario sandiwara "Pemilihan Umum" itu adalah kreasi MPR yang diketuai oleh Jendral Nas, sehingga saya menyebut di dalam brosur saya yang diterbitkan oleh YAWF (Youth Against War and Fascisme) di NewYork yang berjudul "Dikmilfas Nasuh & Co." (Diktatur Militer Fasis Nasution Soeharto & Co.) - namun sekarang, setelah 30 tahun berlalu, dengan ini saya sampaikan kontrak perdamaian yang tulus dari lubuk hatiku kepada beliau, Pak Nas Sebab saya telah menginsafi, bahwa beliau itu, sejak 1 Oktober 1965 hanya dijadikan korban manipulasi Letjen Soeharto yang amat licik dan licin.
Sebelum saya berangkat ke Kuba, saya dibawa mutar oleh Ketua PARTINDO Sumatra Utara oleh Pak Jacob Siregar (Paman Amir Sjarifuddin) ke daerah Sumatra Utara dan Tapanuli. Saya sempat menyinggahi rumah ayah Pak Nas itu, sebuah rumah yang amat sederhana, seperti kebanyakan rumah kami di Sumatra pada umumnya, di Pematang Siantar, yang amat terkenal dengan buah salak yang manis, Tapi "kontrak damai" seperti itu tidak akan aku buat untuk Soeharto. Never and never! Pembunuhan satu juta manusia yang tidak berdosa dan ngekup Presiden Sukarno, sebagaimana dilakukan oleh Soeharto itu - tidak ada pintu-maaf baginya, kecuali Pintu Gerbang Revolusi Massa Pemuda dan Rakyat Total. Hatiku selalu di pihak mereka yang didera derita ketidakadilan. Lagi sebuah peribahasa kami di Sumatra:"Raja adil raja disembah - Raja murka raja disanggah". Ini dia prinsip keadilan dan demokrasi di zaman purbakala! Sekarang Indonesia dibuat oleh Soeharto seperti zaman Jahiliah Kafir Raja Fir'aun di Mesir sebelum dunia kita bertarich! Apakah manusia yang bisa berfikir harus diam saja? No!
Sedangkan Amerika yang dijuluki jagonya dunia kapitalis itu, sudah begitu panas dan benci melihat praktek-praktek kediktatoran Presiden Soeharto. Buktinya, bacalah Laporan "INDONESIA HUMAN RIGHTS PRACTICES, 1995-1997" yang dibuat oleh U.S. Depart- ment of State mengenai Indonesia.
Selanjutnya, marilah kita saksikan apa yang terjadi di dalam Sidang Kabinet di Istana Bogor di hari itu.
Saya hidangkan terlebih dahulu apa yang telah dicatat oleh Dwipayana dan Sjamsuddin di dalam buku Jejak Langkah Pak Harto: Sabtu, 15 Januari 1966. Pagi ini Presiden Sukarno memimpin sidang paripuna Kabinet Dwikora di Istana Bogor, dan mengundang tokoh- tokoh mahasiswa untuk menghadirinya. Oleh sebab itu, hari ini kota Bogor tidak hanya didatangi oleh sebuah delegasi mahasiswa, melainkan ribuan mahasiswa yang bergabung dalam KAMI. Mereka ingin mengikuti dari dekat sidang Kabinet Dwikora tersebut, karena menurut rencana, Presiden Sukarno akan memberikan keterangan dan jawabannya secara langsung kepada rakyat.
Sementara sidang berlangsung, di luar istana telah terjadi keributan antara massa KAMI dengan anggota-anggota Cakrabirawa pengawal Istana Bogor sehingga yang terakhir ini melepaskan tembakan. Situasi baru dapat ditenangkan setelah Letjen Soeharto, yang didampingi oleh Pangal Laksdya (L) Martadinata dan Pangak Komjen (P) Sutjipto Judodihardjo, datang melerai.
Sementara itu di dalam sidang, Presiden Sukarno mengatakan bahwa siapa yang sanggup menurunkan harga-harga dalam waktu 3 bulan, akan diangkatnya menjadi menteri, akan tetapi jikalau gagal, maka orang tersebut akan ditembak mati. Presiden juga mengatakan bahwa persoalan harga ini sangat sulit, sehingga ia tidak menyetujui cara-cara mahasiswa mengemukakan tuntutan mereka dengan men- caci-maki dan malah mengatakan bahwa menteri-menteri itu goblok.
Selanjutnya Presiden Sukarno menyerukan kepada para pengikutaya agar menyusun barisan, dan berdirilah di belakang Sukarno. Sehubungan dengan itu Mayjen (Tituler) Achmadi diperintahkan untuk membentak barisan itu. Komando inilah yang kemudian diistilahkan oleh Subandrio sebagai 'Barisan Soekarno"'.
Sekianlah kutipan, catatan yang sesungguhnya terjadi di hari itu adalah: Sidang Kabinet Dwikora kali ini bukanlah untuk bertukar pikiran, bukan pula untuk menyusun suatu konsepsi dan kesimpulan mengenai situasi politik yang sedang berlangsung melainkan untuk mendengarkan sikap Bung Karno yang tegas tidak mau menyerah dan mundur terhadap intimidasi kaum demonstran pemuda, mahasiswa KAMI yang dihasut dan digerakkan oleh Tentara yang direstui oleh Letjen Soeharto.
Bung Karno telah melihat dan menyadari,bahwa persatuan nasio- nal yang telah disemangatinya dengan seluruh jiwanya yang anti- kolonialis sejak usianya yang muda-belia di tahun 1926, persatuan nasional itu kini telah pecah-berderai oleh hantaman Peristiwa GESTAPU. Di tahun 1926 itu, dengan keberaniannya sebagai Demosthenes orator, Plato, bersama Socrates dan Aristoteles, para ahli filsafat dari zaman republik pertama-tama diYunani Kuno, dan dengan kepandaian seninya yang bernilai tinggi keindahannya, sepan- dai Praxiteles dan Phidias dizamanYunani tersebut - Bung Karno di tahun 1926 itu telah membangun berdirinya sebuah "Tugu Persatuan Nasional" dari batu padas penderitaan bangsanya sejak berabad-abad,yang terdiri dari elemen-elemen, zat-zat nasionalisme- agama-marxisme. Maka dengan keberanian jiwa persatuan nasional tersebut, Angkatan 45 berhasil memutuskan rantai belenggu penja- jahan Belanda tiga setengah abad, dan mendirikan Republik Indo- nesia dari Sabang hingga ke Merauke, teguh-tegap di atas UUD '45 dan Pancasila.
Begitulah mata-khayalku melihat Bung Karno di dalam Sidang Kabinet di hari itu. Hatiku bangga dan terharu, tetapi juga gemes (kesal) mendengarkan pidatonya itu. Mengapa? Sebab, Bung Karno tidak juga mau mengambil keputusan tentang political solution yang saya telah usulkan kepadanya. Saya kira tadi di Sidang Kabinet hari inilah kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengeluarkan"dia punya solution" untuk mencegah atau membelokkan banjir intimidasi politik neo-kolonialisme yang saban hari kian meningkat mau menenggelamkannya.
Ternyata kemasygulan saya itu dibenarkan oleh kenyataan. Selang dua bulan berikut, yaitu pada tanggal 11 Maret 1966, membrojol itu SUPERSEMAR yang oleh Letjen Soeharto secara licin dan licik dibuatnya menjadi "linggis konsitusional" untuk secara anti- konstitusional mendongkel Bung Karno dari kekuasaannya yang sah sebagai Presiden R.l. untuk mencari dasar legitimasi bagi tindakan-tindakannya yang non-konstitusional itu. DPR-GR dan MPRS dibubarkannya dan diganti dengan DPR dan MPR yang baru tanpa pemilihan umum demokratis. Katanya, berdasarkan "konsensus nasional" yang dicabutnya dari kantong celananya sendiri, tidak melalui pemilihan umum, sebagaimana seharusnya menurut UUD '45. Konsensus Nasional yang betul, yaitu yang dengan lain perkataan adalah kerukunan atau kemufakatan nasional yang betul, haruslah dicapai secara demokratis, dan bukan "konsensus nasional" yang palsu yang dicapai di bawah todongan bayonet tentara dan demonstrasi pemuda KAMI yang diperalatnya. Di dalam hal inilah saya melihat dan saya sayangkan Jendral A.H. Nasution dibuat menjadi figur tragis, dibuat korban manipulasi politik oleh Letjen Soeharto di dalam rencana kudetanya untok memperoleh stempel "konstitusional" dari MPR yang diketuai oleh Jendral Nas itu.Tragis, kukatakan, sebab saya tahu betul dan semna orang tahu, bahwa Pak Nas itu lebih politics conscious, lebih sadar politik. Pak Nas adalah seorang jendral yang correct dalam sikap, tidak sekotor Soeharto dalam sejarah kemiliteran Republik kita ini, secara politik, sosial maupun material dan finansial.
"Saudara-saudara, kita semua sekarang sedang berada di dalam situasi yang amat sulit, sebagai akibat perbuatan subversi kaum Nekolim yang tidak berhenti sejak kita mendirikan Negara Republik Indo- nesia kita ini. Kita menghadapi persoalan-persoalan di bidang politik, ekonomi; kouangan, keamanan dalam negeri, akibat perbuatan subversi kaum Nekolim yang telah meningkatkan serangan- serangannya sampai terjadilah apa yang disebut GESTAPU atau GESTOK. Karena itu Saudara-saudara, kita semua di dalam situasi sedemikian itu, hendaknyalah, seharusnya bersikap tenang. Bung Karno mohon, minta, kepada Saudara-saudara bersikap tenang jangan kehilangan kepala, saya memerlukan keadaan tenang untuk bisa mengambil dan melaksanakan keputusan politik, political solution. Sekah lagi, saya minta supaya jangan sampai terjadi 'menguber tikus sampai rengkiang padi jadi terbakar'. Berdirilah semua bangsa dan rakyat kita di belakang Bung Karno, sebagai satu Barisan Sukarno. Saya t~dak akan mundur selangkah pun, saya tidak akan mundur setapak pun menghadapi perbuatan subversi Nekolim itu. Insya Allah."
Demikianlah uraian isi pidato Bung Karno di dalam Sidang Kabinet pada hari Sabtu, 15 Januari 1966 yang dapat saya ingat- ingat sampai sekarang.
Setelah Bung Karno selesai menguraikan pidatonya itu, beliau mempersilahkan Ketua MPRS/Waperdam III Chaerul Saleh untuk berbicara. Bagaimana uraian Chaerul Saleh? Dengan bersemangat Angkatan 45 beliau memperkoat sokongannya terhadap pidato Bung Karno, dengan kata penutup semna bersatu ke dalam Barisan Sukarno. Soeharto kasih unjuk siapa Dia...
Sehabis pidatonya Chaerul Saleh, sidang Kabinet diistirahatkan untuk makan siang bersama di Istana. Makan secara "prasmanan" semua. Waktu saya sedang makan, datang Menteri Pertambangan Armunanto menghampiri dan duduk di sebelah kiri saya. Sebagai sama-sama wakil-ketua Partindo, dia rupanya ingin membicarakan sesuatu yang penting pada saya.Tetapi, tiba-tiba datang pula Letjen Soeharto langsung duduk di samping kanan saya dengan sepiring nasi di tangannya. Sambil makan bersama beliau segera mengajukan pertanyaan:"Apakah Pak Hanafi, sudah pergi meninjau ke daerah- daerah? Ada baiknya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya apa yang terjadi. Bukan kami tentara, yang melakukan pembunuhan- pembunuhan rakyat itu".
Dalam hatiku segera terlintas kesan sungguh tipikal seorang tokoh militer Pak Soeharto ini. Siap selalu dengan strategi sivis pacum parabellum,serang dulu untuk bertahan! Saya agak terkejut tadi melihat kedatangannya tiba-tiba itu dan langsung duduk di sebelah kanan saya. Saya kira,dia sudah sejak dari sidang kabinet tadi memperhatikan saya.Artinya saya diincar! Saya letakkan sendok dan saya pandangi dia dengan senyumku saya menjawab: "Belum, Pak Harto, memang ada maksud saya begitu, nanti saya ingin dapatkan bantuan jendral, untuk kemudahan perjalanan saya".
Soeharto: "Silahkan datang saja ke MBAD".
Hanafi: "Tentu, tentu, Pak Harto, terima kasih lebih dahulu".
Kemudian beliau dengan sopan permisi untuk kembali ke tempat semula dari mana dia datang tadi. Cobalah lihat, dan renungkan. Jendral Soeharto yang sepenting itu, pemegang kunci rahasia di belakang layar Gestapu dengan cara yang cerdik sekali datang sendiri menyalami saya menawarkan simpatinya. Andaikata, kewaspadaan- politik saya tetap tumpul saja walaupun sudah diasah dan dikikir oleh baja pengalaman langsung atau yang tak langsung yang saya alami sendiri sejak saya datang dari Kuba ke Jakarta, lalu bersorak gembira masuk ke dalam pintu gerbang yang dibukakan oleh Jendral Soeharto itu ke dalam dunia pengkhianatannya itu.... tentulah dan pastilah saya tidak akan mampu lagi menuliskan sejarah seperti buku Menggugat ini! Sekarang berbanggalah Ayah dan Bundaku dan anak- anakku yang tercinta dan kawan-kawan seperjuanganku Angkatan 45, bahwa saya tidak menjadi pengkhianat bersama dengan sementara mereka itu di dalam zaman Orde Baru ini.
Dalam buku saya "Menteng 31; Membangun Jembatan Dua Angkatan" ada saya singgung sekadarnya mengenai pembunuhan- rakyat satu juta di daerah-daerah itu, tetapi belum tahu jelas bahwa pihak tentara melakukan pembunuhan itu pakai sarung tangan "Banser" dari Ki Achmad Sjaichu dan Ki H. Subchan.
Saya tidak bisa menghabiskan makan saya, sebab saya lihat di beranda belakang Istana Bogor itu, tampak banyak orang dan menteri-menteri berkerumun tak karuan apa yang dibicarakan. Beberapa Tjakrabirawa tampaknya gelisah ke sana kemari. Maka saya dekati Brigjen Sabur, komandanTjakrabirawa mau menanyakan ada apa? Ternyata demonstrasi pemuda sedang berlangsung hebat di luar istana itu. Beberapa gerombolannya sudah masuk menerobos ke dalam pekarangan istana yang dijaga ketat oleh Barisan Pengawal Tjakrabirawa. Memang pekarangan istana itu tidak berjarak jauh dari Jalan raya di mana ada puluhan kalau tidak ratusan ribu pemuda- pemuda yang seperti kesurupan dan fanatik berteriak-teriak menyerukan yel-yelnya. Ketika saya berdiri di dekat Brigjen Sabur Kolonel Mangil wakil-komandanTjakrabirawa datang melapor dan memmta tugas, mendesak, sebab lini pertama Barisan Pengawal Tjakrabirawa sudah bobol diterobos kaum demonstran yang kalap, barisan pengawal itu sudah terkurung di tengah kaum demonstran itu. Maka itu jelas terdengar teriakan-teriakan mereka yang bikin bising kuping. Lini kedua sudah melepaskan tembakan peringatan ke atas "rraang-rraaang-rrraaang" dengan senjata A.K.nya sebagai peringatan. Kaum demonstran berhenti, tapi tidak mau mundur. Kolonel Mangil minta tugas pada komandannya Brigjen Sabur apabila kaum demonstran tetap mau maju merangsek terus menyerbu lebih janh lagi ke dalam pekarangan istana, mereka tidak lagi akan disambut dengan tembakan peringatan ke atas, tapi laras mitraliur A.K. itu akan langsung "waterpas" dihadapkan ke arah demonstran yang menggila-gila itu.
Saya kenal betul siapa Kolonel Mangil, bekas anggota Brigade Polisi "Macan" di zaman Jepang, asal "Wonosaren" (Wonosari, Yogyakarta), setia bersedia berjibaku kalau diperintah demi keselamatan Presiden Sukarno. Karena menyaksikan hal tersebut, saya cepat-cepat mencari Jendral Soeharto yang kebetulan sedang dengan tenang saja bercakap-cakap dengan Laksamana Martadinata? Kombes Sutjipto Judodihardjo dan komandan CPM Brigjen Sudirgo: ".... Kalau Pak Harto dan para kepala staf tidak turun-tangan, kita akan mengalami banjir darah hari ini", kataku. Kuceritakan pula pembicaraan Sabur dan Mangil tadi.
Maka sesudah mereka itu herunding sejenak, Letjen Soeharto diiringi oleh jendral-jendral lainnya itu tadi, pergilah turun ke bawah menampakkan diri. kepada kaum demonstran ribnan itu. Melihat kedatangan Letjen Soeharto itu kaum demonstran yang telah menginjak-injak segala tata tertib dalam lingkungan pekarangan istana itu menjadi diam dan tenang semua. Letjen Soeharto bicara tenang saja, supaya kaum demonstran pulang dengan tentram, dan bahwa tuntutan mereka itu akan diperhatikan. Pidatonya yang pendek sederhana itu punya kekuatan menekan gejolak semangat kaum demonstran yang menggila-gila tadi. Kemudian para jendral itu kembali naik ke istana lagi, untuk pamitan pulang kepada Presiden Sukarno, sebab sidang Kabinet diperluas itu sudah selesai.Tetapi di dalam hati saya berkata: Letjen Soeharto kasih unjuk siapa dia. - Tafsirkan sendirilah sangkut-pautnya dengan pengepungan istana di hari itu!
Tapi langsung esok harinya tanggal 16 Januari 1966, Letjen Soeharto mengadakan rapat dengan Menpangad Jendral Nas dan kepala staf ABRI lainnya mengeluarkan larangan pembentukan Barisan Sukarno tersebut. Artinya, secara kontan menentang keputusan Presiden Sukarno/PanglimaTertinggi ABRI pada sidang Kabinet tanggal 15 Januari kemarinnya itu. Apapun juga dalihnya yang dipakai pada pelarangan itu, tanpa dikonsultasikan lagi pada Panglima Tertinggi; apakah itu artinya kalau bukan "ultimatum" perang terhadap Presiden Sukarno? Lalu pada ke mana ABRI - di luarnya Letjen Soeharto dan Jendral Nas - yang setia kepada Panglima Tertinggi Sukarno? Laksamana Martadinata, Marsekal Srimuljono Herlambang, Jenpol Sutjipto Judodihardjo, sampai dengan Brigjen Sudirgo (CPM) dan Laksamana Hartono (KKO), sudah lumpuh. Sebab takut dituduh membela Gestapu yang telah membunuh "Dewan Jendral" (Panglima A.Yani dan lainnya itU), tetapi tidak berani mengusut mengapa Gestapu/Untung itu justru menyelamatkan Letjen Soeharto sendiri, sedangkan lainnya mau dihabisi? Untunglah Jendral Nas bisa selamat! Dengan logika sederhana saja bukankah sudah cukup alasan untuk menaruh curiga terhadap Letjen Soeharto itu!?
Diperkenalkan kepada Agathocles oleh Machiavelli
Dalam merenungkan kekejian dan kelicikan Letjen Soeharto, di dalam khayalku aku bertemu dengan arwah Niccolo Machiavelli dari Florence, Italia, yang hidup di tahun 1469-1527, seorang politikus besar pada zamannya. Machiavelli mengenalkan aku kepada tokoh-tokoh gila kekuasaan yang pernah ditulisnya dalam bukunya "Il Principe". Aku dikenalkannya kepada Agathocles dari Sicilia dan Oliverroto de Fermo. Machiavelli mengatakan kepadaku: "Orang-orang seperti Agathocles dan de Fermo dapat merebut kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan, karena mereka melakukan perbuatan-perbuatan khianat dan keji. Agathocles, dari kedudukan yang paling hina dan rendah, anak seorang tukang loak menjadi raja di Siracusa, dia diakui sah secara "konstitusional" sesudah membunuh semua anggota senat yang sedang bersidang. Dan Oliverroto de Fermo, seorang anak yatim yang dibesarkan oleh pamannya, Giovani Fogliani, setelah merebut pasukan Vettellazo, karena ambisi kekuasaan untuk menguasai Fermo, membunuh pamannya itu sampai mati; tetapi ketika mau merebut Orisini, dia disiasati oleh Cesare Borgia, akhirnya di kota Orisini itu, dia dicekik sampai mati bersama dengan Vitellozo, yaitu gurunya yang mengajarkan kecakapan dan kejahatan kepadanya.
Tapi kita jangan salah-salah. Niccolo Machiavelli sebenarnya bukan seorang yang jahat dan kejam! Dia seorang politikus dan penulis yang hebat. Tetapi karena pengalaman di zamannya yang diriwayatkannya di dalam bukunya "Il Principe" (Pangeran) itu tentang orang-orang penting yang gila kekuasaan itu begitu kejam dan seram, tak kenal susila dan perikemanusiaan, segala cara ditempuhnya untuk kuasa dan harta, maka orang-orang di zaman kemudiannya sampai sekarang mengidentifikasi orang semacam itu sebagai "machiavellis". Dalam kamus politik, istilah "machiavellis" menjadi populer karena buku "Il Principe". Silakan kalau mau perbandingkan sendiri kemiripan Letjen Soeharto di antara dua type sosok yang dikenalkan oleh Machiavelli itu tadi: Agathocles atau Oliverroto de Fermo dari Sicilia itu.
Setelah selesai sidang Kabinet di Istana Bogor yang ditandai oleh pengepungan puluhan ribu kaum demonstran yang memalukan itu, lalu sekitar istana menjadi sepi dan kota Bogor pun menjadi sepi pula, laksana kota yang baru habis diserang garuda dalam cerita pewayangan. Saya dan Chaerul Saleh duduk terhenyak di tangga Istana itu keletihan. Bukan keletihan fisik tapi keletihan batin yang terasa berat menekan di dalam hati.
Sepasang menjangan yang sedang berteduh memamah-biak di bawah pohon beringin di kebun istana itu agaknya memandangi kami, merasa kasihan.
Bab XVI
Berangkat ke Kuba untak Mengclearkan Salah Paham Kuba terhadap Indonesia
Sebagaimana telah saya singgung terdahulu, saya telah minta izin kepada Presiden Sukarno untuk sementara harus pergi ke Kuba guna clearing kesalah-pahaman Kuba terhadap situasi di Indonesia. Saya berjanji akan berusaha secepatnya kembali ke Jakarta lagi, sebagaimana pesan beliau, untok mendampinginya mencarikan penyelesaian politik untuk mengatasi kemelut yang menimpa negara. Kalau tidak salah, saya berangkat pada tanggal 22 Januari 1966.
Betul saja saya alami langit Sukarno, langit saya di Kuba ketika itu, ketika saya datang, sudah berganti, berganti rupa tidak secermerlang seperti dulu lagi. Dua hari setelah saya tiba di Ha- vana ada upacara resmi di Malecon, itu jalan besar yang tercantik di Havana, kebanggaan Kuba seperti Champs Elysées buat orang Paris. Fidel Castro akan berpidato dari atas podium yang telah dibuatkan di bawah lereng Hotel Nacional rnenghadap ke Jalan Raya Malecon diTeluk Havana itu. Semua Corps Diplomatik hadir. Juga Tentara dan massa revolusioner Kuba. Dari atas podium itu di dalam pidatonya, saya merasakan seperti "dibanting" ke tanah oleh Fidel Castro, yang mengatakan di antara lain :"Kuba adalah tanah merdeka yang pertama di Amerika (Cuba el primero territorio libre de America).
Kami tidak akan mengkbianati rakyat kami seperti yang terjadi di Indonesia pada saat ini.Tentara revolusioner Kuba bersama rakyat revolusioner Kuba tidak akan mundur sejengkal pun menghadapi serangan atau subversi Amerika dan CIA yang mau mendarat dan menjamah Tanah Merdeka ini!"
Itu adalah gara-gara cerita versi delegasi ke Tricontinental orang- orang Indonesia dari Mesir dan Peking yang telah saya ceritakan di bagian lain terlebih dahulu.
Esok harinya, saya langsung datang ke Kemlu Kuba, tanpa appointment audiency lagi. Saya kira Dr. Raul Roa sudah maklum mengapa saya datang dan meminta jumpa mendadak itu. Kepadanya saya jelaskan semua apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan kalau Fidel mengetahui hal-hal yang sebenarnya itu, dia tidak akan membanting saya ke tanah seperti keluar dari pidatonya itu.
Kemudian saya minta dia mencari tahu siapa yang membuat berita yang menghina Presiden Sukarno seperti termuat di dalam surat kabar Juventud Rebelde dan di surat kabar PartaiGranma itu. Kemudian setelah saya betul-betul mendesak, beliau memberitahukan bahwa orang Indonesia yang menulis di surat kabar itu. Saya anggap orang itu konyol, tidak perlu saya perkenalkan nama si orang konyol itu di buku ini. Dengan itu, hubungan diplomatik R.I. - Kuba saya perbaiki kembali.
Upacara resmi di Malecon tersebut di atas adalah upacara untuk memperingati El Segundo Declaration de la Habana, 4februari 1962 mengenai Reform Agraria dan Industrialisasi. Di hari itu, 4 Februari 1962 sebnah kapal tua Amerika, sisa pendaratan di Playa Giron yang memalukan Amerika, tapi menaikkan "gengsi" Kuba, ditarik ke Teluk Havana. Sehabis pidato, Fidel, kapal tua itu ditembak dengan meriam sampai tenggelam, sebagai simbol akan tekad Kuba untuk menghancurkan setiap kapal Amerika kalau berani mendarat lagi. Seperti diketahui, di tengah lautan beberapa mil jaraknya dari Ha- vana, kadang-kadang muncul kapal Amerika untuk beberapa hari, menghilang, muncul lagi, menghilang, seperti menantang dan memperingatkan bahwa Kuba itu diblokade. Namun demikian, baik Kuba mau pun Amerika, walaupun kedua-duanya masing-masing panas hatinya, mereka tahu menjaga kepala tetap dingin. Sebab pengalaman serbuan Amerika di Playa Giron (Pantai Babi) dahulu itu ternyata membikin malu Amerika sendiri sebagai negara besar. Juga pihak Kuba membiarkan saja provokasi Amerika itu, walaupun ia mempunyai juga senjata mutakhir dari Uni Sovyet. Si Jenggot, E1 Barbudo, Commandante Fidel Castro itu, tidak tergiur air-liurnya melihat pancingan provokasi dengan kapal terbang pengintai Amerika yang terbang tinggi di langit di atas Havana, maupun kapal pengintai Amerika yang berlayar di lautan hanya tiga mil jaraknya dari Havana. Tapi si Bung, si jantan macho yang berjenggot, Sang Commandante bernama Fidel Castro itu, jiwa dan moral revo- lusionernya lebih tabah dan kebal terhadap pancingan-pancingan provokasi yang telanjang bulat di muka rumahnya itu.
Sekali pernah Amerika mengirimkan beberapa kapal berisi mercenaries, serdadu-serdadu bayaran dan kaum kontra-revolusioner Kuba dari NewYork dan Miami (Florida) untuk mencoba mendarat di Playa Giron (Bay of Pigs - Pantai Babi 16-19 April 1961).Terkenal dengan sebutan La Embarcacion de Playa Giron yang sampai kini setiap tahun diperingati. Pertempuran di Playa Giron itu dipimpin langsung oleh Fidel Castro sendiri, sementara E1 Commandante Ché Guevara memimpin kubu pertahanan di sebelah Utara di daerah Pinal del Rio. Serdadu-serdadu bayaran dan kaum kontra-revolusioner Kuba yang tidak mati, sehabis dilucuti semua dikirim pulang. Ini artinya apa? Artinya, ialah Kubanya Fidel Castro, mengerti dan menjunjung hukum perang, walaupun pendaratan di Playa Giron itu adalah suatu undeclared war dari Amerika. Pada tanggal 17 April 1961, saya dan Sukendah, sebagai Dubes, diundang pertama kali berziarah ke Playa Giron.
Ya, mengapa kita pantas pula merenungi pelajaran agama, yakin, tauhid, rendah-hati, atau mengapa pula meng-écé ilmu kejawen tentang larangan ojo 'M'- ojo maling, ojo madat, ojo mabok, ojo main, ojo madon.
Sepanjang cerita, di dalam agama Jawa itu tersimpan mutiara-mutiara agama Kristen dan agama Islam yang besar itu. Berdasarkan hal itu maka di dalam negara nasional Indonesia kita ini, bisa dan layak hidup berdampingan secara damai antara kedua agama tersebut. Saya teringat akan pengalaman ketika saya mengiringi perjalanan Presiden Sukarno ke luar negeri pada tahun 1956. Kami singgah di Libanon. Bung Karno dalam nada meng- ingatkan, berkata kepada Presiden Cagille Chamun: "Kalau Libanon membiarkan saja kefanatikan agama Kristen dan Islam saling- berhadapan, tidak mengkonsentrasikannya kepada kesatuan nasional, bahayanya nanti ialah perang-saudara".
Benar sekali peringatan Bung Karno itu, terjadilah tragedi Libanon dalam sejarahnya. Dua golongan, Islam dan Kristen, sama fanatiknya, sampai terjadi tragedi perang saudara yang dimanfaatkan pihak-pihak luar.
Bisa ditarik beberapa kesimpulan dari uraian pengalaman tersebut di atas:
a. Bahwa seorang pemimpin yang bertanggungjawab, harus kenal situasi dan kondisi, tetapi juga mengenal Hak dan Kewajibannya, tidak lemah dan mudah terpancing pada "provokasi", seperti GESTAPU di Indonesia.
b. Bahwa kepentingan Nasional dan rakyat bersama harus lebih dijunjung di atas segalanya.
c. Bahwa kerukunan hidup dalam semangat kebangsaan bernegara Merdeka adalah sendi kehidupan perdamaian dunia.
Ketika saya diundang pertama kali ke Playa Giron, saya terkenang pada Pertempuran di Surabaya 10 November 1945 yang sampai sekarang kita peringati sebagai Hari Pahlawan Nasional, sama besar arti pentingnya dengan sejarah perjuangan Kuba di Playa Giron. Tetapi saya yakin, kita semua yakin betul, bahwa para Pahlawan 10 November itu dengan rakyat yang setia menyertai pertempuran yang gegap-gempita dengan gagah-berani, walaupun sekarang ini mereka itu sudah tua-tua dan jompo. Kesemuanya mereka itu pasti tidak rela pengorbanan yang telah mereka abdikan kepada Rl yang mer- deka berdasarkan Pancasila dan UUD'45 itu dikhianati oleh Letjen Soeharto, diktator Orde Baru yang despot dan autokratik itu.
Para pemuda yang petentengan yang dihadiahi Soeharto dengan julukan "Angkatan 66" yang tidak masuk buku Angkatan 45 itu, sama sekali tidak bisa membayangkan persabungan nyawa di Surabaya antara Rakyat Indonesia yang membela kemerdekaan nasional dengan Tentara Sekutu yang mau menghina dan merebut Indone- sia untuk dihadiahkan kepada Belanda supaya dijajah lagi. Ketika itu, di hari-hari bersejarah itu, tidak ada BKR, tidak ada TKR (walaupun sudah diumumkan terbentuknya 5 Oktober 1945!), belum ada TRI, dan TNI, apalagi ABRI. Belum ada jendral-jendralan.Yang ada ialah Rakyat Indonesia, Rakyat Indonesia yang bersenjata, bersenjata segala macam, sejak dari bambu runcing, golok dan tombak, sampai ke segala macam senjata api, dari bedil sampai M 12,7 yang dapat direbut oleh para pemuda yang kemudian menjadi PESINDO, dari Angkatan Laut Jepang.Jadi, anak kandung Revolusi adalah Rakyat. Sebagian dari Rakyat itu dijadikan Tentara.
Jadi jangan salah-salah memproklamirTentara atau ABRI itulah anak kandung Revolusi! Salah! Dalam zaman Orba, ABRI berdiri terjauh dari Rakyat karena ulahnya Soeharto untuk kepentingannya yang sama, secita-cita dan sejalan dengan para konglomerat untuk menumpuk kekayaan, dollar, untuk kepentingan mereka itu sendiri. Pembangunan ekonomi Nasional? Tentu, tentu! Tanpa konsepsi pembangunan ekonomi nasional ...á la Soeharto, tentu USA, Bank Dunia, IMF, Negeri-negeri Eropa Barat dan negeri-negeri demokrasi liberal lainnya, tidak akan menyalurkan bantuannya. Sepèsèr pun tidak! Saya katakan "bantuan" antara tanda kutip. Dan kita tahu, semasa "Perang Dingin" dalam era Sukarno, investasi- kapital tersebut memusuhi kita, mereka tidak mau bersahabat dengan Indonesia di bawah Presiden Sukarno. Mereka tidak mau membantu kita, sebab Presiden Sukarno dianggap memelihara PKI, untuk bekerja sama dengan golongan agama dan golongan nasionalis.Jadi jangan salah-salah memproklamirTentara atau ABRI itulah anak kandung Revolusi! Salah! Dalam zaman Orba, ABRI berdiri terjauh dari Rakyat karena ulahnya Soeharto untuk kepentingannya yang sama, secita-cita dan sejalan dengan para konglomerat untuk menumpuk kekayaan, dollar, untuk kepentingan mereka itu sendiri. Pembangunan ekonomi Nasional? Tentu, tentu! Tanpa konsepsi pembangunan ekonomi nasional ...á la Soeharto, tentu USA, Bank Dunia, IMF, Negeri-negeri Eropa Barat dan negeri-negeri demokrasi liberal lainnya, tidak akan menyalurkan bantuannya. Sepèsèr pun tidak! Saya katakan "bantuan" antara tanda kutip. Dan kita tahu, semasa "Perang Dingin" dalam era Sukarno, investasi- kapital tersebut memusuhi kita, mereka tidak mau bersahabat dengan Indonesia di bawah Presiden Sukarno. Mereka tidak mau membantu kita, sebab Presiden Sukarno dianggap memelihara PKI, untuk bekerja sama dengan golongan agama dan golongan nasionalis.
Heran? No, R.I. terjepit dan jadi korban konfrontasi kapitalisme contra komunisme. Indonesia sebagai bangsa adalah yang pertama mencapai fighting independece, juga bangsa merdeka yang termuda pada pasca Perang Dunia ke-lI, walaupun sejarah dan kebudayaannya lebih tua dari bangsa-bangsa Eropa Barat sekarang. Kita ketinggalan zaman tiga setengah abad karena dijajah Belanda, karena, karena... banyak lagi "karena", di antaranya yang penting tercatat dalam sejarah berhubung dengan runtuhuya Kerajaan Majapahit dan wafatnya Brawijaya (1478), yang dikhianati oleh puteranya sendiri Raden Patah (berasal dari Fathimah dalam bahasaArab berarti kemenangan, perebutan) yang mendirikan Kerajaan Islam Demak zamannya Kasunanan Gunung Jati,Wali Islam yang terpenting di jawa Barat. Kemudian Kasunanan Gunung Jati runtah pula karena perlawanan Kerajaan Mataram ke-I yang mulai didirikan oleh Ki Gede Pamanahan di Kota Gede (1568) di dekat kotaYogyakarta sekarang. Menyusul kemudian kepahlawanan Senopati Ing Ngalogo, lalu Sul- tan Agung Hanyokrokusumo yang dua kali mengepung Jayakarta (Batavia), artinya Belanda sudah datang menjajah kita.
Saya pernah mendengar cerita, legenda dari orang-orang tua di Yogyakarta, bahwa Brawijaya, Raja Majapahit yang terbesar tapi yang terakhir itu, tidaklah sedo (wafat) melainkan, ketika berada dalam tahanan di Keratonnya di Kediri, dikatakan sedo, tapi sebenarnya dia menjelma menjadi Naga Geni, kepalanya kadang- kadang muncul di puncak Gunung Merapi (di utaraYogyakarta), tapi tubuhnya melingkari bumi, dan nanti apabila ekornya bertemu kembali dengan kepalanya, itulah tandanya kebesaran Majapahit akan datang kembali. Wallahu'alam. Saya teringat akan cerita dongeng ini (legenda ini) ketika saya bertiga dengan dua putra saya Dias dan Adityo naik ke puncak Gunung Eufrere di Guadalupe, yang seperti diberi tanda oleh Harun Tazief (vulkanolog Prancis yang terkenal) adalah "saudara-sejalur" dengan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Bumi, planet kita ini bagaikan bola. Di bawah Gunung Merapi itu berada Gunung Eufrere di Guadelupe Prancis di Karibia. Demikian sebaliknya, tergantung dari mana kita berada dan memandangnya.
Masa-masa berlalu silih-berganti. Perang Dingin USA-Uni Sovyet-RRC resminya kini sudah menjadi masa lampau. Sekarang Rusia dan RRC sudah bekerjasama dengan gembong kapitalis USA di dalam bidang ekonomi dalam dan luar negeri, yang sama-sama bertujuan untuk menjamin Perdamaian Dunia, karena itu mem- butuhkan kapital di samping teknologi; di samping tenaga kerja, yaitu elemen terpokok untuk menciptakan produktivitas masyarakat. SedangkanVietnam, Korea Utara dan Kuba, rupa-rupanya sudah mengarah seperti Cina dan Rusia juga.
Saya sekeluarga pernah, karena terpaksa, sebagai refugee politik l0 tahun berada di Kuba. Saya bisa memaklumi kalau sekarang negeri-negeri terpaksa berhati-hati untuk 'banting stir'. Kuba butuh kapital, butuh hubungan ekonomi dan perdagangan. Blokade ekonomi dari Amerika membuatnya terisolasi dan menyengsarakan rakyat,walaupun moral revolusioner tetap kuat bertahan.Tapi sampai kapan? Saya kira mereka sedang memikirkan pengalaman sampai di mana bisa mengaplikasikan"mundur selangkah untuk maju dua langkah". Sebab cita-cita sosialisme adalah Tuntutan Hati Nurani Rakyat, yaitu tercapainya "masyarakat adil dan makmur" yang bagi kita, bangsa Indonesia, sudah tegas dan jelas tersimpul di dalam Pancasila. Tapi jangan salah-salah saya menyebut sosialisme di sini, bukan dalam pengertian sosialisme ortodoks, tetapi Sosialisme In- donesia, yaitu: Pancasila! Berketuhanan, berperi-kemanusiaan, demokrasi, sosialisme (kesejahteraan sosial). Dus tidak boleh ada diktator klas atau militer. Ekonomi disusun berdasarkan Pasal 33 UUD'45,Peraturan Negara tidak boleh mematikan perkembangan manusia. Motivasi dan pengaturan pembangunan nasional harus berdasarkan keselarasan keseimbangan kepentingan masyarakat bersama.Tidak seperti Orde Baru Soeharto yang hanya ngaher GNP, tetapi memasa-bodohkan bahkan main gusur kepentingan rakyat banyak, yaitu kaum pekerja.
Itulah di antara lain pokok-pokok perbedaan sosialisme Indone- sia, yaitu Pancasila Sukarno, dengan sosialisme-nya Marx. "Masyarakat sosialis itu hanya dapat diwujudkan dengan perjuangan klas; yang sanggup melakukan perjuangan klas hanyalah kaum buruh (kaum Proletar)", demikian kata Marx. Itulah dia komunisme yang di dalam praktek sejarahnya telah membuka pada peningkatan jalan kemajuan kapitalisme di zaman Abad ke-XXI ini. Begitu banyak korban manusia yang telah diberikan.
Aksioma hukom dialektika selalu berlaku: tese, antitese, sintese. Memang kapitalisme yang membangkitkan kerakusan manusia, sehingga menyerupai binatang. Sedangkan sosialisme bertujuan untuk menciptakan keadaan yang lebih berperikemanusiaan. Tetapi apakah kaum komunis Indonesia tidak salah menerapkan marxisme di Indonesia? Sebagai bukan komunis, saya cenderung mengatakan begitulah. Salah penerapan karena salah menilai tempat dan keadaan, situasi dan kondisi.
Yang ada di Indonesia sebagai basis masyarakat sebagaimana dirumuskan oleh Bung Karno, ialah kaum marhaen. Bukan proletar. Rakyat yang dimiskinkan oleh kolonialisme Belanda selama tiga setengah abad yang satu kakinya masih berada di alam kerajaan Majapahit, dan yang sebelah lagi belum juga bisa sampai ke pinggir pekarangan Pabrik Baja Cilegon (yang di bawah tanah fondasi pabrik tersebut, oleh kami a.n.Angkatan 45, saya dan Chaerul Saleh, sebagai Menteri Industri dan Pertambangan, telah ditanamkan sebalok besi aluminium bertuliskan "Pabrik Baja Cilegon -Angkatan 45, tanggal ... saya lupa tanggal peresmiannya itu).
Kaum buruhnya-pun adalah kaum buruh marhaen (yang tidak bisa dimasukkan ke dalam daftar nothing to lose). Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno menasihatkan "jangan diperuncing itu perjuangan klas .
Kaum miskin memang banyak, yang hidupnya "sebenggol sehari", tetapi mereka itu bukan kaum proletariat. Mereka itu adalah kaum marhaen yang dimiskinkan oleh kolonialisme Belanda. Itu diakui oleh orang Belanda sendiri seperti ditulis oleh Mr. C. Th. van Deventer di dalam de Gids 'Een Eereschuld'("Hutang Budi"), Agustus 1889. Karena itu Belanda melancarkan politik etik di Hindia Belanda.Van Deventer menganjurkan memperluas pengajaran dan mempertinggi perekonomian penduduk. Keuntungan yang diperoleh dari Indonesia seyogianya dapat dipergunakan untuk keperluan tadi. Tetapi Belanda mempergunakan keuntungan itu untuk keperluan jalan-jalan kereta api di Nederland. Kehormatan untuk Mr. Conrad Theodor Van Deventer! Lihatlah bagaimana serakahnya kapitalisme hari ini. Mereka sekarang bahkan memeras bangsa Indonesia bersama-sama orang Pribumi seperti Soeharto.
Demikianlah sekadar tanggapan saya mengenai dasar-dasar materie yang melahirkan teori Marhaenisme Bung Karno, secara pokok dan singkat sekali.
Bung Karno adalah seorang marxis. Itu beliau akui sendiri. Tapi ada sementara "marxis-gadungan" yang berteriak: "Revisionis! Bernstein! Kautsky!" Tidak! Sukarno adalah Sukarno, Bapak Marhaenisme! Andai kata, Marx itu orang Indonesia,janganjangan dia akan turut serta bersama Sukarno menggali Pancasila itu. Faktor tempat, situasi, dan kondisi itulah yang menentukan aksi dan reaksi! Tapi ada lagi pihak yang lain yang tidak mau Sukarno itu dengan jujur dan berani mengaku bahwa Bung Karno itu Marxis. Bahkan ada lagi yang lain karena tidak begitu mengerti apa itu marxisme, serampangan mengecapnya sebagai komunis.
Apakah marxisme itu?
Bung Karno sendiri memberikan jawaban: "Orang mengatakan marxisme adalah seolah-olah'satu agama sendiri', orang mengatakan dia satu star system pula, orang malah mengatakan dia semacam satu hocus-pocus yang dikira bisa dipakai buat menyelami semua sedalam-dalamnya roh dan jiwa, padahal dia hanyalah satu metode saja untuk memecahkan soal-soal ekonomi, sejarah, politik dan kemasyarakatan, satu ilmu perjuangan di dalam ekonomi, politik dan kemasyarakatan. Sesuatu metode berfikir dan sesuatu ilmu perjuangan tidak mesti harus bertentangan dengan sesuatu agama, apalagi kalau agama itu adalah satu agama rasional yang saya visikan itu . . . Kini cukuplah kiranya saya menggambarkan kepada pembaca- pembaca garis-garis besarnya saya punya jiwa. Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap marxis. Syntese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada, satu sintese yang menurut anggapan saya sendiri adalah sintese yang geweldig".
Demikian jawaban Bung Karno yang ditulisnya di Bengkulu dan dimuat dalam surat kabar"Pemandangan", 1941.
Di zaman Orde Baru, Soeharto melarang adanya, dibacanya marxisme. Marxisme sebagai ilmu sosial tidak bisa ditiadakan dengan Surat Keputusan. Eksesnya, yang salah mengaplikasikannya, seperti putch GESTAPU itu, bisa dan harus ditindak-hapuskan. Tetapi marxisme sebagai ilmu sosial-politik secara keseluruhan tidak bisa ditiadakan. Akan sia-sialah, seperti menjaring angin di pematang. Dia adalah angin zaman modern yang berhembus di dalam zaman kapitalisme. Yang harus dijaga dan dicegah yalah eksesnya yang membahayakan kepentingan nasional. Seperti juga kita harus terus- terang bersikap rasional pada kapitalisme, kita membutuhkan kapital bantuannya, tapi kita harus menjaga dan mencegah timbulnya ekses penyalah-gunaan oleh bangsa Indonesia sendiri atas bantuan kapital itu, sehingga tidak membahayakan kepentingan nasional dan selanjutnya membahayakan kapital-kapital itu sendiri yang kita dapatkan tidak secara gratis atau budi-baik, melainkan dengan susah- payah, bahkan dengan segala pengorbanan bangsa dan rakyat yang tidak tepermanai. Baik korban-korban dari golongan kiri, maupun korban-korban dari golongan kanan, temasuk korban satu juta manusia akibat GESTAPU atas tanggungjawab Soeharto.
Agak ngelantur, ya ngelantur lagi sedikit, uitstomen sedikit lagi mengeluarkan uneg-uneg saya sebagai seorang pejuang yang sudah menjadi tua begini, saya ingin mengatakan kalau kolonialisme Belanda selama tiga setengah abad menjajah kita dan nenek-moyang kita itu, tidak begitu kelewatan kejam dan onmenselijk, sudah keterlaluan tidak berperikemanusiaannya (bacalah antara lain Multatuli). Saya kira PKI yang menggantikan ISDV Sneevlet itu, tidak akan menjadi extra extrem radikal, seperti yang dapat kita ketahui sepanjang sejarahnya, apalagi mempelajari ilmu marxisme itu selengkap-lengkapnya dan sedalam-dalamnya.
Agak ngelantur, ya ngelantur lagi sedikit, uitstomen sedikit lagi mengeluarkan uneg-uneg saya sebagai seorang pejuang yang sudah menjadi tua begini, saya ingin mengatakan kalau kolonialisme Belanda selama tiga setengah abad menjajah kita dan nenek-moyang kita itu, tidak begitu kelewatan kejam dan onmenselijk, sudah keterlaluan tidak berperikemanusiaannya (bacalah antara lain Multatuli). Saya kira PKI yang menggantikan ISDV Sneevlet itu, tidak akan menjadi extra extrem radikal, seperti yang dapat kita ketahui sepanjang sejarahnya, apalagi mempelajari ilmu marxisme itu selengkap-lengkapnya dan sedalam-dalamnya.
Saya ingat lelucon Bung Karno di hadapan Kursus Pemuda Menteng 31 pada tahun 1943, di mana ada juga pemuda D.N.Aidit di situ.Yaitu tentang orang-orang buta yang mau mengetahui rupa, bentuk gajah dengan sekali raba saja. Begitulah, ada yang kebetulan pegang buntut saja, ada yang pegang kupinguya, ada yang mempegang "senjatanya" saja - tapi masing-masing berkeras-hati mengatakan begitulah rupa dan bentuk gajah seperti yang telah terpegang olehnya tadi. Demikianlah, maka senang sekali hati Aidit terpaut pada cara dan karisma Bung Karno memberikan kursus politik.
Saya mau mengatakan bahwa bagaimana aksi itu sendiri, demikianlah reaksi, yang dilahirkannya!
Lalu, sekarang bagaimana dengan Pancasila? Di zaman apa yang disebut pasca Sukarno, di zaman mencairnya Perang Dingin, di zaman masuknya kita ke abad ke-XXT yang katanya menyerokan era globalisasi?? Di zaman tegak bertolak-pinggangnya kapitalisme internasional di atas seluruh jagad sendiri yang telah merobohkan pilar kekuasaan Bolshewik Uni Sovyet, musuh dan sekutunya sekaligus di dalam Perang Dunia ke-II.
Lalu bagaimana kita harus bersikap sekarang? Kita bangsa Indo- nesia yang relatif kecil dalam arti GNP, tetapi besar daam arti cita- cita dan ideal, kita harus bertolok-ukur pada bagaimana akseptasinya zaman baru kapitalisme internasional ini kepada Pancasila, yaitu Sosialisme Indonesia. Sejak Presiden Jimmy Carter yang pertama- tama memasukkan Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam kebijakan politik luar negeri Amerika, daya fantasiku seakan-akan melihat bintang di cakrawala, Stars and Stripes itu. Daya fantasiku itu melayang pula kepadaThomasJefferson, penggaris Declaration of Independen,Juli 1776, seorang demokrat yang besar dan pendiri Partai Demokrat yang pertama di Amerika. Presiden Bush saya anggap seorang war monger! Sesudah Partai Demokrat mengalahkan Partai Republik dan menaikkan Bill Clinton sebagai Presiden Amerika Serikat, saya undang seluruh keluarga mengadakan selamatan di restoran kami yang sederhana itu,di "Djakarta - Bali". Saya kirimkan ucapan selamat kepada H.E. President Bill Clinton dengan harapan yang terbaik semoga ia menjadi symbol of newAmerica. Begitu juga ketika beliau dipilih untuk kedua kalinya pada tahun 1996. White House menya- takan telah menerima surat saya tersebut. Mengapa? Naif? Terserah! Satu insan manusia ciptaan dan diciptakan Tuhan, kepadanya kita memohon dan kepadaNya pula kita akan kembali. SedangLan batu sekalipun mempunyai arti penting di dalam conturenya.
Di zaman kapitalisme internasional inilah di dalam hemisphere demokrasi liberal kita menggunakan kesempatan untuk berjuang terus menegakkan Pancasila, masyarakat yang berkeadilan sosial atau Sosialisme Indonesia.
Namun bagaimana pun Pancasila yang jelasjemelas berasaskan demokrasi, tidak mungkin ditegakkan di bawah alam kediktatoran militer Soeharto seperti tigapuluhan tahun ini. Dua ratus juta manusia, artinya dua ratus juta manpower, tenaga produktif kapital menuntut demokrasi sebagai Hak Asasi Manusia. Logisnya, tentulah tidak bisa terus-terusan dianggap sepi oleh duniaAmerika dan dunia Eropa, seperti telah terjadi tigapuluhan tahun ini. Sebab pasti akan merugikan kedua belah pihak: Indonesia dan negeri-negeri kapitalis pemberi dana. Saya tahu, suara-suara demokratis di USA dan di Eropa sudah saya dengar, dan tulisan-tulisannya sudah saya baca. Memang! Tentang pseudo-demokrasi, korupsi, autokrasi. Memalukan!
Rezim diktatorial Soeharto dan Orde Barunya yang autokratik dan korup harus diganti dengan pemerintahan yang demokratis yang lebih menghargai kepentingan nasional di atas keserakahan segolongan kecil elit konglomerat, dan menjunjung tinggi hubungan ekonomi dan perdagangan dengan pihak luar negeri demi kepentingan pembangunan nasional.
Komentar