Kaki Langit
Kaki Langit
DI makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada seorang yang
luar biasa berjasa, tapi ia tak punya identitas. Ia praktis sebuah
penanda yang kosong. Tapi hampir tiap bangsa, atau lebih baik: tiap ide
kebangsaan, memberi status yang istimewa kepada sosok yang entah
berantah yang terkubur di makam itu.
Orang yang pertama kali melihat fenomen itu adalah Benedict Anderson.
Dalam Imagined Communities-nya yang terkenal itu, ia menulis:
”Betapapun kosongnya liang lahat itu dari sisa-sisa kehidupan yang fana
dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat dengan anggitan tentang
’kebangsaan’ yang membayang bagai hantu.”
Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan ruang kosong untuk sebuah cita-cita. Seperti kita memandang ke kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita ingin jelang. Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan yang bagai hantu tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas.
Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal” dan ”kita”
ada pertautan dan juga jarak. Ia yang gugur itu adalah seorang yang
sebenarnya asing—bukan yang dalam bahasa Inggris disebut foreigner,
melainkan stranger—tapi ia juga bagian terdalam dari aku dan engkau.
Jika tampak ada yang bertentangan di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa—seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928 itu—memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara yang asing dan yang tak asing dalam dirinya sendiri.
Jika tampak ada yang bertentangan di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa—seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928 itu—memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara yang asing dan yang tak asing dalam dirinya sendiri.
Seperti sang pahlawan yang tak dikenal itu: yang termasuk dalam
”kita” tak selamanya datang dari puak kita. Salah satu anasir dalam
bangsa bisa bekerja untuk unsur yang lain, meskipun keduanya tak saling
kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang satu disebut ”asing” oleh
yang lain.
Itulah sebabnya kepeloporan para pendiri Indische Partij tak dapat dilupakan: ”orang Indonesia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”, untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang tak terhingga. Sebab sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu siap menjangkau yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak bisa dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.
Itulah sebabnya kepeloporan para pendiri Indische Partij tak dapat dilupakan: ”orang Indonesia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”, untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang tak terhingga. Sebab sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu siap menjangkau yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak bisa dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.
Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya buat kau dan aku, tapi ia bukan bagian kau dan aku.
Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat sebuah
paradoks: sesuatu yang universal ada di dalamnya. Sebab sebuah bangsa
pada akhirnya hanya secara samar-samar, seperti hantu, bisa merumuskan
dirinya sendiri. Yang penting akhirnya bukanlah definisi, melainkan
hasrat.
Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti kecuali mati.
Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti kecuali mati.
Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bukan sebuah
asal. Ia sebuah cita-cita—dan di dalamnya termaktub cita-cita untuk
hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan. Bangsa adalah kaki
langit.
Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk
disimpan dalam hati. Sebab ia impian untuk merayakan sesuatu yang bukan
hanya diri sendiri, meskipun tak mudah.
"Sebuah bangsa adalah sebuah proses"
Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif, tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam Worstward Ho, ”Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.”
Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif, tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam Worstward Ho, ”Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.”
Doc : Pojok Tempo
Komentar