Proletariat
PADA suatu hari di tahun 2010, seorang perempuan dari Utara membayar
lebih dari satu juta dolar untuk membeli beberapa ekor anjing.
Dan kita tercengang: Cina bukan lagi Mao. Saya tak tahu masih adakah
orang di sana yang ingat Mao Zedong yang pernah berbicara berapi-api
tentang ”proletariat”, ”proletariat gelandangan”, dan
”semi-proletariat”, kelompok miskin yang akan membebaskan Cina dari
”keadaan setengah feodal dan setengah kolonial”.
Tampaknya kini yang membebaskan—atau yang menjerat?—adalah uang dan
hasrat, dan dengan itu banyak batas diterobos. Perempuan dari Utara itu,
seperti ditulis China Daily, pada hari itu mengirimkan 30 mobil
Mercedes-Benz ke bandara untuk menjemput hewan yang dipesannya.
Ia pasti salah seorang dari 835.000 orang miliarwan yang ada di
Republik Rakyat yang berpenduduk sekitar 1.330.000.000 ini. Ia pasti
bagian dari 0,06 persen warga yang hidup berkelimpahan dan tak merasa
berdosa atau rikuh di negeri yang setengah abad yang lalu diguncang
”Revolusi Kebudayaan Proletar” itu.
Setengah abad yang lalu itu para pengikut Mao yang militan bahkan
siap membunuh seekor babi yang dimiliki tetangga dengan granat; babi itu
tanda kelas ”borjuis”. Pada awal abad ke-21 sekarang orang berduit
membayar dengan harga mahal anjing jenis Mastiff Tibet.
Walhasil, kita tak pernah paham benar bahwa Cina masih menganggap
diri ”komunis” tapi hidup dengan ketimpangan sosial yang demikian tajam.
Tentu harus dicatat, indeks Gini, yang menunjukkan ketimpangan itu,
di Cina sudah mulai menurun. Kini angkanya sekitar 40,8. Tetapi
dibandingkan dengan itu, Indonesia sedikit lebih baik: 39,4. Tak
meratanya pembagian kekayaan di Cina bahkan kurang-lebih sama dengan
keadaan di negeri kapitalis yang paling timpang, yakni Amerika Serikat,
dan jauh lebih buruk ketimbang Inggris, yang mencatat koefisien Gini 36.
Agaknya bayang-bayang Marx tak pernah berkelibat lagi di Mausoleum
Mao di Beijing. Marx menganggap milik privat (anjing Mastiff, mobil
Mercedes-Benz, babi kurus, atau sepetak tanah) sebagai sumber
keterasingan manusia dari proses kerja. Ia pernah mengumandangkan bahwa
justru kaum buruh—yang tak punya apa-apa, kecuali ”rantai yang
membelenggunya”—yang akan jadi pelopor penggerak ke masa depan yang
bebas dari keterasingan. Tapi di Cina kini Marxisme telah jadi benda
museum prasejarah. Dan kita tak tahu lagi di mana pula mereka,
proletariat.
Sejak mula sebenarnya ”proletariat” memang sebuah kelas sosial yang
ganjil di Cina. Dalam sebuah tulisan pada 1926, ”Analisis Kelas dalam
Masyarakat Cina”, Mao mengakui, proletariat hanya berjumlah dua juta.
Buruh industri itu terutama bekerja di kereta api, pertambangan,
pengangkutan laut, tekstil, dan pembuatan kapal, ”dan sejumlah yang
sangat besar di antaranya diperbudak dalam perusahaan modal asing”.
Tapi, sebagaimana layaknya seorang Marxis sejati, Mao percaya, kelas
buruh ini ”yang paling progresif” pantas jadi ”kekuatan memimpin dalam
gerakan revolusioner”.
Sebab, berbeda dengan kalangan lain, buruh industri tinggal dan
bekerja memusat, di sekitar lokasi yang sama. Lebih penting lagi, tulis
Mao, ”mereka telah kehilangan alat produksinya, tinggal punya dua tangan
saja…”.
Tapi persoalan yang timbul segera setelah itu: bagaimana kelas buruh,
dalam posisi bukan mayoritas, dapat menggunakan cara pandang mereka
yang menurut Marxisme bersifat istimewa, untuk jadi standar masyarakat
umumnya?
Kita tahu, Mao—setelah Lenin—menganggap penting bukan hanya buruh,
tapi juga peran petani untuk menggerakkan Revolusi. Mao tak akan
mengatakan orang-orang pedalaman itu bagian dari apa yang disebut Marx
sebagai ”kedunguan dusun”. Tapi para petani, juga yang paling tak
berpunya, selalu ingin punya tanah. Mereka bagaimanapun tak ingin
merayakan heroisme kaum yang tak punya apa-apa.
Hasrat itu, ”borjuis” sifatnya, pada akhirnya memang tak teredam.
Kita tak bisa mengatakan bahwa kodrat manusia adalah ingin empunya dan
makin rakus, tapi Marx punya kesalahan ketika ia menganggap milik
pribadi dengan sendirinya penyebab alienasi manusia, ketika manusia
mengutamakan apa yang jadi miliknya dan tak lagi jadi tuan dari benda
dan kerja.
Dalam perkembangan politik Cina, alienasi justru berlangsung ketika
manusia merunduk di hadapan buah tangannya sendiri yang lain—kali ini
bukan milik diri sendiri, melainkan justru sesuatu yang hampir
sepenuhnya sosial: tata simbolik—kata, slogan, dan doktrin. Juga
organisasi, baik dalam bentuk kontrol kehidupan sehari-hari dari unit
tetangga maupun, lebih agung lagi, Partai Komunis.
Di Cina, kediktatoran proletariat berbeda dari yang dibayangkan Marx.
Ketika ia menyusun teori sejarahnya, Marx memperhitungkan bahwa pada
suatu tahap perkembangan kapitalisme, proletariat akan jadi golongan
yang melimpah. Borjuis kecil akan dicaplok borjuis besar dan, seperti
kaum buruh, akhirnya tak punya apa-apa lagi. Yang papa jadi mayoritas.
Tapi, dengan jumlah kaum buruh industri yang begitu kecil di tengah
kaum yang lain, yang terjadi adalah kediktatoran yang cemas. Ia harus
defensif dan ofensif sekaligus. Ia harus meyakinkan. Ia harus ketat,
dalam manajemen tubuh dan pikiran orang ramai.
Akhirnya ia jebol juga. Partai boleh tetap berkuasa, tetapi etos
proletariatnya telah dihapus. Pembebasan ternyata bukan datang dari
mereka yang tak punya apa-apa, tapi dari punya dan keinginan untuk
punya.
Bersama itu, segala yang ganjil dan gila-gilaan pun bisa terjadi,
juga sebuah alienasi lain: 30 mobil Mercedes-Benz untuk menjemput
anjing….
Mungkin sesekali kita perlu bertanya, bagaimana dengan milik dan bukan-milik manusia bisa bebas.
Doc : Pojok Tempo
Komentar