Mak
Pada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap, termasuk
Pavel—dan Maksim Gorky menulis novel Mat’. Pramoedya Ananta Toer
menerjemahkannya dengan Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah
”Mak”.
”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat, dan tokoh novel
ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang mendampingi anaknya dalam
perjuangan buruh itu, patut disebut dengan sungkan dan sekaligus mesra,
bak Maria yang melahirkan Yesus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda”
adalah kata panggilan di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di
lapisan rendah masyarakat.
Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu mencerminkan
paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan semangat perjuangan:
menyatakan diri bagian dari ”realisme” tapi condong ke arah mitologi.
Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova yang berjalan ke
mana-mana menyebarkan pamflet revolusi setelah anaknya ditahan polisi
dalam sebuah aksi massa.
Tapi, dalam novel ini, sang ibu—dengan iman
Kristennya yang masih utuh, dengan cintanya kepada Pavel, sang anak yang
berubah dari si bandel jadi pejuang buruh—senantiasa hadir sebagai
bayang-bayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia
sehari-hari.
Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai, ketika polisi mulai mengepung:
”Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua, membangunkannya
dari kematian, sebagaimana aku dibangunkan, beberapa orang telah datang,
mereka yang secara bersembunyi-sembunyi telah menyaksikan kebenaran
dalam hidup. Bersembunyi-sembunyi, sebab, kalian tahu, tak seorang pun
dapat mengucapkan kebenaran itu dengan lantang. … Sejauh ini kebenaran
adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak akan dapat diajak
damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah membawa kebenaran ke
dunia.…”
Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan kenisah:
kata ”kebenaran” disebut berkali-kali. Dan ketika akhirnya polisi
menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti. Perempuan ini seakan-akan
martir yang tak bisa luka.
Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang didesain
sang pengarang. Mungkin itu sebabnya novel ini tak punya banyak kelok
yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu pesan yang hendak
disampaikan Gorky, kita segera temukan garis lurus antara bab pertama
yang melukiskan kehidupan kumuh kaum proletar dan bagian akhir yang
menunjukkan kegagahberanian.
Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ketika dibaca
di awal abad ke-20 di Rusia, di awal abad ke-21 ini akan disambut dengan
satu tarikan napas: tak ada yang baru di situ.
Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, realisme
problematis. Kini manusia adalah ”orang”, makhluk yang lebih
mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu dasawarsa setelah
Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjukkan bahwa kita semua (juga para
nabi dan pahlawan) punya bawah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan
hasrat kenikmatan. Kini kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh.
Dan apa arti ”realisme”, jika ”realitas” kian disadari sebagai dunia hasil konstruksi yang didukung bahasa sendiri?
Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi kebanggaan
maknya, berdiri di samping bendera merah yang berkibar: ”Kawan semua!
Kita telah putuskan untuk menyatakan secara terbuka siapa kita; kita
junjung bendera kita hari ini, bendera nalar, kebenaran, kebebasan!”
Begitu meyakinkankah ”nalar”?
”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara
menyahut, ”Hidup Partai Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita… ibu
rohani kita.”
Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”?
Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai sebagai ”ibu
rohani” adalah bagian dari iman gerakan Bolsyewik. Tapi, September 1980,
kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan mereka, Solidarnosc, yang
menentang Partai Komunis yang berkuasa atas nama proletariat. Kita pun
diingatkan kembali: kaum pekerja lahir dari kerja—bukan dari ideologi.
Ideologi adalah hasil dari ”nalar”.
Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari
otot dan peluh, sedangkan Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak
bersentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani para proletar.
Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin menghabisi
kapitalisme. Di Indonesia, ada yang lebih menderita: para penganggur,
yang tiap kali buruh memperoleh upah minimum yang lebih tinggi, tiap
kali pula para tunakarya itu kehilangan kesempatan kerja.
Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’ terbit,
Partai, ”si ibu rohani”, belum berkuasa dan berubah jadi Bapak yang
streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya, Novaya Zhin, diberangus
Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menulis sebuah buku yang
kritis—yang baru bisa diterbitkan di Rusia setelah Uni Soviet runtuh.
Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak mengingat Engels
(dalam Anti-Dühring) yang menunjukkan pentingnya elemen jasmani dalam
kerja dan sejarah.
”Kerja”, bukan ”karya”, berasal dari badan yang tegak, ketika manusia
tak lagi menggunakan tangannya untuk merangkak. Tangan yang bebas
itulah yang membentuk kerja: menenun dan meniup serunai, menulis alkisah
dan Alkitab. Otak pun berkembang amat jauh, hingga ”nalar” seakan-akan
lepas dari jasmani.
Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu sebabnya
dalam novel ini Si Rus Kecil berseru: ”Kawan-kawan! Kita telah memulai
sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang baru, Tuhan Kebenaran dan
Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!”
Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada ”roh”, agama yang ngumpet di
balik ”materialisme dialektik”, mitologi yang berbaju ”realisme”. Tak
aneh jika para pejuang sering lupa: yang merasa benar dan kekal akan
terasing dari sejarah.
Doc : Pojok Tempo
Komentar