Menguraikan Simpul-Simpul Rumit

    Menguraikan Simpul-Simpul

           Rumit

(Oleh : Ignas Legowo)


Bandit Besar Dalam Gambar Besar


"Bukankah seharusnya tragedi-65 juga dilihat dalam konteks 'gambar besar'nya?" itu komentar dari Wisconsin. Dia memberi contoh, "Dalam konteks Perang Dingin, pada awal tahun 60-an di kawasan Asia Tenggara terjadi dua peristiwa besar. Yaitu terbentuknya Malaysia, September 1963, dan Peristiwa Teluk Tonkin, Agustus 1964." Pertanyaannya, "Apa arti gambar besar itu dalam mengolah jiwa bangsa?"
Saya setuju bahwa untuk memahami tragedi-65 kita harus memahami juga konteks global atau 'gambar besar' itu. Karena dalam Perang Dingin baik Blok Barat maupun Blok Timur berkepentingan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Hasil studi atau pustaka tentang "Apa maunya Uni Soviet", itu memang belum muncul.
Mungkin setelah Perang Dingin selesai, akan banyak arsip di Kremlin yang bisa dipelajari. Sedangkan tentang "Apa maunya AS?" itu sudah ada beberapa studi yang bagi saya cukup meyakinkan. Dua buku yang terbit tahun 1995 ini akan saya pakai sebagai pustaka utama:
(1) "Subversion As Foreign Policy", oleh Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin (selanjutnya disingkat K&K), dan
(2) "To Have And Not To Have", oleh Jonathan Marshall (disingkat JM).
Ada enam pokok pikiran yang saya dapat setelah membaca kedua buku itu:
(1) Industri AS dan juga Inggris, sekutunya di Eropa, butuh suplai bahan baku dari Asia Tenggara;
(2) Setelah Perang Dunia-2 nasionalisme di Asia Tenggara dan komunisme yang berkembang di RRC menjadi ancaman besar bagi kekuasaan AS di Asia;
(3) Hubungan AS dengan Jepang berkembang di tahun 50-an. Secara militer Jepang dikebiri, tetapi secara ekonomi harus diperkuat. Untuk itu bahan baku Asia Tenggara dibutuhkan;
(4) Untuk menjaga suplai bahan baku kalau perlu dilakukan intervensi militer;
(5) Intervensi militer itu ditutupi dengan ideologi anti-komunis yang bisa menandingi nasionalisme;
(6) Untuk menerapkan ideologi tandingan itu dibutuhkan partner lokal. Kira-kira seperti itulah gambar besar yang bisa saya lihat ketika tragedi-65 terjadi.
Tulisan bagian-4 ini akan mencoba menceritakan gambar besar sejauh saya bisa memahaminya.

Bahan Baku

Sejak permulaan abad 20 kebutuhan AS akan bahan baku dari Asia Tenggara terus meningkat akibat proses industrialisasi di AS.
Kalau tahun 1910 hanya 10% bahan baku didapat dari Asia Tenggara, maka tahun 1939 sudah mencapai 30% (JM, h x). Pada tahun 1940, suatu studi dari "Army and Navy Munitions Board" al menyimpulkan bahwa bahan baku ini punya nilai strategis karena, "So closely knit into our modern industrial structure that the whole trend of modern life would be disorganized without them" (JM, 18).
Ada 14 bahan baku yang dianggap strategis: antimonium, chromium, coconut shell char, mangan, serat manila, merkuri, mika, nikel, kristal kwarsa, kina, karet, sutra, timah dan tungsten.
Daerah Timur Jauh, khususnya Asia Tenggara dan India adalah pemasok utama dari bahan-bahan baku yang strategis itu (JM, 10). Berikut ini beberapa kutipan dari hasil studi lembaga risetnya AD dan AL Amerika Serikat itu.
Chromium dibutuhkan untuk memproduksi baja kualitas tinggi yang menjadi tulang punggung dari industri tinggi. Sebagian besar bahan bakunya didapat d ari Pilipina dan Kaledonia Baru. Mangan juga bahan baku penting untuk membuat baja kualitas tinggi. AS mengimport seperempat kebutuhan mangan dari India dan Asia Tenggara.Daerah Timur Jauh, khususnya Asia Tenggara dan India adalah pemasok utama dari bahan-bahan baku yang strategis itu (JM, 10). Berikut ini beberapa kutipan dari hasil studi lembaga risetnya AD dan AL Amerika Serikat itu.
Chromium dibutuhkan untuk memproduksi baja kualitas tinggi yang menjadi tulang punggung dari industri tinggi. Sebagian besar bahan bakunya didapat d ari Pilipina dan Kaledonia Baru. Mangan juga bahan baku penting untuk membuat baja kualitas tinggi. AS mengimport seperempat kebutuhan mangan dari India dan Asia Tenggara.
Mika dianggap strategis karena menjadi bahan insulator yang dibutuhkan oleh semua industri elektronika.
Serat manila penting sebagai bahan pembuat tali untuk kebutuhan pelayaran, industri minyak, dsb. Seluruh dunia mendapat suplai serat manila dari Pilipina.
Kina mutlak perlu sebagai obat anti malaria, dan seluruh kebutuhan AS disuplai dari Hindia Belanda.
Tungsten juga diperlukan AL(Angkatan Laut) dalam industri baja dan sebagian besar didapat dari Timur Jauh, terutama Cina, Birma dan Malaya.
Dan tak ada yang lebih memusingkan dari pada kebutuhan industri akan timah. Karena bahan ini dibutuhkan dalam bermacam industri seperti pipa, elektronika, dan berbagai mesin.
Pemasok terbesar dari timah adalah Malaya (jajahan Inggris) dan Hindia Belanda. Selain timah, bahan baku yang paling penting adalah karet yang dianggap sama pentingnya dengan mesiu. Apalagi karena karet mutlak perlu untuk industri non-militer seperti mobil. Pada tahun 1940-an itu, 90% kebutuhan karet AS disuplai dari Malaya dan Hindia Belanda. Studi itu dibuat pada saat Perang Dunia-2 baru mulai di Eropa.
Sebagai contoh bagaimana strategisnya kebutuhan bahan baku ini, untuk membuat 100 buah tank dibutuhkan 1 juta pound karet, 66 ribu pound chromium, 53 ribu pound mangan, 3,5 ribu pound timah. Kesimpulan studi itu jelas, suplai bahan baku tidak boleh terputus baik untuk kebutuhan militer maupun untuk industri non-militer.
Kesimpulan lain dari studi itu adalah daerah penghasil bahan baku yang strategis itu harus DIAMANKAN.
Begitu juga jalur pengangkutan bahan-bahan ini dari sumbernya ke Inggris dan AS. Armada ke-7 AS di Pilipina yang menjamin keamanan jalur pengangkutan itu yaitu Laut Cina Selatan dan Selat Malaka.
Dalam buku Jonathan Marshal, Perang Dunia-2 di Pasifik bisa dilihat sebagai akibat rebutan bahan baku antara blok Barat melawan Jepang yang juga membutuhkan bahan-bahan baku yang sama untuk kebutuhan industrinya. Walaupun belum ada studi tentang kebutuhan bahan baku Jepang, tetapi sudah umum kita ketahui bahwa Jepang sangat miskin dengan bahan baku. Dan Jepang juga tahu bahwa sumber bahan baku adalah Asia Tenggara.
Tapi Armada-7 jadi hambatannya. Itu sebabnya dalam Perang Dunia-2, yang pertama di gempur oleh Jepang adalah Pearl Harbour, pangkalan Armada-7, kemudian pangkalan AS di Filipina.
Setelah itu baru armada dan pasukannya menyerbu ke selatan, mengusir Amerika, Perancis, Inggris dan Belanda sekaligus. Lalu mengajak bangsa-bangsa Asia untuk menciptakan, "Asia Timur Raya". Maksud sebenarnya mudah ditebak karena daerah Hindia Belanda yang pertama direbut Jepang adalah lapangan minyak Tarakan dan Bunyu. Kebutuhan bahan baku itu selalu merupakan faktor penting, tetapi kadar pentingnya berbeda-beda dari masa ke masa.
Setelah Perang Dunia-2 selesai, praktis AS menjadi adi kuasa yang tak ada tandingannya di dunia. Dia bisa dapat bahan baku dari mana saja, kecuali dari Blok komunis. Pentingnya bahan baku Asia Tenggara jadi agak berbeda. Sejak Jepang, Korea Selatan dan Taiwan masuk dalam orbit blok Barat, maka bahan baku Asia Tenggara, terutama minyak dan gas Indonesia, dibutuhkan untuk mengembangkan industri di ketiga negara itu.
Ringkasnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan kebutuhan akan bahan baku ini. Daerah sumbernya, nilai strategisnya, dan jalur suplainya. Setelah Perang Dunia-2 selesai menteri luar negeri AS George Marshall memberi peringatan tentang, "Bahaya nasionalisme yang bisa menggangu daerah yang sangat vital untuk kepentingan ekonomi AS." Nasionalisme itu memang arus jaman yang pada tahun 40-an dan 50-an sedang melanda Asia Tenggara. Sehingga AS harus memberi "Perhatian khusus untu k masa depan Asia Tenggara" (JM, 186). Perhatian khusus mulai diberikan sejak Perjanjian Postdam. Membendung nasionalisme dan komunisme.
Dalam Perjanjian Postdam pada bulan Juni 1945, ketika PD-2 hampir selesai, diputuskan bahwa AS akan memimpin penyerbuan ke Jepang dipimpin oleh jendral Mc Arthur, sedangkan Asia Tenggara diserahkan kepada laksamana Mountbattten dari Inggris. Filipina bukan masalah bagi AS karena kemudian diduduki. Walaupun miskin sumber alam, Pilipina sangat strategis sebagai pangkalan militer.
Tgl 15 Agustus 1945 Jepang takluk, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Vietnam pada tanggal 7 September 1945. Di dua negara itu nasionalisme sedang menghebat. Bulan September tentara Inggris mendarat di Jawa untuk memulihkan kekuasaan Belanda. Dan bulan Oktober-November terjadi pertempuran Surabaya, bagian awal dari revolusi kemerdekaan kita. Sedangkan di Vietnam tentara Inggris membawa pasukan Perancis, dan pertempuran meletus di awal 1946. Tubrukan antara nasionalisme dan kepentingan Barat ini tak terhindarkan.
Selama di Indonesia dan Vietnam terjadi revolusi kemerdekaan melawan Belanda dan Perancis, di Eropa Perang Dingin sudah mulai. AS memberi bantuan ekonomi besar-besaran kepada kedua negara itu, yang dikenal dengan nama Marshall Plan. Usaha Belanda untuk mendapatkan kembali Hindia Belanda dan juga usaha Perancis untuk mendapatkan kembali Vietnam tidak mungkin dilaksanakan tanpa Marshall Plan. "It was evident to the Indonesians that the United States was providing crucial support to the Netherlands. Any peasant could see that the Dutch were using weapons supplied by the United States, for many of the tanks, trucks and planes still bore U.S insignia, and, at least as late as January 1949, some members of the Netherlands' crack Marine Brigade wore combat fatigues clearly marked (above the breast pocket) 'U.S. Marines.' ..... It was widely believed too that the United States was also financially underwriting the Netherlands effort to reconquest" (K&K, 30).
Di Indonesia, Agresi-1 (20 Juli 1947) dan Agresi-2 (18 Desember 1948) itu bisa dilakukan karena di belakangnya ada duit dan bedilnya AS. Pada akhir 1949 kemenangan Mao melawan Chiang Kai Shek, yang didukung dan dipersenjatai oleh AS, merubah seluruh kekuatan di Asia. AS dan sekutunya bukan hanya harus menghadapi nasionalisme di Indonesia dan Vietnam, tetapi juga bahaya komunisme di Cina. Pemerintahan presiden Truman waktu itu, "More readily accepted the colonial powers' contention that their conflicts were fundamentally aimed at containment of the spread of communism rather than reestablishment of colonial rule" (K&K, 31). 
Belanda kurang mujur dengan propaganda tentang bahaya komunis itu. Karena setelah komuni s ditumpas dan para pemimpinnya dibunuh dalam Peristiwa Madiun bulan September 1948, terbukti pemerintahan Sukarno-Hatta bukan komunis. Kebutuhan Blok Barat termasuk sekutunya di Asia seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, terhadap bahan baku dari Asia Tenggara sekarang mendapat tantangan baru, yaitu nasionalisme.
Dengan ideologi nasionalisme itu negara baru seperti Indonesia dan Vietnam ingin mengolah kekayaan alam mereka untuk melayani kepentingan rakyatnya. Tapi Blok Barat sudah menemukan suatu tabir baru untuk menutupi maksud mereka sebenarnya, yaitu politik 'containment', politik membendung komunisme.
Politik ini kemudian berkembang menjadi semacam ideologi dengan banyak teori pendukungnya seperti teori 'domino' yang termashur itu, dan sederetan lagi teori tentang modernisasi, pembangunan ekonomi, kestabilan, dsb. Ideologi anti komunis inilah yang kemudian dipakai untuk melawan nasionalisme.
Ampuhnya ideologi anti-komunis ini sangat terlihat dalam intervensi AS dalam pemberontakan PRRI/Permesta di akhir tahun 50-an. Kemudian dilanjutkan dengan pembinaan intensif pada Angkatan Darat. Terlihat jelas dalam tragedi-65, terlihat juga dalam paham pembangunan Orde Baru, dalam konsep kestabilan, bahaya laten, dsb.


Ideologi anti-Komunis, partner lokal dan Intervensi Militer

 

Pangkalan militer AS di kawasan Pasifik sudah lama ada di Pearl Harbour, Pilipina (Subic dan Clark), Guam dan setelah PD-2 bertambah dengan pangkalan baru di Okinawa, Taiwan, Korea Selatan dan Vietnam Selatan. Sedangkan kekuatan militer Inggris berkuasa di Singapura. Dengan sederetan pangkalan itu jalur ekonomi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan dikuasai. Kekuatan militer itu sudah berada dalam suatu komando yaitu Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO).
Kekuasaan ekonomi juga kokoh karena hampir seluruh perdagangan Asia Timur dan Tenggara adalah dengan Blok Barat. Lautan memang dikuasai tapi di daratan banyak masalah. Rakyat Vietnam bangkit melawan Perancis dan mereka menang setelah benteng Dien Bien Phu berhasil digempur (1954). Dari pemain di belakang layar AS mulai turun sendiri ke gelanggang.
Di Indonesia, Pemilu-55 menghasilkan empat besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI). Yang l ebih mengkhawatirkan AS adalah hasil Pemilu Daerah 1957. Di P. Jawa yang memilih PKI meningkat pesat, dari 19,8% dalam Pemilu-55 menjadi 30,5% dalam Pemilu Daerah-1957. Sementara itu ketegangan antara pusat dan daerah mulai meningkat, baik di kalangan sipil maupun militer. Hubungan antara pimpinan militer pusat, Nasution dan stafnya, dengan para kolonel di Sumatra dan Sulawesi sudah tegang.
Penyelundupan kopra dan karet menjadi sumber pendapatan para kolonel daerah. Dengan sumber dana sendiri, mereka mau lebih otonom, mau lebih bebas dari kontrol pusat. Nasution didukung sepenuhnya oleh Sukarno-Hatta untuk menegakkan kontrol pusat.
Lalu dia memindahkan para panglima daerah itu. Warouw, panglima Indonesia Timur, diberi tugas baru sebagai atase militer di Peking. Tetapi beberapa kolonel Sumatra yang tidak setuju dengan rencana Nasution kemudian mendirikan Dewan Banteng dipimpin oleh kolonel Ahmad Huse in, panglima Sumatra Barat. Tgl 20 Desember 56, Husein mengambil kekuasaan sipil di Bukit Tinggi atas nama Dewan Banteng. Simbolon, panglima Sumatra Utara coba merebut kekuasaan sipil di Medan, tetapi gagal. Kolonel Barlian, Panglima Sumatra Selatan meresmikan berdirinya Dewan Garuda yang tidak mengambil alih kekuasaan sipil di Palembang tetapi bertindak sebagai 'penasehat'. Kolonel Sumual, panglima Indonesia Timur yang baru saja menggantikan Warouw, memproklamirkan keadaan darurat di wilayahnya dan mengambil alih kekuasaan sipil di Makasar.
Tanggal 2 Maret 1957 dibacakan "Piagam Perjuangan Semesta Alam" (Permesta) yang menuntut: otonomi daerah yang lebih besar, kontrol terhadap pendapatan daerah, desentralisasi dan kembalinya dwitunggal Sukarno-Hatta. Menyusul proklamasi Permesta, kolonel Barlian di Sumatra Selatan juga mendirikan pemerintahan militer dan menyingkirkan gubernur sipil. Para panglima daerah mendapat dukungan juga dari tokoh-tokoh sipil. Bantuan terbesar diperoleh dari Profesor Sumitro. Bekas menteri keuangan itu oleh militer dituduh korupsi, lalu dia diperiksa. "In March, the army had summoned Sumitro for questioning because of his association with a Chinese businessman who had been arrested on charges of fraud, bribery and subversion. After two interrogations regarding his financial ties with the businessman, Sumitro refused to comply with a third summons on May 8, 1957, and instead fled Jakarta" (K&K, 70-71). Sumitro kabur ke Sumatra dan bergabung dengan para kolonel. Bersama Simbolon, Sumitro menjadi jurubicara para kolonel di luar negeri. Di Singapura Sumitro menghubungi agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta (K&K, 71). Tanggal 7-8 September, Sumitro bertemu dengan para kolonel pembakang di Palembang.
Pertemuan itu mencetuskan "Piagam Palembang" yang mengajukan enam tuntutan ke pusat: kembalinya dwitunggal, menyingkirnya Nasution, desentralisasi dan otonomi d aerah, pembentukan senat, penyegaran pemerintahan pusat dan pelarangan komunis. Ketegangan pusat-daerah memuncak dengan rangkaian peristiwa tadi. Mulai dengan didirikannya Dewan Banteng, proklamasi Permesta, berdirinya Dewan Garuda dan dicetuskannya Piagam Palembang. Pemerintah pusat lalu mengundang seluruh pimpinan sipil dan militer daerah dalam Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 10-12 September 57. Setelah Munas, Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra untuk meredakan suasana. Tapi baik Munas maupun usaha keras dari Hatta itu tidak berhasil meredakan ketegangan. Bulan Januari 1958 kolonel Barlian, panglima Sumatra Selatan, mengusulkan pertemuan para kolonel di Sungai Dareh (9-10 Januari). Dalam pertemuan itu kemudian ikut serta tiga orang tokoh Partai Masyumi: Burhanuddin Harahap, Natsir (keduanya bekas Perdana Menteri) dan Sjafruddin Prawiranegara (beliau yang pernah memimpin pemerintahan RI dala m pengasingan setelah Sukarno-Hatta ditawan dalam Agresi-2). Dalam pertemuan Sungai Dareh itu, ketiga pemimpin Masyumi terperangkap dalam persekongkolan dengan AS yang sudah digarap oleh Sumitro, Simbolon dan Sumual. "They discovered that the colonels already had well-developed contacts and sources of funding and supply abroad, especially with the CIA, and had been promised more, including air cover." (K&K, 128).
Menurut Sjafruddin, mereka tidak tahu sebelumnya tentang kontak-kontak kolonel Husein dengan CIA, dan "We were left completely in the dark with respect to his daily telegraphic contact with Singapore, the CIA's major headquarters for covert U.S., operations in the area."
Para tokoh Masjumi berusaha agar para kolonel tidak membentuk pemerintahan yang terpisah dari RI. Menurut James Bell, wartawan majalah Time yang meliput pertemuan Sungai Dareh itu, tokoh-tokoh Masyumi berpikir, "Civil war must be prevented and nothing rush should be done untill all possible steps have been taken to replace Juanda with Hatta." (K&K, 129). Tapi mereka terdesak oleh para kolonel yang hadir, yaitu Simbolon, Husein, Sumual, Barlian, Dahlan Jambek dan Zulkifli Lubis.
Pertemuan Sungai Dareh membentuk "Dewan Perjuangan" dengan Hussein sebagai komandannya dan Padang sebagai markas besarnya. Dewan itu yang mengkoordinir Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Permesta di Sulawesi. Meskipun peran mereka di Sungai Dareh itu terbatas, "The three Masyumi leaders realized that by participating in the conference they had crossed a Rubicon and that it would not be possible to return to Jakarta" (K&K, 129). Pimpinan Masyumi terjebak dalam persekongkolan para kolonel dan AS. Setelah PRRI/Permesta kalah maka Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung Karno. Padahal Masyumi adalah partai nomor dua terkuat di seluruh Indonesia, 50% di Jawa dan 50% di luar Jawa, sehingga Masyumi yang sebenarnya bisa mewakili aspirasi pusat maupun daerah. Para kolonel terus menjalin hubungan dengan AS dan Inggris. Piagam Palembang membuktikan para kolonel itu anti komunis. Sumitro memberi banyak nasehat pada para kolonel daerah untuk sering-sering menyanyikan lagu anti-komunis ini. "By the time of the February ultimatum to Jakarta anticommunism dominated the interviews given by most rebel leaders to visiting Western journalists."
Menurut salah satu pimpinan PRRI, kolonel Dahlan Jambek, "We must win American support by emphasizing the communist danger," dan "it was important to stress the anti- communist danger in the argument 'so as to interest the Americans'. Naturally our appeal must be made to fit our audience. For the Western powers we stress the very real danger of communism" (K&K, 147). Ketegangan hubungan antara Pusat dengan Daerah (Medan, Padang, Palembang dan Makasar) pada akhir tahun 50-an memang dimonitor betul oleh pemerintahan Eisenhower.
Ketika John Allison diangkat sebagai dubes baru AS untuk Indonesia (21 Februari 1957), pesan pemerintah Eisenhower tegas sekali, "Don't let Sukarno get tied up with the communists. Don't let him use force against the Dutch. Don't encourage his extremism...Above all, do what you can to make sure that Sumatra (the oil production island) doesn't fall to the communists," (K&K, 84). Bulan Mei 1957, Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) menugaskan seorang staf ahlinya, Gordon Mein, untuk menjajaki "the possible break-up of Indonesia" (K&K, 85). Dari studinya Mein menulis memorandum panjang yang al menyatakan bahwa, "It would be advantageous to have the sources of such commodities (rubber, oil, petroleum, tin) under more reliable political control... Sumatra, with the Malay peninsula, dominates the Staits of Malacca, and is of great strategic importance." Sebagai kesimpulan, Mein menyatakan pecahnya Indonesia, "Could succeed only with substansial mater ial assistance from the United States," (K&K, 88-89).
Dalam pergolakan daerah di Indonesia ini tiga unsur menyatu, yaitu partner lokal, ideologi anti-komunis dan intervensi militer. Sejak bulan Oktober 1957 CIA sudah mulai menyalurkan dana kepada kolonel Simbolon, eks panglima Sumatra Utara, yang dianggap pimpinan para kolonel. Tabir anti komunis itu dipakai efektif sekali oleh para kolonel. Menurut petugas CIA, Simbolon dkk itu, "Played up the anti-communist act because they knew we were interested in that." Dengan ideologi anti- komunis ini para pemberontak segera mendapat senjata untuk 8000 orang yang diselundupkan sebagai perlengkapan perusahaan minyak Caltex, dan sebagian lagi dikirim melalui pesawat udara dan juga melalui kapal selam yang muncul di pelabuhan Painan, 20 mil selatannya Padang.
Kapal selam juga mengangkut pasukan Simbolon untuk berlatih di fasilitas militer AS di Okinawa, Saipan dan Guam. Persiapan militer untuk pe mberontakan itu terus berlangsung selama akhir tahun 1957 (K&K, 120-121). Pada tanggal 15 Februari 1958 PRRI memproklamirkan diri. Untuk membuktikan anti-komunisnya PRRI menangkap dan memenjarakan sekitar 650 orang PKI. "The anti-communist theme had by this time assumed major importance in the rebel propaganda, particularly to their overseas backers." (K&K, 147).
Dukungan kepada para pemberontak PRRI diwujudkan dengan intervensi militer AS. "It was now evident that not merely were U.S. arms being channeled to the rebels via Taiwan and the Philippines but that military personnel form both the United States and the government of Chiang Kai-shek were directly supporting the rebels and that Philippine government personnel were also giving them significant assistance" (K&K, 168).
Di lautan PRRI dibantu penuh. Komandan Armada-7 AS membentuk "Task Force-75" yang terdiri atas satu cruiser, dua destroyer dan satu kapal induk (aircraft carrier) berisi 2 batalion marinir untuk bergerak ke Singapura. Tujuan akhirnya adalah menduduki lapangan minyak Minas dan Duri di Riau. Kalau lapangan minyak itu dibom oleh RI maka Allen Dulles berpikir itulah alasan terbaik untuk mengadakan intervensi militer langsung dengan alasan "Melindungi warga AS di Caltex" (K&K,149). Kolonel George Benson, atase militer AS di Jakarta bilang, "The U.S was anxious to have pretext to send marines."
Dan dua batalion marinir itu sudah, "fully equipped and ready for battle were prepared to be helicoptered within twelve hours notice to the Sumatran oil fields" (K&K, 150). Akhir dari pemberontakan PRRI kita semua sudah tahu. ABRI bertindak cepat dan sangat berani. Dengan 5 batalion marinir dan dua kompi RPKAD lapangan minyak Caltex direbut sehingga tidak ada lagi alasan AS untuk mendaratkan pasukannya di Sumatra. Task Force-75 terpaksa kembali ke pangkala n Subic di Pilipina. Tanggal 17 April Padang direbut kembali.
Di Sulawesi ceritanya agak lain. Bantuan AS membuat Permesta berjaya di udara. Selama bulan April-Mei 1958, Angkatan Udara Permesta (AUREV) mengadakan pengeboman di Banjarmasin, Balikpapan, Palu, Selat Makasar, Kendari, Makasar, Ambon, Ternate dan Jailolo (di Halmahera) dan Morotai. Lapangan terbang yang mensuplai pemberontakan PRRI/Permesta al: Bangkok, Singapura, Saigon, Subic dan Clark dan Taiwan (K&K, peta halaman 171). Pilotnya berasal dari Amerika, Pilipina dan Taiwan. Morotai adalah lapangan terbang yang landasannya cukup panjang untuk mendaratnya pembom B-29. Dengan B-29 berpangkal di Morotai maka Permesta punya kemampuan untuk membom Surabaya, Bandung dan Jakarta.
Dengan menguasai udara, sekaligus berarti juga menguasai lautan, pimpinan militer Permesta, kolonel Vence Sumual, sudah merencanakan untuk menyerbu Jakarta setelah menguasai Balikpapan dan Banjarmasin (K&K, 172). Tapi bulan Mei itu juga AURI mengadakan serbuan besar-besaran ke lapangan terbang Menado, Morotai dan Jailolo, yang dibarengi dengan serbuan darat.
Tanggal 26 Juni Menado direbut. Pada bulan Juni, tulang punggung pemberontakan Permesta sudah dipatahkan.
Intervensi militer AS selama pemerintahan Eisenhower ini gagal total. Memang petualangan politik-militer ini hampir tidak tercatat dalam sejarah dunia. Baru studi Audrey Kahin dan George Kahin pada tahun 1995 ini yang membentangkan intervensi politik-militer AS dengan detail. Petualangan AS di Indonesia jauh lebih besar dari pada Peristiwa Teluk Babi dalam pemerintahan Kennedy (untuk menjatuhkan Fidel Castro di Kuba pada tahun 1961). Di Indonesia operasi rahasia AS ini tidak hanya dilakukan oleh CIA, tetapi juga melibatkan Angkatan Laut (Armada-7), Angkatan Udara AS, dan berlangsung dalam waktu yang jauh lebih lama dari pada Peristiwa Teluk Babi. Dibandingkan dengan Peristiwa Teluk Babi, "The intervention in Indonesia was by far the most destructive in human terms, had a heavier and more lasting political impact, and with respect to the U.S. objectives, was the most counterproductive" (K&K,3). Lalu apa artinya intervensi AS di Indonesia pada tahun 50- an ini untuk menjelaskan tragedi-65?

Membina Angkatan Darat


Setelah berhasil memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta, dua tokoh menjulang tinggi. Yaitu presiden Sukarno dan jendral Nasutio n. Setelah para kolonel pemberontak di Sumatra dan Sulawesi dikalahkan, maka ABRI menjadi utuh dibawah pimpinan Nasution. Untuk menegakkan kekuasaan pemerintah pusat diberlakukan Undang-Undang Keadaan Perang (14 Maret 1957).
Dengan Undang-undang itu militer mendapat dasar hukum untuk mengatur pemerintahan dari daerah sampai ke pusat. Ketika konflik RI-Belanda tentang Irian Barat memuncak pada tahun 1957, Indonesia mengadakan kampanye sita modal asing yang mulai pada bulan Desember 1957. Perusahaan asing yang disita kemudian dikelola oleh pimpinan militer. Dengan menguasai perusahaan asing itu pimpinan militer memiliki sumber dana sendiri.
Dengan dekrit 5 Juli 1959, "Kembali Ke UUD-45", Presiden Sukarno memperoleh kekuasaan yang sangat besar. Konstituante dibubarkan dan kemudian Parlemen juga dibubarkan. Karena pemilih PKI dari Pemilu-55 ke Pemilu Daerah-57 meningkat pesat, maka partai-partai lain tidak ingin pemilu dia dakan lagi. Pada tgl 22 September 1959 perdana menteri Juanda mengumumkan pemilu 1959 ditunda, "A move about which the four major non-communist political parties (PNI, Masyumi, NU and PSI) on Java were in either tacit agreement or unwilling to contest, for they were convinced that if elections were held then the communist PKI would easily emerge the strongest party, with an increase plurality and stronger credentials for insisting on participating in a coalition government" (K&K, 194).
Tanpa pemilu dan tanpa sistim parlementer maka kekuasaan militer meningkat. Meningkatnya kekuasaan militer membuat Sukarno harus mengimbangi dengan dukungan dari PKI, partai yang paling berdisiplin pada waktu itu. Sementara itu AS sudah merubah politiknya. "Nasution had become the linchpin of the new policy, and American officials put their faith in his assurance that his major aim was to restrict the power of the communist party." Pada tgl 29 Septem ber 1958, Dubes AS di Jakarta mengirimkan telgram, "With the postponement of elections formerly scheduled for 1959, Indonesian government has arrived at a kind of plateau in which there is a change of political stability for a minimum of two years.... General Nasution has stated he intends to maintain status quo for five years. This situation provides US and free world with excellent opportunity for removing Indonesia for good from danger communist take-over if promptly exploit available possibilities" (K&K, 194-195).
'Excellent opportunity' itu dijajaki dengan menjalin hubungan baik dengan Angkatan Darat. Langkah pertamanya dengan membuka kesempatan sekolah di AS bagi para perwira Angkatan Darat.
Studi tentang pengaruh AS pada Angkatan Darat sudah dilakukan oleh Bryan Evans, seorang perwira AD dari AS. Studinya diterbitkan dalam majalah Indonesia no. 47 (April 1989), berjudul "The influence of the United States Army on the development of the Indonesi an Army (1954-1964)." Program pertama adalah Military Assistant Program (MAP). Pada tahun 1959, ABRI mengirim 41 orang perwira untuk sekolah di AS.
Jumlah itu terus meningkat. Tahun 1960 dikirim 201 orang, 1961 (498), 1962 (1017), 1963 (568), 1964 (313), 1965 (3). Total hampir 2800 perwira AD dididik di Barat sampai tahun 1965. Menurut Evans, "The impact of US/Western training was extensive. US military manuals and texts were being used widely, and POIs (Programs of Instruction) in Indonesian Army branch schools were nearly identical with their US counterparts," (Evans, 40).
Disamping pendidikan di AS dengan program MAP itu pemerintah AS juga memberi dana, perlengkapan dan training untuk Civic Action Program (CAP) atau Operasi Karya. Operasi Karya adalah pengembangan lanjut dari Operasi Bakti yang terbukti sukses ketika Siliwangi menghadapi DI di Jawa Barat. Siliwangi berusaha mendekati ma syarakat desa dengan memimpin kerja-bakti sosial seperti berternak, usaha perikanan, penggergajian kayu, membetulkan jalan, mesjid, sekolah, dsb. Dengan berbekal pengalaman itu Angkatan Darat kemudian mengembangkan Operasi Karya atau CAP yang dibiayai dan diberi perlengkapan oleh AS.
Training untuk CAP, menggunakan alat-alat besar atau alat-alat konstruksi, diadakan di Medan, Malang, Bogor dan Jakarta. Di Sumatra, Operasi Karya ini bantu merintis jalan Lintas Sumatra. Para perwira yang mengelola Operasi Karya ini diberi kesempatan kursus management di Harvard, Syracuse atau Pittsburg (Evans, 37). Melalui program pendidikan (MAP) pengaruh AS juga terlihat dalam perkembangan RPKAD. Resimen khusus ini dirintis oleh Alex Kawilarang, waktu menjadi panglima Siliwangi, pada tahun 1952, dan komandannya yang pertama adalah seorang perwira bekas KNIL, Ijon Jambi (nama aslinya Visser).
Tetapi yang kemudian sangat mempengaruhi perkem bangan RPKAD adalah Sarwo Edhie, lulusan Sekolah Infantri Fort Benning di Georgia. Selain pendidikan tempur, pasukan elite ini juga dilatih dalam bidang intelijen (Evans, 42). Dengan program Civic Action (CAP) AS juga sudah membantu Angkatan Darat mengembangkan doktrin Jalan Tengah yang dirumuskan Nasution tahun 1958. Dengan doktrin itu ABRI menyatakan dirinya sebagai kekuatan hankam sekaligus kekuatan sospol. Bantuan AS untuk Operasi Karya, dalam bentuk dana, perlengkapan dan latihan tadi, sudah memberi wujud nyata dari Doktrin Jalan Tengah itu. Disamping mendekati ABRI, kelompok sipil juga didekati. Beberapa ekonom UI diberi beasiswa oleh Yayasan Ford untuk melanjutkan studi paska sarjana di AS, sebagian besar di Universitas Berkeley.
Kelompok ini getol mempelajari 'Ilmu Pembangunan' yang dalam dekade 50-60an itu sedang populer, al ilmu ekonominya Profesor Rostow, "5-Stages of Economic Growth". Menurut ilmu ekonomi ini, ada 5 tahap pertumbuhan ekonomi: tahap tradisional, persiapan untuk tinggal landas, tinggal landas, tahap matang, dan tahap konsumsi massal.
Ilmu ekonomi pembangunan ini kemudian disebarkan oleh ekonom UI lulusan AS yang kemudian dikenal dengan nama MAFIA BERKELEY. Dari ilmu inilah kemudian kita sering mendengar kata 'tinggal landas'. Paham ekonomi pembangunan ini memang diperlukan untuk menandingi paham sosialisme dalam berbagai versinya yang sudah merasuki gerakan nasionalis di Asia-Afrika. Tokoh seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, Sartono, Amir Syarifuddin, Natsir, Moh. Roem, dll di Indonesia itu diilhami oleh sosialisme walaupun dengan kadar atau penekanan yang berbeda.
Begitu juga tokoh seangkatan mereka seperti Nasser dari Mesir, Nehru dari India, Tito dari Yugo, Ho Chi Minh dari Vietnam dan Nkrumah dari Ghana. Mereka semua diilhami oleh sosialisme yang berakar dalam ajaran Karl Marx. Paham ekonomi pembangunan profesor Ros tow, dan teori-teori lain tentang modernisasi, pertumbuhan ekonomi, dsb, itu tidak mengenal konsep kolonialisme, imperialisme, neokolonialisme, dsb. Itu konsep-konsep yang sangat populer di kalangan pemimpin gerakan kebangsaan. Jadi kemajuan ekonomi AS ataupun Eropa harus dilihat sebagai konsekuensi dari tahap perkembangan ekonomi mereka. Dan itu tidak berhubungan dengan penghisapan kemakmuran, dalam bentuk bahan baku dan tenaga kerja, dari tanah jajahan selama ratusan tahun jaman penjajahan Barat.

Menjelang 1965

 

Pergolakan daerah di Sumatra dan Sulawesi, dan juga DI-TII di Jawa Barat baru berakhir sekitar tahun 1961. Sukarno langsung mengeluarkan amnesti umum pada tgl 17 Agustus 1961. Dalam selang waktu antara 1961 sampai 1965 terjadi dua peristiwa besar di Indonesia, operasi pembebasan Irian Barat (Trikora) dan konfrontasi melawan Malaysia (Dwikora). Di Vietnam AS mulai babak belur. Mula-mula AS melancarkan operasi rahasia, tetapi pada awal tahun 60-an tidak bisa lagi ditutupi. Karena itu direkayasa penyerbuan Angkatan Laut Vietnam Utara ke kapal patroli AS yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Teluk Tonkin (Agustus 1964).
Dalam Trikora maupun Dwikora baik ABRI maupun PKI mendapat kemajuan politik yang besar. Tetapi PKI belum berhasil masuk dalam pemerintahan. Menurut catatan Kahin, sampai bulan April 1965, dalam kabinet dengan 79 menteri, PKI mendapat 3 posisi menteri (tanpa portofolio), sedangkan ABRI mendapat 23 kementerian termasuk hankam, dalam negeri, penerangan dan kehakiman. Dari 24 gubernur, ada 12 gubernur dari ABRI, tidak ada gubernur PKI (K&K, 224). Untuk mencari pendukungnya di dalam militer, PKI membentuk Biro Khusus yang bertugas membina perwira yang bersimpati pada perjuangan PKI. Disamping itu, persaingan antara AD-AL-AU juga mulai muncul. Selama Trik ora maupun Dwikora, Uni Soviet berusaha menandingi pengaruh AS dalam Angkatan Darat dengan merangkul AL dan AU dengan memberi perlengkapan dan latihan.
PKI punya jutaan pendukung di kalangan buruh dan tani. Sejak tahun 1963 mereka mengganyang yang disebut 'Tujuh Setan Desa'. Ketika Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dikeluarkan, PKI paling giat memperjuangkan pelaksanaan undang-undang itu, dengan program yang disebut 'Aksi Sepihak'. Konflik antara para petani dan tuan tanah sering terjadi. Begitu juga konflik kekerasan antara petani dan tentara yang dikenal dengan nama Peristiwa Bandar Betsi, Peristiwa Indramayu dan Peristiwa Boyolali. Dan banyak lagi bentrokan kekerasan lainnya.
Ketegangan dirasakan sampai ke desa-desa. Pada tahun 1964-65 itu kondisi ekonomi sudah sangat bobrok. Tidak ada yang becus mengurus ekonomi dan korupsi menyebar luas. Di mana-mana orang hidupnya susah. Dan orang yang hidup susah paling gampang dibuat mata gelap.
Baik PKI maupun ABRI sudah mulai mempersiapkan diri untuk menjaga kemungkinan Bung Karno meninggal. Ketika Bung Karno diberitakan sakit pada pertengahan tahun 65, semua pihak mengambil ancang-ancang. Angkatan Darat sudah siap dengan 2800 perwira didikan AS yang orientasi politiknya cendrung berpihak ke AS. Sudah ada juga para perwira yang mulai paham konsep pembangunan, stabilitas, dsb. Konsep-konsep itu diajarkan oleh para doktor lulusan AS kepada para perwira dalam Seskoad.
Selama tahun 1964-65 ketegangan politik di dalam dan di luar negeri semakin memuncak dan ekonomi semakin bobrok. Lalu terjadilah Gerakan-30-September. Studi yang tuntas tentang G-30-S sampai saat ini belum diterbitkan oleh pusat-pusat studi Indonesia seperti Cornell, Ohio, Leiden, Monash, Kyoto, dll. Bagaimana persisnya peranan AS menjelang pembunuhan besar-besaran di tahun 65 itu belum jelas. Studi dari Fred Bunnel ( 1990) menyimpulkan, "Conclusive judgment must therefore await the US government release of relevant classified documents, such as the complete file of the CIA's Jakarta station.." (K&K, 228). Dan sampai tahun ini file itu belum dikeluarkan untuk umum. Bahwa file itu masih ditahan, lebih dari 30 tahun setelah peristiwa terjadi, mengisyaratkan adanya hal-hal yang betul-betul busuk dan harus disembunyikan. Tapi dengan memakai beberapa hasil studi yang sudah ada mungkin gambar besar dalam tragedi-65 bisa mulai terbayang.
Selama 10 tahun, sejak Pemilu-1955 sampai tragedi-65, AS sudah mencoba banyak cara. Mereka mulai dengan intervensi politik-militer yang gagal total pada tahun 1957-58. Kemudian AS membina hubungan dengan Angkatan Darat dengan cara mendidik perwira-perwiranya (MAP) dan membiayai program sosial-politik mereka (CAP). Menurut Evans, "It is US Army training that has been primarily responsible for the orientation of the Indonesian o fficers corps developing in a pro-American/Western direction," (Evans, 44). Dalam saat kritis para perwira itu mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan AS.

Bandit Besar Sukses Besar

 

Strategi AS untuk membina Angkatan Darat terbukti sukses besar. Setelah Orde Baru berdiri para perwira Angkatan Darat memainkan peranan kunci. Konfrontasi melawan Barat dihentikan.
Musuh besar AS di Indonesia, Bung Karno dan PKI, disingkirkan. Politik Indonesia menjadi sangat pro-AS. Sumber-sumber alam Indonesia terbuka lebar untuk dimanfaatkan oleh Barat dan sekutu-sekutunya (Jepang, Korea dan Taiwan). Jalur laut Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sepenuhnya dibawah pengawasan Armada-7.
Minyak dan gas Indonesia ditambang oleh perusahaan-perusahaan AS. Selama 30 tahun ini Caltex sudah menambang dua lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara, lapangan Minas dan Duri di Riau yang pernah diselamatkan oleh marinir dan RPKAD pada tahun 1958. Mobil Oil sudah hampir menghabiskan lapangan gas Arun di Aceh. Perusahaan migas Total dari Perancis menambang di Delta Mahakam. Lebih dari 90% produksi minyak dan gas Indonesia dilakukan oleh perusahaan asing. Migas itu kemudian dieksport, sebagian besar ke Jepang, Korea dan Taiwan. Pada tahun 90-an ini keuntungan bersih perusahan migas mencapai sekitar 5 juta dolar per hari. Minyak dan gas Indonesia, sebagian besar dari P. Sumatra, sudah berhasil dipakai mengembangkan industri Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Tahun 2000 nanti, minyak Indonesia tidak bisa lagi di eksport karena hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tapi gas Indonesia di dekat P. Natuna, sudah mulai dikerjakan oleh Exxon. Kontrak pengembangan lapangan gas Natuna ditandatangani ketika presiden Clinton berkunjung dalam rangka APEC tahun lalu. Keuntungan dari penggalian barang tambang seperti di Freeport misalnya, dan dari penebangan hutan Kalimantan juga sudah mengalir ke perusahaan-perusahaan AS, Jepang, Korea atau Taiwan. Tenaga buruh Indonesia dipakai untuk mendatangkan keuntungan bagi konglomerat Barat dan partner lokal mereka. Memang selalu ada bandit-bandit kecil yang jadi partner lokal bandit besar yang sukses besar itu. Dan seperti juga di tahun 50-an, peran mereka sangat menentukan.
Gambar besar ini memang rumit karena banyak hal yang saling berkaitan, jalin berjalin. Tapi sudah mulai dipahami banyak orang, misalnya oleh Ali Sadikin. Dalam wawancara dengan mingguan Swadesi (14/8/95) Ali Sadikin mengenang, "Dulu Bung Karno dan Bung Hatta bilang neo-kapitalisme, neo-imperialisme dan neo-kolonialisme".
Kadang-kadang saya bosan mendengarnya dan tidak mengerti sama sekali. Ternyata mereka berpikir 40-50 tahun ke depan. Kita baru mengerti sekarang Bung Karno dan Bung Hatta itu benar.

Mengolah Gambar Besar

 

"Apa arti gambar besar itu dalam mengolah jiwa bangsa?" Itu pertanyaan yang sangat sukar. Mungkin teman-teman lain dalam jaringan komputer ini bisa menjawab dengan lebih baik. Tapi saya akan coba menjawab semampunya. Dan saya tahu jawaban ini tidak akan bisa memuaskan.
Ada empat hal yang saya renungkan.. Tentang kelakuan Bandit Besar, pentingnya sejarah, kualitas elite dan tent ang pengalaman rakyat biasa.
Pertama, tentang kelakuan Bandit Besar yang sangat berkuasa. Kalau mengingat apa yang kemudian terjadi di Vietnam, 30 tahun (1945-75) tidak berhenti perang, maka apa yang terjadi di Indonesia akibat kelakuan Bandit Besar ini relatif ringan. Hampir 4 juta rakyat yang mati di Vietnam, Laos dan Kamboja.
Sejumlah itu juga yang jadi cacat. Seluruh prasarana ekonomi negeri itu hancur. Lalu jutaan orang yang masih menderita akibat Agent Orange dan bahan-bahan kimia lain yang pernah dipakai AS dalam Perang Vietnam. Dan ribuan bayi yang cacat waktu dilahirkan akibat racun kimia itu.
Semua korban itu jadi beban bagi bangsanya, yang kemudian masih di'hukum' lagi dengan blokade ekonomi selama 20 tahun. Seperti itulah keganasan Bandit Besar ini.
Tidak heran kalau Khomeini memberi julukan "The Great Satan"! Tetapi dia harus beraksi dengan bantuan bandit-bandit lokal. Dan ini sering kita abaikan. Padahal ini semacam versi baru dari politik Indirect Rule selama jaman penjajahan. Belanda berkuasa di Indonesia dengan memakai para bangsawan dan cukong Tionghoa. Bangsawan dipakai untuk mengatur masyarakat, menjadi hambatan politik bagi mereka yang melawan penjajahan. Pedagang-pedagang Tionghoa diperalat untuk memeras rakyat jajahan, menjadi hambatan munculnya kelas menengah pribumi yang lebih mandiri. Rakyat jajahan jarang sekali melihat Orang Belanda dalam hidup sehari-hari mereka.
Selama ratusan tahun dijajah yang mereka hadapi setiap hari adalah pembesar- pembesar pribumi. Yang ditugaskan Belanda untuk memungut pajak, diberi monopoli candu atau jadi pemborong adalah cukong-cukong Tionghoa.
Dalam perggolakan tahun 50-an, dan juga dalam pembunuhan besar tahun 60-an, kita tahu bahwa prajurit yang bertempur lalu mati atau cacat, dan rakyat yang berkorban, yang rumahnya dibakar, orang-orang y ang mati, dipenjara, disiksa, itu adalah bangsa kita sendiri.
Dan yang melakukan kekejaman itu, atau paling tidak yang saling curiga, saling memaki dan membenci juga bangsa kita sendiri. Padahal di balik itu semua selalu ada Bandit Besar yang punya rencana besar kemudian sukses besar dan untung besar!
Kedua, setelah tamat membaca bukunya Audrey dan George Kahin tentang Perang Saudara di akhir tahun 50-an, saya semakin sadar betapa pentingnya sejarah.
Betapa pentingnya bangsa kita tahu duduk perkara yang sebenarnya. Lepas dari pandangan politik, cita-cita ataupun ambisi kita masing-masing, kita sama-sama perlu belajar dari sejarah. Dan sejarah terbaik adalah sejarah yang ditulis tanpa pesan politik oleh mereka yang tidak punya pamrih pribadi, kecuali pamrihnya sebagai ilmuwan.
Kalau anda sempat membaca buku Kahin & Kahin itu, saya kira beberapa pandangan anda, tentang pergolakan daerah tahun 50- an, akan berubah. Lepas dari kalah/menangnya mereka yang waktu itu bertarung, ada tuntutan yang diperjuangkan oleh tokoh- tokoh daerah yang sampai sekarang tetap relevan. Misalnya tentang keadilan dalam mengatur politik dan ekonomi antara pusat dan daerah. Sekarang kita semua tahu bahwa daerah-daerah yang paling kaya tetap tidak berkembang karena peranan pusat yang begitu dominan.
Seandainya ada buku sejarah tragedi-65, yang ditulis oleh sejarawan ulung sekualitas Kahin & Kahin itu, mungkin beberapa pandangan kita juga akan berubah. Mungkin kita bisa lebih memahami apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh Bung Karno.
Ketiga, sedikit renungan tentang kualitas elite. Dua pemimpin muncul sebagai bintang setelah berhasil memadamkan pergolakan daerah tahun 50-an. Yaitu BK dan Nasution. Dengan segera BK memberi amnesti pada para pemberontak (17 Agustus 1961). Padahal yang sudah terjadi adalah pemberontakan yang betul- betul serius, dengan d ukungan kekuatan militer AS.
Pemberontakan yang bukan hanya bisa membuat Indonesia pecah berantakan, seperti yang diharapkan Bandit Besar, tetapi juga bisa membuat seluruh bangsa Indonesia menderita belasan tahun akibat perang yang berkepanjangan seperti Vietnam. Tidak kita lihat usaha BK maupun Nasution untuk terus mengejar-ngejar dan membuat susah kehidupan mereka yang pernah berontak. Mereka diterima kembali tanpa banyak cingcong.
Setelah G-30-S ditumpas, Suharto menjadi pucuk pimpinan militer sekaligus pimpinan politik. Nasution dia geser. Suharto yang kemudian memegang peranan BK sekaligus juga Nasution. Berbeda dengan dengan BK dan Nasution, Suharto bukan seorang pemikir walaupun dia seorang politikus jagoan. BK mewariskan kumpulan karya tulis dalam tiga jilid Di Bawah Bendera Revolusi yang setebal bantal itu.
Setelah disingkirkan, Nasution tidak berhenti menulis. Puluhan karya tulis dia hasilkan dalam Memenuhi Panggilan Tugas. DBR maupun MPT itu, bagi saya menunjukkan baik BK maupun Nasution adalah pemimpin yang betul-betul serius memikirkan bangsanya. Di kalangan elite bangsa selama 50 tahun ini, mungkin Pramoedya yang lebih serius dari mereka berdua, tetapi dalam bidang sastra.
Sebagai pimpinan militer Nasution bukan seorang jendral yang haus darah. Bukan juga seorang Rambo yang mengandalkan otot. Dia Jenderal ulung yang penuh perhitungan. Ketika menghadapi PRRI/Permesta lawannya adalah jago-jago perang seperti Kawilarang, Warouw, Hussein, Simbolon dan Sumual yang memimpin beribu-ribu pasukan dan didukung Armada-7 dan Angkatan Udara AS. Nasution membuat strategi yang cemerlang. Korbannya begitu sedikit untuk suatu operasi militer yang sangat besar. Bahkan jumlah korban itupun dia catat. Di pihak RI tewas 10.150 orang (2.499 prajurit, 956 anggota OPR (hansip), 274 polisi dan 5.592 penduduk sipil). Memang tidak dia catat korban di kal angan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan di pihak PRRI/Permesta, 22.174 yang tewas (K&K, catatan kaki 83, h 305, dikutip dari Memenuhi Panggilan Tugas-4, h 383).
Berbeda sekali dengan Suharto yang tidak pernah peduli berapa korban yang jatuh ketika dia memimpin operasi menumpas G-30-S/PKI. Padahal yang dihadapi adalah rakyat yang tidak bersenjata. Dibandingkan Suharto, sebagai jendral sukar kita bayangkan Nasution bisa merancang operasi militer yang kacau balau seperti penyerbuan Dilli atau operasi intelijen yang gagal selama 20 tahun di Timtim.
Ketika Nasution bentrok dengan PKI di tahun 1960, semua pimpinan PKI dia tangkap. Ratusan jumlahnya. Kita juga tidak mendengar mereka diperlakukan dengan sadis. Setelah itu semuanya dibebaskan kembali. Belum pernah kita dengar Nasution sibuk dengan menyiksa lawan-lawannya. Berbeda sekali dengan Suharto yang khusus memakai Ali Murtopo dan kemudian Benny Murdani untuk membunuh dan menteror lawannya.Selain bukan orang ganas, Nasution juga bukan orang yang gila harta. Sukar kita bayangkan Nasution akan bekerjasama dengan para cukong atau membiarkan anak-anaknya jadi konglomerat.
Dengan mengatakan ini tidak berarti saya setuju dengan pikiran politik Nasution yang pernah mendesak BK untuk membubarkan Parlemen (1952) dan kemudian Konstituante (1959).
Yang saya renungkan adalah kualitas pribadi dia sebagai elit bangsanya. Dan bagaimana kualitas itu sudah menghindari banyak sekali korban di kalangan rakyat biasa atau prajurit yang dia pimpin. Elit politik dengan kualitas seperti BK dan elit militer seperti Nasution itu sekarang tidak ada lagi. Tokoh sipil sekarang seperti Susilo Bambang Yudoyono, Harmoko, Habibie, Sarwono, dll itu belum ada karyanya yang bisa menunjukkan sejauh mana mereka sungnguh-sungguh memikirkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsanya. 
Tokoh militer yang lebih muda seperti Ali Sadikin, Ali Murtopo, Sudomo, Sumitro atau Benny Murdani tidak ada satupun karyanya yang mendekati kualitas pemikiran Nasution. Apalagi sebagai jendral.
Keempat, tentang pengalaman orang kecil, pengalaman jutaan orang-orang biasa. Baik dalam pergolakan darah tahun 50-an maupun dalam tragedi-65, pengalaman mereka jarang sekali kita dengar. Gadis yang pendiam, tetapi diam-diam selalu berpikir dan merenung itu, sealu ada sepanjang sejarah bangsa kita. bukan hanya dalam tragedi-65.
Pada awal abad ini dia adalah Kartini. Bangsa kita beruntung sekali karena Kartini rajin menulis surat. Sehingga renungannya, kesedihannya, harapan dan cita-citanya akan selalu bisa dibaca kembali oleh anak- anak muda generasi berikutnya. Kita belum pernah membaca apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup orang-orang biasa ketika pergolakan daerah, atau lebih tepat lagi Perang Saudara, melanda desa-desa di Sumatra Barat, Sulawesi Utara atau jawa Barat.
Ya, apa yang terjadi dengan mereka yang sama sekali tidak paham dengan ambisi kelompok elit politik ataupun elit militer. Tetapi tiba-tiba saja langit seperti runtuh. Rumahnya hancur, kampungnya dibom dan seluruh keluarganya porak-poranda. Bagaimana mereka bisa terus menyambung hidup, berkumpul kembali dengan orang-orang yang mereka cintai dan membangun lagi harapannya untuk masa depan yang lebih baik. Kita tidak peranh tahu pengalaman mereka.
Bukan hanya orang-orang biasa yang tidak pernah mengolah kekayaan batin itu. Bahkan para pemimpin dan juga para guru bangsa itupun tidak mengolahnya. Multatuli sedikit bercerita tentang Saija dan Adinda. Pramoedya juga bercerita tentan Keluarga Gerilya, Gadis Pantai atau tentang anak-anak muda Di Tepi Kali Bekasi.
Yang lain mana? Padahal pengalaman hidup seperti itulah yang bisa diwariskan pada generasi berikutnya. Itu adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya. 

(Ignas Legowo untuk 'Apakabar', Oktober 1995).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A.M.Hanafi Menggugat

Menyingkap Kabut Halim 1965

Manifest