Manifest
Di bulan Agustus 1963, sebuah dokumen ditulis dan diumumkan: ”Manifes
Kebudayaan”. Ia dengan segera menimbulkan kontroversi yang heboh.
Isinya dianggap ”kontrarevolusioner” oleh Lekra dan
organisasi-organisasi kebudayaan dan politik yang diakui pemerintah
waktu itu. Kemudian juga oleh Presiden Soekarno.
Pada 8 Mei 1964, dokumen itu—kemudian disebut dengan ejekan
”Manikebu”—dinyatakan ”terlarang”. Para penandatangannya, umumnya
sastrawan, tak boleh menerbitkan karya mereka di mana saja. Di masa
”demokrasi terpimpin”, yang sudah membredel sejumlah surat kabar dan
majalah dan memenjarakan sejumlah orang, misalnya Mochtar Lubis,
larangan itu punya efek yang tak main-main.
Jika hari ini saya menulis tentang dokumen itu bukan untuk
mengungkapkan lagi represi yang terjadi masa itu. Saya menulisnya karena
sebentar lagi 17 Agustus.
Inilah tanggal ketika kita umumnya mengingat apa yang diharapkan dari
kemerdekaan yang direbut dan republik yang didirikan. Hampir tiap
tahun, Agustus adalah bulan ketika kita dengar suara kekecewaan yang
berulang-ulang seperti sebuah litani: ”Indonesia merdeka tapi rakyat
masih sengsara”, ”tak ada lagi semangat bersama”, ”terpuruk” (kata ini
paling sering disebut), dan bahkan ”gagal”.
Kita jarang bertanya: tidakkah kita punya harapan yang berlebihan
dari sejarah, dan sebab itu berlebihan pula kecewa kepada zaman?
Saya ikut merumuskan ”Manifes Kebudayaan”. Dalam umur 22 tahun itu
saya, ketika para mahasiswa dan lain-lain harus belajar Marxisme, saya
menemukan kalimat Marx ini: ”Manusia membuat sejarah, tapi bukan
membuatnya semau mereka.” Keadaan yang kita temui, ketika kita bergerak
mengubah dunia, bukanlah keadaan yang kita pilih sendiri. Ia ada sebelum
kita ada. Kita harus bernegosiasi dengan apa yang datang dari generasi
yang telah mati yang, menurut Marx, memberat di pikiran generasi yang
masih hidup bagaikan ”mimpi buruk”.
”Manifes” agaknya sebuah dokumen pemikiran pertama yang waktu itu
mengakui keterbatasan manusia dalam mengubah sejarah itu. Teks itu
menampik utopianisme. Bagi para penandatangannya, masyarakat yang
sempurna tak akan pernah ada:
”Kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena kami
menyadari bahwa dunia ini bukan sorga. Karena berfikir secara dialektik,
maka kami mengakui kenyataan-kenyataan bahwa lingkungan sosial kami
senantiasa mengandung masalah-masalah, dan setiap tantangan yang kami
jawab akan menimbulkan tantangan-tantangan baru.”
Dengan menyebut ”kami berfikir secara dialektik”, ”Manifes” ingin
menegaskan bahwa dialektik tak akan berhenti dalam satu tujuan tertentu.
Dengan demikian, sejarah adalah sebuah proses yang terbuka. Sejarah tak
pernah terbentuk sebagai lingkaran totalitas, karena tak akan ada
sebuah kekuasaan yang bisa menguasai masa lalu, masa kini, dan masa
depan sepenuhnya. ”Kebudayaan dari suatu periode adalah senantiasa
kebudayaan dari kelas yang berkuasa,” kata ”Manifes”, mengutip Marx.
Tapi sejarah juga mengajarkan: ”Justru karena tidak termasuk dalam kelas
yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan baru.”
Kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan bisa penuh.
Ada gema pemikiran Gramsci, pemikir Marxis Italia itu, dalam teks
”Manifes”: ia sebenarnya berbicara tentang keniscayaan munculnya
”kontrahegemoni”.
Di sana, ada dua wajah dalam gerak kehidupan politik yang mengisi
ruang ”hegemoni” dan ”kontrahegemoni” itu. Di satu sisi, antagonisme
politik menarik garis antara kawan dan lawan. Namun di sisi lain, gerak
politik juga mengandung acuan ke sesuatu yang universal.
”Manifes” dikecam karena di dalamnya termaktub kata ”humanisme
universal”. Dalam suasana politik yang mengagungkan konfrontasi yang
militan—ketika sikap memihak adalah mesti—pengertian ”universal”
dianggap mengaburkan sasaran perlawanan. Tapi saya kira ada salah paham
di sini. Semangat untuk yang ”universal” justru bisa bertaut erat dengan
semangat untuk memihak.
Jauh setelah ”Manifes Kebudayaan”, pemikir yang pernah jadi aktivis
buruh Argentina, Ernesto Laclau, mengambil contoh seorang pejuang
revolusioner yang militan: jika aku ikut dalam aksi menduduki pabrik
dengan tujuan memperjuangkan kenaikan gaji, hari libur tambahan, dan
yang semacam itu, keterlibatanku akan berakhir bila tuntutan setempat
itu terpenuhi.
Sebaliknya jika partisipasiku dalam aksi-aksi itu dilihat lebih luas:
sebagai bagian dari perjuangan revolusioner yang hendak mencapai
cita-cita yang universal. Di situ aku mungkin tak akan terpaut penuh
dengan tuntutan kenaikan gaji dan tambahan hari libur, tapi justru sebab
itu aku akan lebih militan: perjuanganku adalah untuk sesuatu yang
lebih luas—masyarakat sosialis, misalnya—yang akan dinikmati siapa saja,
di mana saja.
Di mana saja, siapa saja: kita ingat, 17 Agustus 1945 tak bisa
dipisahkan dari kalimat terkenal ini: ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan
adalah hak semua bangsa…”.
Tapi senantiasa, perjuangan untuk sesuatu yang universal hanya bisa
terlaksana dalam kondisi yang terbatas. Kemerdekaan yang harus diisi
untuk siapa saja dan di mana saja akhirnya hanya diisi oleh (dan untuk)
manusia-manusia di ruang dan waktu tertentu. Itu agaknya bulan Agustus
adalah bulan ketika orang mengeluh—seraya mungkin tahu, atau tak tahu,
bahwa tiap keluhan sebenarnya menyembunyikan harapan.
Sejarah adalah dialektika antara keluhan dan harapan, sebab, seperti
tertulis dalam ”Manifes Kebudayaan”, dunia ini ”bukan sorga”.
Doc : Pojok Tempo
Doc : Pojok Tempo
Komentar