Sang Fundamentalis
Jerry Falwell meninggal dalam umur 73 di kantornya pekan lalu, dan
dunia kehilangan sebuah contoh yang baik tentang hubungan iman dan
kebencian.
Falwell bukan orang galak dan bengis. Saya bayangkan ia, yang
bertubuh gemuk dengan bentuk mirip bakpao, banyak ketawa, hangat, bicara
kepada orang tanpa jarak. Tapi ada sesuatu dalam masyarakat tempat ia
hidup—masyarakat Amerika di abad ke-20 dan awal ke-21—yang menyebabkan
pendeta Kristen seperti Falwell, dengan Injil di tangan, secara luas
didengar, didukung, dapat sokongan berjuta dolar, didekati kaum politisi
tingkat nasional, justru ketika ia membawa berita yang muram, tapi
paradoksal: Amerika adalah tanah yang dijanjikan Tuhan, ”Yerusalem
Baru,” tapi negeri ini sedang terancam, sebagaimana dunia sedang
terancam. Musuh ada di mana-mana. Terorisme hanya salah satunya. Amerika
harus diselamatkan.
”Amerika”, bagi Falwell, adalah negeri orang-orang kulit putih yang
diancam orang hitam—sebab itulah ia memusuhi gerakan Martin Luther King
yang menuntut hak-hak yang sama bagi si ”negro”. Sebab itu pula ia
menolak sanksi kepada rezim apartheid di Afrika Selatan.
”Amerika”, bagi Falwell, adalah negeri mereka yang Protestan, yang
bersembahyang, yang diancam orang Katolik, atau Yahudi, atau Islam,
atau—dalam kekuatan yang lebih besar—orang-orang ”sekuler”. Dalam
deretan musuh dan pencemar ini, kini ditambah kaum homoseksual, majalah
Penthouse dan Playboy, pendukung aborsi, mereka yang komunis, yang kiri,
penentang perang Irak, dan entah apa lagi.
”Kita sedang melawan humanisme, kita sedang melawan liberalisme… kita
sedang melawan semua sistem Setan yang menghancurkan bangsa kita
sekarang,” demikianlah Falwell berseru. Ia tak jarang mengutip Wahyu 19
dalam Injil: di sana Yesus digambarkan memegang sebilah ”pedang tajam”
dan meluluhlantakkan bangsa-bangsa. Atau mengutip Perjanjian Lama, yang
menyambut Tuhan sebagai ”Tuhan Perang”.
Tak mengherankan bila ia dan mereka yang tergabung ke dalam apa yang
sering disebut sebagai ”Kristen Kanan”, mengukuhkan diri sebagai
kekuatan politik. Pada 1979, Falwell membentuk ”Moral Mayoritas”, dengan
klaim bahwa suara orang-orang yang taat beragama adalah suara moral dan
bahwa mereka didukung sebagian besar rakyat Amerika. Mereka mendukung
Partai Republik. Mereka ini yang menyebabkan Bush kini jadi presiden.
”Ide bahwa agama dan politik tak bisa bercampur ditemukan oleh
Setan”, kata Falwell dalam sebuah khotbah 30 tahun yang lalu. ”Jika kita
akan menyelamatkan Amerika dan membuat Injil diterima di dunia, kita
tak dapat menerima filsafat sekuler, yang secara diametral bertentangan
dengan kebenaran Kristen,” katanya pula, sebagai alasan bagi mobilisasi
politik yang sedang disiapkannya.
Politik Falwell tentu saja politik kecemasan dan paranoia—politik
kekurangan, yang mengharapkan hidup steril dari baksil dan virus dan
segala yang ganjil. Dengan kata lain, politik untuk menghapus dan
membabat yang tak sama dengan ”kita”, yang beda.
Saya kira memang itulah yang terjadi dengan fundamentalisme. Siapa yang percaya bahwa teks kitab suci adalah sesuatu yang tak tersentuh sejarah akan memandang sejarah sebagai najis.
Itulah sebabnya kaum fundamentalis, Kristen, Islam, Yahudi, atau
Hindu menyimpan pesimisme yang radikal: sejarah berjalan terus,
perubahan akan terjadi, beda tak dapat dicegah.
Maka bagi kaum fundamentalis, masa kini adalah kemerosotan, terutama kemerosotan akhlak. Masa lalu dibayangkan sebagai masa yang murni—seakan-akan tak ada dosa dan mala di masa itu. Dengan sendirinya, masa depan adalah jurang terkutuk: Dajal atau Antikristus akan datang.
Tapi pesimisme yang radikal membutuhkan optimisme yang radikal pula,
agar hidup tidak kehilangan makna, agar Tuhan tak sia-sia. Maka setelah
Antikristus akan datang, sebuah akhir yang indah akan terjadi: ia akan
dikalahkan oleh Messiah dalam sebuah perang besar terakhir, di
Armagedon.
Di sini sebenarnya politik Falwell dan kaum fundamentalis menunjukkan
kontradiksi yang tak bisa mereka pecahkan. Jika Messiah memang yang
ditunggu, Armagedon perlu, demikian juga saat datangnya Antikristus.
Maka orang seperti Falwell, yang menyebut diri ”Zionis”, mendukung
Israel, tapi Israel sebagai sarana untuk perang.
Kaum ”Kristen Kanan”
dan beberapa cabang fundamentalisme Kristen, terutama kalangan
”dispensasionalis”, tak gembira dengan usaha perdamaian, tak menyukai
lembaga macam PBB. Mereka percaya Armagedon akan berkobar di Tanah Suci,
Yesus akan datang, dan orang macam Falwell akan hidup dalam rahmat.
Tapi jika hidup dalam rahmat itu yang ditunggu—setelah melalui masa
kemerosotan dan peperangan terakhir—orang macam Falwell sebenarnya tak
perlu ”menyelamatkan Amerika”. Tak perlu pula perang melawan
”liberalisme”, ”sekularisme”, Islam, homoseksual, pendukung aborsi….
Yang mungkin bisa jadi penjelasan kemudian bukanlah argumen
theologis, melainkan psikologis.
Bukan fundamentalisme yang melahirkan
kebencian, kecemasan dan paranoia, melainkan sebaliknya. Falwell,
Al-Qaidah, Ku Klux Klan, Jemaah Islamiyah, tidak lahir dari teks suci.
Mereka lahir dari sesuatu yang kian tak terbendung di zaman ini: yang
beda, yang lain, yang bukan aku, liyan, datang berduyun-duyun, silih
berganti. Dan itu semua, bagi mereka, dengan jiwa yang dirundung rasa
tak aman terus-menerus, sangat mengganggu.
Jerry Falwell hanya salah satu gejalanya. Ia kini tak ada lagi. Saya
tak tahu apakah dengan kebencian ia bisa masuk ke surga. Tapi di kubur,
setidaknya yang saya lihat dari luarnya, yang mati telah mencapai
sesuatu yang tak diperoleh oleh yang hidup: kesamaan, tanpa sejarah.
Doc : Pojok Tempo
Komentar