Postingan

Revolusi

Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern. Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris.  Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur.  Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika.  Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan. Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington.  Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan horma...

Mak

Pada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap, termasuk Pavel—dan Maksim Gorky menulis novel Mat’. Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”. ”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat, dan tokoh novel ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang mendampingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut dengan sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Yesus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di lapisan rendah masyarakat. Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu mencerminkan paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari ”realisme” tapi condong ke arah mitologi. Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova yang berjalan ke mana-mana menyebarkan pamflet revolusi setelah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi, dalam novel...

Tan Malaka, Sejak Agustus itu

 SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa. Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana. Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”. Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan m...

Yudhistira

Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang terik di hutan pekat itu, Yudhistira menemukan keempat adiknya tewas. Di tepi sebuah danau tergeletak dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna. Lebih ke utara terdapat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadhewa. Keduanya adik yang lain: putra Pandhu dari Ibu Madrim. Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas pertempuran. Apa yang terjadi? Sementara pikirannya galau, ia dengar suara berat yang tak tampak sumbernya. Suara itu mengatakan, keempat kesatria tersebut mati karena melanggar larangan: mereka telah diberi tahu agar tak meminum air telaga itu, tapi mereka—dengan penuh percaya diri, bahkan angkuh—melawan pantangan tersebut. Yudhistira sebaiknya tak melakukan hal yang sama, kata suara gaib itu. Ia harus menjawab lebih dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air danau. Yudhistira bersedia, dalam Mahabharata ada beberapa pertanyaan yang dimajukan, tapi di sini sa...

Jenar

-untuk Ulil Abshar Abdalla    SIAPA yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian akan mendengar sepotong kepala yang ketawa. Konon itulah yang terjadi setelah Sunan Kudus, di hadapan para wali dan para pembesar istana, memancung seorang cendekia yang dianggap sesat, pada suatu hari Jumat di abad ke-15, di halaman masjid keraton, setelah salat selesai.    Orang itu bernama Jenar. Nama lengkapnya Syekh Siti Jenar—sebuah nama yang tak henti-hentinya jadi legenda di masyarakat Jawa. Ia memikat karena ia melambangkan perlawanan yang dianggap sah terhadap kekuasaan para ulama dan penguasa yang mengunggulkan ortodoksi.     Literati Jawa yang berpengaruh pada umumnya memang tak bersahabat dengan mereka yang gemar membalut hidup dengan syariat serta merasuk ke pemikiran agama yang legalistis—yang oleh penulis Wedatama di abad ke-19 diejek sebagai orang yang anggubel sarengat .    Sebuah puisi Jawa yang ditulis pada ...

Sekuler

   Sebuah negeri mustahil berhenti menjadi plural tanpa pembunuhan. Terutama di awal abad ke-21. Persoalan yang kemudian dihadapi adalah apa artinya ”plural”, dan apa gerangan pula arti ”sebuah negeri”.    Jawabannya bukannya tak ada. Di Amerika Serikat dan Inggris, ”plural” berarti ”multikultural”. Majemuk berarti menghormati dan menjaga perbedaan adat-istiadat pelbagai paguyuban yang ada dalam negeri itu. Majemuk berarti tidak mengasimilasikan penduduk atau warga negara ke dalam satu kesatuan identitas yang baru setelah yang lama dilupakan.    Dalam pandangan ini, ”asimilasi” membuat bulu kuduk berdiri, seakan-akan sebuah penindasan, ketika akar-akar budaya seseorang dibabat dan pelbagai manusia dilebur ke dalam sebuah panci, untuk membentuk sebuah kebersamaan baru yang utuh dan sama rata sama rasa—sebuah keseragaman yang represif. Namun, pandangan multikulturalisme ini hanya salah satu jawaban bagi persoalan-persoalan kemajemukan di...

Sang Fundamentalis

        Jerry Falwell meninggal dalam umur 73 di kantornya pekan lalu, dan dunia kehilangan sebuah contoh yang baik tentang hubungan iman dan kebencian.    Falwell bukan orang galak dan bengis. Saya bayangkan ia, yang bertubuh gemuk dengan bentuk mirip bakpao, banyak ketawa, hangat, bicara kepada orang tanpa jarak. Tapi ada sesuatu dalam masyarakat tempat ia hidup—masyarakat Amerika di abad ke-20 dan awal ke-21—yang menyebabkan pendeta Kristen seperti Falwell, dengan Injil di tangan, secara luas didengar, didukung, dapat sokongan berjuta dolar, didekati kaum politisi tingkat nasional, justru ketika ia membawa berita yang muram, tapi paradoksal: Amerika adalah tanah yang dijanjikan Tuhan, ”Yerusalem Baru,” tapi negeri ini sedang terancam, sebagaimana dunia sedang terancam. Musuh ada di mana-mana. Terorisme hanya salah satunya. Amerika harus diselamatkan.    ”Amerika”, bagi Falwell, adalah negeri orang-orang kulit ...