Revolusi
Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.
Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan,
itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi
perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan
Inggris.
Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur.
Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur.
Hatinya berkobar dengan keyakinan yang
disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika.
Ia pun berangkat dari pantai
Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.
Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser
pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin
George Washington.
Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”
Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”
Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik
politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis
setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat
langsung dengan Revolusi Prancis.
Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas
bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak
Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam
hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu,
terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun
sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.
Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi
Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang
”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak
akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda
tak mudah diutak-atik.
”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”
”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”
Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa
menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis.
Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya
bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain:
revolusi tak bisa difotokopi.
Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika,
Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari
Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….
Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir,
Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini
universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di
seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.”
Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan
”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan
pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.”
Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”
Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”
Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi
pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa
saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan
yang universal?
Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya
sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati
dan Mehdi Bazargan.
Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.
Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.
Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang
abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan.
Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.
Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.
Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi
punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan
yang otentik dan antagonisme yang mendalam.
Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu,
pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus
mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita”
ditiadakan.
Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang
universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program
partai, ideologi negara, atau hukum.
Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.
Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.
Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?
Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia
kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan
topos, ”bukan + tempat”.
Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.
Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.
Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya
tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18.
Revolusi tak bisa
difotokopi, tapi ia tak pernah selesai.
Doc : Pojok Tempo
Komentar